“Sejak kapan dah lo panggil dia dengan sebutan 'Mas'?” Adit bertanya tiba-tiba saat mereka baru saja selesai makan malam dirumah Naira.
“Kemarin. Dia marah gara-gara gue panggil dia 'Adnan', katanya nggak sopan. Biasanya juga dia nggak protes.” ucap Naira sambil mencuci piring.
Adit mengangguk-anggukan kepalanya. “Emang dia kelahiran tahun berapa sih, Cil?”
“1993.”
“Ya pantes dia protes bego! Jarak lo lima tahun sama dia. Lagian, elonya aja nggak tahu diri. Panggil dia sesuka hati. Gue mah kalau jadi dia udah gue tendet lo ke ubin.”
Bukannya kesal, Naira justru malah tertawa terbahak-bahak. Adit memang suka sekali melawak, tak jarang Naira sering sekali tertawa sampai kencang bahkan tidak berhenti-berhenti.
“Cil... Gue mau pamit pulang ah, Cil. Takut gue kalau si Adnan lo itu pulang terus ngeliat ada motor gue dirumah lo. Nanti ban gue di kempesin lagi.” ucap Adit sambil mengorek sisa-sisa makanannya dengan toothpick.
Naira melangkah kearahnya dan berdiri sambil memegang kepala kursi. “Yaelah lebay lo. Nggak bakalan. Dia mah nggak perduli kali. Dia itu perduli sama gue, perhatian sama gue cuma karena amanah dari Nyokap gue doang.”
Adit terkekeh pelan, “Kok gue jadi sedih ya, Cil.”
Alis Naira bertaut, “Sedih nape lo?!”
“Kalau difikir-fikir, hidup lo lebih kasihan dari pada gue. Cinta lo bertepuk sebelah tangan, nggak pernah dilirik sedikitpun. Lah gue mah masih mending, seenggaknya gue pernah punya hubungan.”
Mendengar ejekan dari Adit, Nairapun langsung menjitak kepala cowok itu dengan geram.
“Ngomong sono lo sama kambing keramat!” Naira langsung melangkah pergi menuju ke area depan rumahnya. Aditpun mengikutinya sambil masih tertawa dengan renyah.
“Motor lo kapan benernya dah?” tanya Adit setelah mereka sampai didepan halaman rumah Naira.
“Besok siang. Kenapa lo nanya-nanya?! Oh, lo udah nggak mau antar-jemput gue?! Yaelah, yaudah besok gue bayar deh!”
Adit langsung mendorong tubuh Naira dengan gemas. “Baperan lo ah kayak Ibu-Ibu hamil. Gue kan cuma nanya.”
Naira memutarkan kedua bola matanya, “Ya tapi pertanyaan lo itu kayak--”
“Sstttt diem. Kuping gue kayak lagi dengerin hal-hal berbau negatif nih.” potong Adit tiba-tiba.
Naira melotot kearah Adit, “Heh Sayur Oyong, lo jangan macem-macem, ya, Dit! Sampe lo nakut-nakutin gue, gue tombak lo pake bambu runcing punya Bokap gue!”
Adit menoleh seketika, dan langsung menjitak kepala Naira dengan gemas. “Mata lo jereng! Orang maksud gue lagi dengerin suara mobilnya si Adnan lo itu.”
“Nah kan... Dia udah dateng, Cil. Mampus dong, Cil. Gue harus gimana ini?” panik Adit yang benar-benar tidak ingin berurusan dengan cowok itu. Apalagi tatapan Adnan yang tajam dan dingin.
Naira tertawa pelan, “Yaudah sono lo pulang. Kalau urusan dia, gue yang tanggung jawab.”
“Yaudah ya gue pulang. Bye Acil. Besok gue jemput jam setengah dua belas. Kalo lo belum siap-siap, gue tinggal!”
“Iya bawel lo!” lalu Aditpun melenggang pergi dengan motornya. Sedangkan Adnan yang melihat Adit baru saja keluar dari rumah Naira langsung menggeram ditempatnya. Sedangkan Naira langsung masuk ke dalam rumahnya dan mengunci pintu rumahnya.
Adnan mengerutkan dahinya bingung. Namun berikutnya ia tersenyum miring. Nanti juga dia kerumah. Memangnya dia berani dirumah sendirian.
Adnanpun masuk ke dalam rumahnya dan menaruh bokongnya disofa ruang tengah. Tangannya bergerak mengambil remot dan mulai menyalakan televisi. Ia sengaja terduduk di sofa ruang tengah, takut-takut kalau Naira datang. Supaya dia bisa mendengarnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
ENGRAVED
RomanceNaira Pandhita, yang sudah menaruh rasa sampai sedalam-dalamnya kepada Adnan Pradipta sejak kecil. Sosoknya yang ceplas-ceplos tanpa tahu malu, sampai membuat Adnan geleng-geleng kepala dibuatnya. Sulit bagi Naira untuk mendapatkan cinta Adnan. Seba...