••
•
Untuk kesekian kalinya, pagi diguyuri hujan yang cukup lebat. Dinginnya udara menyeruak ke permukaan kulitku. Tatapan yang tadinya fokus pada jalan raya, kini teralihkan pada arlojiku—takut jika sampai aku telat ke sekolah—kemudian kembali memandang langit yang tak ada ubahnya; tetap saja gelap.
Daripada diam tanpa melakukan sesuatu yang bermanfaat, aku memilih untuk membaca doa dan melanjutkannya dengan berdzikir tiada henti.
Hallte bus yang aku tempati saat ini sangat sepi, ah, lebih tepatnya tidak ada orang sama sekali. Tetapi ... tunggu dulu! Alih-alih mataku menangkap sesuatu yang mencurigakan dari salah satu ruko di seberang jalan. Aku menangkap sosok pria berperawakan tinggi memakai jubah hitam dan memakai topeng. Dari gerak-geriknya, oh.. sungguh dia sangat mencurigakan. Secepat kilat aku berpikir dia adalah memiliki niat buruk. Ya ... apalagi jika bukan mencuri. Oh, tidak! Aku sudah seudzon saja di pagi hari.
Baiklah, karena tidak mau seudzon, aku memilih untuk menghiraukannya. Namun, mataku tak henti untuk memperhatikan gerak-geriknya yang sangat mencurigakan. Alhasil benar, pada menit ketiga ia mengendap-endap tak jelas. Kentara sekali ia tengah melihat ke kanan dan ke kiri—untuk memastikan tidak ada siapa-siapa di sekitarnya.
Wah, ternyata dialah yang disebut orang-orang perampok amatiran.
Baiklah, tunggu aku di sana wahai anak manusia. Segera kurogoh jaket dan sarung tangan andalanku di tas, tak lupa juga maskerku. Kemudian kutaruh baik-baik tasku di halte ini. Ah, mana peduli maling mencuri tas bututku.
Kuterobos air hujan yang deras ini. Tak peduli apa pun risikonya.
“Hei, kamu pencuri ya?!” pekikku ketika telah sampai di depannya.
“Ka-kamu si-siapa?" tanyanya terbata-bata.
Mataku menyipit. Secara cepat aku berpikir jika seseorang yang berniat salah ataupun melakukan kesalahan akan gugup saat ketahuan melakukan aksinya. Dia pasti ingin berbuat jahat. Bukankah seorang maling tidak akan mengaku? Maka jika mengaku, penjara penuh!
Brgah!
Brugh!
Satu dua dan tiga tendangan kuloloskan ke dada bidangnya. Awalnya ia hanya menangkis.
Haduh ... pada akhirnya dia memberikan perlawanan. Hah, enak saja dia! Kukeluaran tenaga lebih ekstra. Karena aku sadar, dia seorang laki-laki. Terlebih serangannya tidak sembarang serangan. Karena aku tahu persis ini adalah serangan dari seorang pesilat, sama sepertiku.
Ah, sial. Lenganku terkena pukulannya. Ya Allah.. Ampunilah hamba. Doaku pada Sang Khalik. Sebab, inilah dilema terbesar dalam hidupku. Seiring hijrahku, aku harus berusaha menghindari kontak fisik yang tidak disengaja dengan laki-laki yang bukan mahromku. Tetapi, sangatlah susah jika harus dihadapkan dalam situasi seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kurindu Baginda✔️ [END]
SpiritualeKisah ini sangat mengajarkan saya arti dari istiqomah yang sesungguhnya. Berubah karena Allah, mencintai karena Allah, melupakan karena Allah, persahabatan karena Allah, juga meyakinkan saya bahwa takdir tidak akan berpindah haluan. Apapun yang dini...