20. Kurindu Baginda

270 32 16
                                    

***
"Sekalipun kematian sudah ada di depan mataku. Aku tidak akan gentar sedikit pun untuk mematuhi perintah musuh Allah. Sekalipun kematian sudah terasa ditenggorokan. Aku tidak akan sekali-kali menjual akidah Agamaku. Sampai titik darah penghabisan sekalipun, aku akan tetap mempertahankan perjuangan ini dengan semangat juang. Sehingga merasakan kenikmatan mati syahid. Sekalipun tubuh ini harus terpotong-potong."

-Danisya Arsya Baihaqie-

***
.

.

.

   "Bunda udah nggak ada."

   Arsya menggeleng cepat. Tubuhnya membeku di tempat. Jantungnya kini benar-benar berpacu dengan sangat lemah. Darahnya seakan berhenti mengalir. Pandangan mata gadis itu benar-benar kosong. Mulutnya menganga; tak henti menggelengkan kepala.


   Dunia seakan singgah di detik itu untuk waktu yang sangat lama. Ia ingin dunia berputar kembali. Namun, seakan itu sangat mustahil. Dunianya sudah benar-benar berhenti.

   Rahma memeluk sang kakak dengan tangisan yang meledak. Arsya sudah tidak dapat menangis lagi. Bibirnya perlahan memutih. Tubuhnya perlahan dingin.

   Namun tak berselang lama, handphone-nya kembali berbunyi.

   Arsya tidak menggubris itu. Namun, berulang kali benda  itu seakan meronta untuk segera diambil oleh sang pemiliknya.

   Pada akhirnya, Arsya pun mengangkat telfon itu.

   "Assalamu'alaikum Arsya.... Hallo."

   Dzikri, batin Arsya.

   Arsya hanya diam. Menunggu kelanjutan Dzikri berbicara.

   "Hallo... hei, Arsya lo jangan kemana-mana? Lo tetap diam di dalam rumah lo. Jangan keluar, oke."

   Arsya dibuat Dzikri bingung. Apa maksud cowok itu. Gadis itu benar-benar tidak dapat berpikir secara jernih. Yang ada dipikirannya hanyalah sang ibu.


    "Jangan pergi ke rumah sakit. Bunda lo baik-baik aja di sana. Bunda lo e
nggak kenapa-kenapa Arsya. Asal lo tahu, itu yang nelfon bukan dari pihak keluarga lo. Siapapun orang yang nelfon lo, ngasih tahu kabar itu, itu bukan keluarga lo. Coba lo liat riwayat telfonnya. "

   Deg!

   Baru inilah Arsya mau menoleh ke ponselnya. Suaranya kian serak. "Zik, lo engga main-main kan apa yang lo bilang?” tanyanya memastikan.


   "Arsya.... cepet lo liat riwayat telfon lo barusan."

   Arsya mencoba untuk tenang. Ia melihat riwayat telepon itu. Dan benar saja, itu bukan nomor dari salah seorang keluarganya. Tapi, itu nomor baru. Dan, Rahma asal angkat saja.

   Itulah kenapa kita tidak boleh terlalu gegabah dalam keadaan genting.

   "Apa bener, nomernya ujung 55?"

Kurindu Baginda✔️ [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang