13

34 6 0
                                        

The chapter is short and typos are excessive.

Aluna mengernyit bingung. "Kamu jahat?"

"Iya," jawab Cila seadanya.

"Hmmm... tapi tetep aja aku mau temenan sama kamu, kamu cantik. Nggak papa 'kan kalo niat pertama aku temenan sama kamu karena kamu imut?" tanya Aluna mengungkapkan suatu hal dari pikirannya, benar-benar jujur.

"Mm... tapi Aluna lebih cantik dari Cila, Cila malu kalo mainan sama Aluna. Cila jelek...," ucap ringis Cila.

Entahlah kepercayaan diri Cila memang merendah semenjak anak-anak yang lain mulai sering memojokinya seperti waktu kemarin. Tidak senarsis biasanya. Merasa bahwa ia tetap dianggap rendah meski sudah dipuji oleh beberapa orang karena melihat anak-anak yang lain masih tak suka dan pujian itu tak ada apa-apanya jika mereka masih terus memojoki tanpa mau mendengar ia berbicara menjelaskan.

Entahlah apakah hanya Cila yang merasa seperti itu? Maksud dari kata yang ia ungkapkan, kepercayaan diri rasanya menghilang setelah melihat dan mengetahui betapa bencinya mereka kepada kita. Cila merasa  hanya bisa menahan sesak setiap mereka memberikan tatapan dan sindiran pedas.

"Sekarang emangnya pelajaran siapa?" tanya Aluna merasa daritadi belum ada guru yang masuk ke kelas mereka.

"Lagi sakit gurunya Aluna," jawab Cila singkat, benar-benar sedang tidak mood.

Apalagi sekarang mereka yang sebelumnya bergosip kini memerhatikan Cila dan Aluna dengan tatapan tak suka dan juga bingung. Tapi mereka semua terlihat bangkit dari duduk dan mendekati mereka.

"Halo Aluna~ lagi apa lo di sini? Sama... Cila?" tanya heran Prita.

"Oh halo guys aku cuman lagi kenalan aja sama Cila, ngomong-ngomong kata Cila gurunya lagi sakit ya?" tanya Aluna membahas kembali pertanyaan yang sempat ia berikan kepada Cila.

Mereka mengangguk reflek, "iya, emang kenapa?" tanya Nada.

Dengan gugup Aluna menjawab, "mm... aku mau keliling sekolah ini. Kalian mau temenin aku nggak? Aku pengen tau lebih jelas lingkungan sekolah?" tanya Aluna.

"Boleh! Boleh banget malah," jawab semangat Tiara.

"Cila... kamu ikut juga 'kan?" tanya Aluna kepada Cila yang kini sedang memejamkan mata tapi dia tidak tidur.

"Ah? Nggak deh, Cila nggak ikut. Kan udah ada mereka," jawab Cila sambil membuka mata perlahan.

"Mereka? Lo kira kita apaan?!" kesal Vannia tersulut emosi dan merasa tersinggung.

"Udah-udah!" lerai Safira walaupun perempuan itu pun sama kesalnya.

"Najis banget anjeng!" kesal Tiara.

Aluna hanya bisa menatap mereka heran. Lho? Mengapa mereka jadi marah-marah begini? Padahalkan hanya sekedar kata 'mereka' saja, karena arti mereka memang banyak jadi harus dipanggil dengan kata 'mereka,' bukan? Tidak mungkin 'kan Cila harus menyebutkan nama, satu-satu?

"Maaf ya Aluna," ujar Nada melihat wajah terkejut Aluna menyaksikan pertengkaran mereka.

"Cila... udah ayok ikut aja!" tegas Deya merasa akan menghabiskan waktu jika memaksa Cila dengan cara halus.

Deya menarik lengan Cila untuk berdiri. Membuat Cila hanya bisa pasrah saja dan meringis kesakitan. Aluna cuman bisa diam tanpa bisa membela atau sekedar membantu. Karena saat ini posisi Aluna hanya murid baru yang tidak tahu masalah apa-apa layaknya bayi yang hidup di medan perang.

"Kita mulai dari koridor kelas sebelas ini aja ya," ujar ramah Tiara.

Berbeda sekali dengan nada sebelumnya saat berkomunikasi dengan Cila. Mereka berbelok kanan menuju deretan XI IPA 6 sampai XI IPA 8, koridor saat ini sepi sekali berbeda dengan koridor kelas IPA 1 sampai kelas mereka. Sangat ramai.

Choose Silence | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang