21

26 6 0
                                        

The chapter is short and typos are excessive.

Berulang kali kalimat itu terus terulang dari mulut lelaki yang saat ini tengah duduk di kursi panjang rumah sakit dengan air mata yang tak berhenti menetes. Di sebelahnya ada seorang lelaki yang tak kalah sedih mengetahui kondisi adiknya yang masih di ruang UGD.

Tiga kata terus meluncur begitu saja dari mulut lelaki bernama Rion yang merasa bersalah bukan kepalang. Bagaimana tidak, jika saja waktu beberapa menit yang lalu ia  mengiyakan apa yang Cila minta mungkin Cila tidak akan begini. Tapi memang namanya penyesalan selalu ada di akhir, bukan? Karena jika di awal namanya pendaftaran.

"Maafin gue La."

"Maafin gue Bang."

"Gue minta maaf."

"Gue emang salah."

"Gue nyesel banget."

Ucapan demi ucapan begitu saja meluncur dengan tangisan Rion yang tak berhenti. Tentu tak terisak tapi sudah mendeskripsikan seberapa sedih dan menyesalnya lelaki itu.

Rezvan menepuk pelan bahu Rion, "udah Yon udah, lo nggak salah. Doain aja semoga dia nggak kenapa-napa."

Rezvan tahu apa yang terjadi setelah Rion bercerita panjang lebar mengenai kejadian yang membuat Cila begini. Tentu tak sepenuhnya ini salah Rion. Rezvan mencoba untuk tetap bijak dan dewasa menghadapi apa yang terjadi untuk saat ini. Bunda dan Ayah belum Rezvan kabari sampai sekarang, tentu takut membuat Bunda dan Ayah khawatir.

Mencoba bersikap dewasa walau dalam hati Rezvan menangis, karena ia tahu jika dirinya benar-benar  menangis seperti Rion bisa-bisa malah menjadi lebih runyam nantinya. Rezvan juga tak mau membuat Rion semakin bersalah dengan dia yang ikut menangis.

Setelah beberapa saat mereka menunggu dokter keluar untuk memberitahu keadaan Cila. Kini seorang suster keluar dari ruang UGD berdiri di ambang pintu dengan matanya yang mencari seseorang dengan sebuah papan dada yang berisikan data-data.

"Keluarga dari nona Adcila Aerilyn Meisie?" panggil suster yang kini berdiri di ambang pintu ruang UGD.

Rezvan segera bangkit berdiri mendekati suster yang kini menulis sesuatu di data yang ia bawa.

"Bagaimana keadaan Adik saya Sus?" tanya Rezvan khawatir dan mengutarakan pertanyaan yang sedaritadi tersimpan di benaknya selama beberapa menit yang lalu.

"Anda saudara pasien, ya? Baik, kondisi nona Adcila sudah kami tangan dan saat ini pihak kami sedang memberikan obat tidur agar dia bisa istirahat lebih lama. Jika ingin anda tahu lebih jelas diharapkan untuk datang ke ruang sebelah UGD, di sana Dokter akan menjelaskan lebih lanjut, baik saya permisi," ujar Suster yang tersenyum tipis dan segera kembali masuk setelah merasa salah satu tugasnya sudah terpenuhi.

Rezvan menghela napas lelah tanpa ia sadari bahwa Rion sudah berada di sebelahnya. Menatap Rezvan penasaran, air mata yang semula mengalir dengan mudah kini surut dan begitu saja meninggalkan jejak. Membuat wajah lelaki itu terasa lengket dan terlihat kacau.

"Gimana Bang?" tanya Rion dengan suara yang terdengar serak.

"Gue disuruh ke ruang Dokter, lo bisa kan masuk dulu nemuin Cila? Temenin dia sebentar aja, ya udah gue ke ruangannya dulu," ujar Rezvan yang kini menepuk bahu Rion pelan dan pergi meninggalkan dia yang memperhatikan punggung Rezvan yang semakin kecil seiring ia melangkah pergi.

Merasa punggung Rezvan sudah tak terlihat, Rion segera berjalan cepat dan membuka pintu ruang UGD. Ruang UGD saat ini berisi tiga pasien termasuk Cila. Rion melangkah menuju brangkar Cila.

Bisa Rion lihat wajah pucat Cila dengan mata yang masih terpejam. Mungkin dokter menyuntikkan obat tidur? Entahlah Rion tidak tahu. Tangan lelaki itu mulai terangkat menyentuh wajah putih pucat perempuan itu. Semakin ia melihat lekat Cila, semakin Rion merasa bersalah.

Choose Silence | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang