17

36 7 0
                                    

The chapter is short and typos are excessive.

Perempuan berambut pendek dan berponi tipis itu terlihat ragu saat masuk ke dalam kelas yang kini sudah ramai oleh murid-murid. Mengingat bel masuk juga akan dibunyikan beberapa menit lagi.

Cila melangkahkan kaki jenjangnya masuk ke dalam kelas, mata bulat yang ia miliki tak berani menatap mereka saat ini.

Lalu Cila juga merasakan suasana yang berubah menjadi hening saat ia memasukinya. Yang Cila rasa, mungkin mereka sedang memerhatikan ia berjalan. Cila dengan menghela napas lelah segera berjalan dengan cepat menuju bangku yang sudah menjadi temannya sejak masuk kelas itu. Merasa tak tahan dan tal begitu suka dipeehatikan.

Wajah bulat yang biasa terlihat ceria, kini hanya bisa menunduk tanpa bisa melihat dengan jelas apa yang sedang terjadi di depan. Merasa bahwa ia sudah tak butuh hal itu, tak ada gunanya melihat apa yang ada di depan. Karena itu tidak mengubah apa pun, tidak mengubah mereka yang menyikapi Cila. Hanya jalan dan bagian depan sekilas yang bisa ia lihat.

Mereka tetap tak suka dan tak mau mendengar apa yang sebenarnya terjadi. Hal yang Cila hadapi saat ini pasti ada yang pernah menghadapinya 'kan?

Saat semua orang mendengar perkataan atau perilaku kita yang berbeda? Dan merasa perkataan dan perilaku kita menyinggung mereka, tanpa mau tahu dan tak mau dengar, kenapa kita melakukan itu?

Jadi Cila rasa waktu ia bersenang-senang bersama teman-teman di kelas sebelas mungkin hilang begitu saja. Sampai waktu kenaikan kelas muncul, hanya waktu itu yang Cila tunggu-tunggu, lagipula bagi Cila waktu itu adalah sebuah cahaya terang yang siap membantu Cila dari sebuah alam gelap yang sepi.

"Gue kira dia udah ditelen bumi."

"Masih berani dia masuk?"

"Pelaku yang serasa jadi korban, cih."

"Muka polos, kelakuan gak banget."

"Heran gue, kenapa bisa sekelas sama cewek kayak dia?"

"Nyesel pernah temenan sama dia."

"Bla... bla... bla.... bla..."

Masih banyak lagi ucapan-ucapan dan sindiran-sindiran yang menganggu telinga Cila. Rasanya panas dan gerah. Ingin berteriak, agar mereka berhenti berbicara tapi ia tak bisa melakukannya. Beberapa kali pikirannya terlintas sebuah ide, yaitu membentak mereka dan menjelaskan kenapa ia begini.

Tapi... Cila juga sadar, ia tak seberani itu. Dan tak semudah itu melakukan apa yang ada di kepala. Ekspetasi tak seindah realita, bagaimana jika mereka malah tak suka apa yang ia lakukan? Huft...

Cila juga merasa satu detik sudah seperti lama sekali, satu detik seperti satu menit, satu menit sudah seperti satu jam, satu jam sudah seperti satu hari, satu hari sudah seperti satu tahun, dan... seterusnya.

Baru saja Cila mengambil ponsel dari saku seragam, sepasang sepatu converse hitam kini sudah menginjak ubin yang berada tepat di samping bangku Cila. Membuat Cila harus menggagalkan rencananya mengecek beberapa notif yang muncul.

Dengan perlahan Cila mendongak, melihat siapa yang berdiri di sebelahnya.

"Gimana?"

Membuat Cila mengernyit bingung saat Rionㅡ lelaki yang berdiri di sebelah Cila bertanya tiba-tiba dengan wajah datar yang selalu menjadi ciri khas tersendiri bagi Cila.

"Apa... nya?" tanya Cila heran, membutuhkan sebuah penjelasan mengenai pertanyaan yang Rion lontarkan.

"Lo, gimana bisa Fathah nemu lo? Lo ke mana? Ilang gitu aja?" tanya Rion bertubi-tubi.

Choose Silence | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang