33

44 5 5
                                        

The chapter is short and types are excessive.

-oOo-

Rion dengan earphone putih yang terpasang di kedua telinganya, tengah berjalan santai dengan langkah panjang. Jalan aspal masih terlihat basah dan lembab diakibatkan beberapa menit yang lalu hujan turun di kompleks perumahannya. Mata elang lelaki itu pun fokus dengan layar ponsel yang ia genggam.

Sibuk melihat percakapan grup chat kelas yang selalu ramai setiap harinya. Entah membicarakan pelajaran sampai membicarakan berita baru-baru ini yang menghebohkan sekolah mereka.

Ngomong-ngomong, tujuan Rion saat ini adalah minimarket depan kompleknya. Tentu hanya untuk membeli beberapa camilan dan minuman segar, atau mungkin ia akan meminum kopi hangat dulu di sana. Pasti akan nikmat jika dingin-dingin seperti ini meminum minuman yang hangat. Ia membeli camilan pun bukan hanya untuk dirinya, tapi juga Cila. Sahabatnya itu sudah berjanji akan ke rumah Rion. Mengingat Rezvan juga sedang berkumpul bersama temannya.

Kembali ke Rion, lelaki itu kini melangkah menuju belokkan menuju jalan utama komplek.

Tapi... pangkahnya terhenti tatkala sebuah keributan kecil mengganggu langkahnya menuju minimarket. Dengan langkah pelan Rion mendekat. Dahinya menyernyit kening bingung saat melihat salah satu dari kedua orang itu memakai seragam sekolahnya.

Dari bentuk tubuh pun terlihat tak begitu asing.

"Cil... La...?" panggilnya meyakinkan diri bahwa perempuan yang sedang ditodongi pisau itu adalah sahabatnya yang ia tunggu-tunggu kedatangannya.

Kedatangan Rion yang tiba-tiba membuat sang penodong pisau tersebut merasa terancam dengan adanya Rion di sini. Dengan cepat sang penodong membalikkan badan dengan pisaunya yang kini sudah berada di depan leher Cila.

Mata Rion membulat saat melihat siapa orang yang menodongkan pisau tersebut.

"Aluna?" tanyanya pada dirinya sendiri.

Bagaimana bisㅡ

"Haha... kayaknya kalian sahabat yang setia ya? Sampe reaksinya aja pake dialog sama," ujar Aluna tak jelas.

"Rion...," ringis Cila saat pisau tersebut sudah benar-benar mengenai lehernya.

"Rion... mending pergi dari sini! Pergi!" ujar Cila dengan suaranya yang lemah namun terdengar tegas dan dalam.

"Hah?! Nggak La! Enggak!!" tolak Rion.

Tak mungkin di saat Cila membutuhkannya. Ia malah lari begitu saja.

"Telpon..."

"Telpon.... Rion...!"

"Hah? Apa sih gue kagak ngerti!!" kesal Rion, ia bukan orang purba yang bisa mengerti bahasa tubuh mereka.

Cila kini sendiri mulai mengeluarkan air matanya, ia sudah bisa merasakan bagaimana perihnya saat senjata tajam tersebut sudah membuat lehernya berdarah. Sampai sebuah ingatan terlintas di kepalanya. Membuat Cila sendiri menghentikan tangisannya.

"Rion! Rion inget nggak yang dulu? Yang... deet... deet!" Cila mulai menirukan suara yang sering ia bunyikan dulu saat mereka bermain polisi-polisian di taman rumah Rion.

Dan bagaimana Cila memperagakan itu semoga Rion mengerti dan mengingatnya. Ada kesenangan tersendiri jika Rion mengingatnya, baginya itu adalah ingatan dimana sifat Rion yang masih lembut, yang tingginya pun masih setara dengannya, masih memiliki sifat jahil dan menyebalkan, berbeda dengan sekarang yang lebih cuek dan tak tersentuh, sekali bicara begitu menyakitkan.

Ingat sekali bagaimana mereka begitu senang, berlari-lari bersama dengan hanya menggunakan kaus dalam dan celana dalam saja. Mengingat memang mereka selalu bermain di taman milik Rion yang benar-benar khusus digunakan untuk mereka.

Rion sendiri sekarang tengah mengernyit bingung dan mengerti, satu tarikan lembut kini terlihat di wajahnya. Tarikan senyuman tipis, mengingat bagaimana konyolnya ia dulu.

"Cih! Jijik!" ujar Aluna yang masih tak menyadari Rion dan Cila yang saling memberikan sinyal.

Rion sendiri kini mengetikkan sebuah nomor lalu membiarkan ponselnya ia simpan di dalam saku celananya saat nomor itu sudah tersambung begitu cepat.

"Plis! Gue mohon sama lo lepasin temen gue kalo lo nggak mau gue laporin ke polisi!" ujar Rion memberi kesepakatan.

"Apaan sih njir?! Lo pikir nangkep sahabat lo ini semudah membalikkan telapak tangan?! Gue udah butuh nunggu banyak waktu hanya untuk bunuh cewek gak guna kayak dia. Kalo emang lo pengen sahabat lo selamat...," Aluna mulai berpikir dengan apa yang ingin ia minta.

"Gue mau lo... bilang ke anak kelas kalo Cila... pel*cur?" Aluna tersenyum miring sembari mengangkat salah satu alisnya menantang.

Rion meneguk salivanya susah-susah. Ia tak bisa memilih. Antara menjawab hal tersebut atau mengambil pisau itu dengan resiko telapak tangannya berdarah karena di kelapanya ada sebuah rencana bahwa ia harus mengambil pisau tersebut di bagian tengah atau lebih tepatnya di bagian yang paling tajam.

Rion menghela napas gugup, kembali meneguk saliva susah payah. Dan dengan gerakan cepat, tangan lelaki itu segera mengambil pisaunya dan melempar jauh-jauh pisau itu. Cila maupun Aluna sendiri terkejut bukan main karena kenekadan Rion yang membiarkan tangannya terluka.

"Kepar*t!!" Aluna kini mencoba memukul wajah Rion yang dekat dengannya.

Tapi tangannya tak sama sekali melukai wajah Rion saat lelaki itu menendang perut Aluna, melempar gadis itu jauh.

"Gue bilang jangan bikin gue marah!" ujar Rion dengan nada rendahnya yang begitu terdengar menyeramkan.

Rion segera menghampiri Cila. Tatapanya begitu khawatir saat melihat darah keluar begitu saja dari leher sahabatnya.

Sambil memerhatikan leher Cila, Rion kembali mengingat sesuatu, "komplek permata delima, jalan kristal."

"Hah?" tanya Cila bingung saat Rion mengatakan letak mereka sekarang yang begitu membingungkan.

"Gue... lagi mengingat masa ini, masa di mana gue bisa nyelametin lo dari orang jahㅡ"

"AWAS RION!!" teriak Cila saat melihat Aluna di belakang Rion kini sudah memegang pisau bersiap menancapkannya ke tubuh lelaki yang sudah menghancurkan rencananya.

Cila dengan reflek penyelamatnya malah mendorong tubuh Rion ke samping dan membiarkan pisau tersebut mengenai perutnya.

Gadis itu terdiam beberapa saat, mencoba beradaptasi dengan apa yang telah ia lakukan. Aluna sendiri membulatkan mata terkejut tapi setelahnya tertawa, tertawa kencang dan terdengar puas.

"Wah... hahahaha.... gue... bener-bener puas," ujar Aluna yang kini mulai tertawa seakan-akan apa yang ia lakukan adalah sebuah lelucon yang sangat menghibur.

Cila terjatuh saat mulai merasakan bagaimana rasa sakit benar-benar tidak bisa ia dekskripsikan dengan kata-kata. Matanya kembali mengeluarkan air mata tak tahan dengan rasa sakit ini. Mata gadis itu kini melihat Rion yang berdiri dan menatapnya dengan sorot gue-gak-paham-kenapa-bisa-elo?

Cilla tersenyum saat yang ia lakukan setidaknya bisa membuat Rion selamat. Ia rasa saat ia sudah tak berada lagi di dunia ini, ia tak lagi sedih. Karena... beban lelaki itu tidak lagi berat akibatnya. Cila akan senang di atas sana. Sungguh.

Tapi... Cila sendiri sekarang dapat merasakan bagaimana wajah Rion mulai tak begitu jelas, suara yang ia dengar pun hanya bagaikan sebuah angin yang meniup-niup kecil telinganya.

"Rion... Cila rasa, Rion cocok kalo punya pacar kayak... Tika, tapi sebelum itu... Rion harus bersaing dulu sama Abang, Cila pengen liat siapa yang kalah kalo Abang sama Rion ngerebutin perempuan dingin dan pinter kayak Tika...," Cila mulai merasakan bagaimana tubuhnya mati rasa.

"Cila... say..."

"CILA!! CILA!! CIL!!"

Cila sendiri hanya mendengar suara ambulan yang mendekat dan berhenti di dekatnya. Ia pun juga merasa bagaimana tubuhnya dibawa oleh seseorang.

***

Pendek? Iya, iya tau.
Lagi kurang semangat soalnya, jadi biar smangat likenya jngn ktinggalan y guys.

So, next to chapter slanjutnya jngan lupa like sma commentnya.

Choose Silence | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang