20

38 5 0
                                        

The chapter is short and typos are excessive.

Fathah dan Cila sama-sama menghela napas lelah. Mereka saat ini sedang menikmati permainan bola basket Azwar, Helmi, dan Dimas. Kelas mereka sedang kosong dikarenakan Bu Ratnaㅡ guru fisika yang seharusnya mengisi pelajaran sedang terhalang oleh sakit anaknya yang tengah dirawat di rumah sakit.

Lalu jika mereka masuk ke kelas pun akan disambut dengan keributan kelas mereka, XI IPA 5. Mungkin sebentar lagi kelima anak itu akan kembali menaiki tangga dan masuk kelas, menunggu Pak Rusdi mendatangi mereka dan memerintah mereka untuk kembali ke kelas dan jangan lupa dengan mata yang melotot tajam dan sekaligus mengerikan.

Tunggu saja waktunya.

"Lo nggak mau ikut main Cil?" tanya Fathah yang kini menutup botol air mineral dinginnya, ia baru saja meneguk minuman itu.

"Ih... jangan panggil Cila, 'Cil,' jelek tau! Cila lagi cape aja, Fathah sendiri nggak ikut gabung?" tanya Cila malah berbalik bertanya.

"Cil! Cil! Cil! Cil! Gue sih lagi bt Cil!" jawab Fathah tapi dengan penuh ejekan yang membuat Cila sendiri memukul-mukul bahu Fathah.

Fathah lalu bangkit dan berlari, menghindari pukulan Cila yang sebenarnya tidak ada rasanya sama sekali. Hanya ingin membuat gadis itu ceria saja. Fathah ya, untuk saat ini Fathah memberikan prinsip kepada dirinya sendiri untuk selalu membuat Cila bahagia di saat gadis itu sedang ditahap sedih.

Mengingat kejadian beberapa jam yang lalu... sanggup membuat Fathah pening dan rasanya tadi hanya sebuah mimpi yang terasa nyata.

Untungnya tadi setelah Cila bangun dari pingsannya, perempuan itu kembali bersikap seolah-olah kejadian tadi hanya angin lalu. Fathah yang mengerti Cila tak mau mengingat lagi segera dan mencari cara agar perempuan itu kembali ceria. Dan akhirnya ia memilih membuat beberapa lelucon dan membawa Cila ke lapangan di mana teman-temannya bermain.

Mereka kini berlari dengan Cila yang tertawa dan tak menyerah mengejar lari Fathah yang terbilang pelan. Helmi menggelengkan kepala, memperhatikan keduanya dengan tatapan wajar. Tapi setidaknya mereka, Helmi, Azwar, dan Dimas senang karena Fathah membuat Cila tertawa selepas itu.

Mereka sangat merindukan tawa dan wajah sebal Cila yang selalu terpampang jelas jika mereka menjahilinya. Merindukan ekspresi wajah Cila yang sudah mereka anggap sebagai seorang adik. Mengingat ketiganya tak memiliki adik kandung. Azwar anak tunggal, Helmi anak terakhir dari ketiga bersaudara, dan Dimas anak terakhir dengan satu-satunya Kakak perempuan yang ia sayangi.

"Hah... udah ah... cape... hah....," ujar Cila yang kini terduduk di pinggir lapangan dan menyenderkan tubuhnya pada tiang ring basket.

"Hilih... cemen banget remahan micin! Masa kalah sama gue yang kumpulan upil!" ejek Fathah yang kini masih berdiri di hadapan Cila.

"Heh!! Fathah!! Kaki Cila... itu... hah... pendek! Sekali lari, udah langsung ngos-ngosan, beda sama Fathah... hah... yang sering olahraga.... terus kakinya panjang! Hah... duh.... aus... Fathah beliin Cila minum! Beliin.... haduuuh...," ujar Cila masih dengan napas tak stabil.

Gadis itu masih mencari oksigen untuk menstabilkan pernapasannya yang saat ini terasa sesak. Sangat beda dengan Fathah yang mengulas senyum mengejek, seakan-akan larian yang ia buat hanya sebuah jalan biasa yang tak menguras keringat dan energi.

"Enak aja nyuruh-nyuruh! Beli aja sendiri, kaki masih lengkap juga, mau gue amputasi kaki lo, heh?!" kesal Fathah tapi tak mampu menahan tawa saat melihat kini Cila bangkit lalu mulai lari di tempat.

"Nggak jadi Fathah. Dimas! Helmi! Ayo! Bopong Cila ke kantin beli minum..." Cila memberikan kedua lengannya yang kini badannya sudah berhadapan dengan Dimas dan Helmi yang memcoba mencetak point.

Choose Silence | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang