24

25 5 0
                                    

The chapter is short and typos are excessive.

-oOo-

Mereka sama-sama duduk bersebelahan di taman perumahan dengan angin sore yang begitu menyejukan. Peluh begitu terlihat jelas dari kedua remaja itu. Sama-sama mengelap peluh dengan sebuah handuk kecil yang mereka bawa masing-masing dari rumah.

Cila sesekali meneguk air mineral yang ia bawa tadi sebelum jogging bersama Rion. Yap, mereka baru saja jogging mengelilingi perumahan untuk sekedar menyehatkan tubuh. Kapan lagi ada momen seperti ini? Akur tanpa ada yang kesal.

Tentu Cila sangat menikmati momen tersebut. Sudah jarang ia dan Rion berdua dan menghabiskan waktu bersama. Cila benar-benar rindu. Mengingat sudah hampir berminggu-minggu mereka tak saling menyapa sedikit pun, layaknya orang tak saling kenal. Dan itu sungguh mengganggu, Rion memang mudah membuat orang merasa menyesal.

"Di kelas pasti lebih rame kan? Nggak ada Cila?" tanya Cila dengan senyum getir dan juga memecahkan keheningan di antara mereka, merasa aneh jika hanya diam tidak berbincang.

Pasti mereka begitu terasa bebas tak ada dirinya di kelas. Mengingat mereka selalu menganggapnya sebagai satu biji kuman di kaca jendela. Hanya sebuah ibarat. Tapi senyum getir tersebut luntur, bergantikan dengan kernyitan bingung saat Rion  mengungkapkan apa yang terjadi sebenarnya di kelas dua hari ini.

"Fathah rungsing terus. Dia marah-marah mulu sama Nada, Deya, udah kayak bocah SD baru PMS."

"Kok bisa?" tanya Cila bingung, benar-benar tidak peka.

"Ya gara-gara lo lah bego," jawab ketus Rion.

Seperti biasa, bukan?

"Kasar! Kok gara-gara Cila? Ngaco ih Rion mah," jawab Cila tak mengerti.

Sungguh Cila benar-benar tak mengerti. Walaupun juga tiba-tiba terlintas logika mengapa Fathah bisa bertengkar begitu dengan Nada dan Deya. Biasanya pun begitu, tiga orang tersebut yang selalu adu mulut dengan Fathah, yang Fathah sendiri memang sangat senang membuat keduanya kesal dan marah.

"Nggak bakal ngerti kalo yang mahamin itu orang yang otaknya masih kayak bocah," celetuk Rion.

"Iih... Rion... jelasin sih, Cila pengen tau!" paksa Cila mencoba untuk mengerti.

Rion mendengus, menghentikan kegiatannya menatap rerumputan dan juga yang sebelumnya sibuk mengelap keringat yang masih membanjiri sekitar wajah dan bagian belakang leher.

Terkadang Rion juga merindukan masa-masa ini. Masa di mana ia kesal dengan perilaku Cila yang manja dan pemaksa. Ada rasa tersembunyi setiap ia tak melihat dan melihat Cila.

Dan jujur tanpa Cila tahu bahwa beberapa hari ini kelas lebih kacau saat Cila libur sekolah atau diskors. Mereka benar-benar saling benci. Seperti golongan Fathah dan juga Aldo. Mereka jadi membenci Nada, Deya, Vannia, dan Agneta. Kalau Agneta memang tidak secara terang-terangan, jadi lebih ke menyindir. Walaupun sindiran lebih menyakitkan.

"Kalo lo nggak ngerti apa yang gue bilang masuk aja besok. Anak laki-laki pasti pada kaget kalo lo cuman diskors dua hari. Soalnya yang mereka tau lo diskors seminggu, itu juga gue yang ngasih tau," jelas Rion yang memang sudah seperti pengamat kelas. Benar-benar layaknya sebuah CCTV siang.

Tanya apa saja kepadanya tentang keadaan kelas atau kondisi kelas. Sudah dipastikan Rion tahu apa jawabannya, tentu harus dengan memohon dan memaksa sedikit. Mengingat Rion keras kepala dan... pelit? Rion tidak suka dibilang pelit. Dia lebih suka dipanggil hemat.

"Boong ah!!" ujar Cila tak percaya membuat rasanya Rion ingin melepar saja Cila ke rawa-rawa.

Rion menatap Cila sekilas, "terserah lo lah anjiiir...."

Choose Silence | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang