32. Pilihan hati

9.4K 466 3
                                    

"Allah, terimakasih"

–––– ARAFASYA ––––
© Auliariskamaula

Wanita cantik dengan jilbab panjang dan lebar berwarna biru langit itu kini sedang terduduk di kursi roda memandang suasana malam Kota Jakarta dari jendela besar yang ada di ruang perawatannya.
Wanita yang juga memakai cadar berwarna putih itu menikmati malamnya dengan perasaan hampa.

Tiba-tiba ponselnya berbunyi, dengan segera Ia mengangkat panggilan yang masuk ke dalam ponselnya.

"Assalamu'alaikum"

"Wa'alaikumussalam Ra, ini Gue sama Rania lagi di jalan mau ke rumah sakit"

"Ohh, ya udah hati-hati"

"Lo sama siapa disana?"

"Sendirian, tadi ada Bunda sama Kak Zaki tapi sekarang udah pulang"

"Kok sendirian sih, nanti kalo ada apa-apa gimana?"

"Ada suster Nin"

"Ohh oke, Gue bentar lagi sampai kok"

"Iya, wassalamu'alaikum"

"Wa'alaikumussalam"

Wanita itu kembali termenung, kembali teringat kejadian tiga hari yang lalu tepat dimana Ia baru saja sadar dari tidur panjangnya.

"Allah... Dosakah hamba melakukan itu?, Apakah sekarang Kau membenci hamba?, Beri petunjuk-Mu ya Rabb" ucapnya dalam hati.

Air matanya kembali menetes, entah syaitan apa yang sudah berhasil menggodanya pada hari itu hingga Ia meminta cerai pada Ilham yang notabene suaminya yang telah setia menjaganya saat Ia sedang koma.

Bukan hanya Ilham yang kecewa padanya, keluarganya juga kecewa dengan dirinya.
Bahkan saat ini Ara merasa dijauhi semua orang terdekatnya.
Ayah, Bunda, ketiga kakaknya, keluarga Ilham, dan sahabat-sahabatnya.
Semuanya seakan menjauhi dirinya, apalagi Riyan yang kemarin marah besar pada dirinya, hanya Nina yang setia mendampinginya tanpa berubah menjadi cuek.

Air mata Ara semakin deras mengalir, hatinya hancur, dadanya sesak.
Ada satu orang yang belum menemuinya sejak Ia sadar dari komanya dan sekarang Ara membutuhkan orang tersebut.

"Kak Safira..." lirih Ara.

Bahunya bergetar hebat karena menangis, bahkan matanya sudah membengkak karena terus menerus mengeluarkan air mata.

"Assalamu'alaikum" salam Nina dan Rania.

"Ra Lo ud––––––" ucapan Nina terpotong melihat bahu sahabatnya bergetar hebat.
Bahkan Ara tak menyadari jika Ia dan Rania sudah sampai.

Rania memalingkan wajahnya karena tidak kuat melihat sahabatnya menangis terus menerus seperti itu, tapi rasa kesalnya juga tak bisa Ia hilangkan karena keputusan gila sahabatnya itu.

"Ra..." lirih Nina kemudian memeluk Ara dari belakang.

Nina memutar kursi roda Ara, berjongkok menyamakan tingginya dengan kursi roda Ara, dihapusnya air mata Ara meskipun pada akhirnya kembali mengalir lagi dan lagi, bahkan Nina pun ikut menangis.

ARAFASYA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang