6.

2.4K 347 18
                                        

Aku mengerjap-ngerjapkan mata, memaksa mataku agar terbuka. Mataku sedikit terkejut karena cahaya lampu yang menyilaukan. Aku mengucek mataku dan perlahan mengubah posisiku menjadi duduk. Aku sedikit terkejut, karena pemandangan kamar yang asing. Ini bukan rumahku, aku ingat tadi ayah melewati hutan untuk kemari. Lalu tempat apakah ini?

Aku berjalan ke arah pintu dan menggerakkan engselnya. Aku keluar dari kamar mencari keberadaan ayah dan ibu. Rumah ini begitu besar tak jauh berbeda dengan rumah yang biasa aku tinggali, hanya saja rumah ini terlihat tak terawat, sepanjang aku berjalan hanya ada barang barang yang di tutupi dengan kain putih, mungkin sebelumnya rumah ini memang tidak di huni.

Aku memanggil nama mereka satu persatu. Hingga pada akhirnya jawaban dari panggilanku terdengar, aku keluar dari pintu belakang. Ternyata suara itu berasal dari seberang taman belakang rumah, disana ada bangunan kecil, sepertinya gudang, mungkin hanya ada satu ruangan di dalamnya.

"Dicariin juga, malah terik-teriak lagi," ucap kakak yang datang dari belakangku.

"Orang aku lagi nyari kakak, lalu kenapa aku ditinggalin di kamar sendirian sih," ucapku sambil berkacak pinggang. Tak ada respon dari kakak. Dia langsung menarik tanganku. Seketika aku berjalan terseok-seok.

"Aduh kakak pelan-pelan dong," tentu saja aku marah dengan perlakuannya. Jelas jelas aku masih bisa jalan tanpa diseretnya.

"Makanya cepet, keadaannya lagi genting gini kamu malah enak-enakan tidur." Aku hanya terdiam, benar juga perkataan kakak. Aku malah enak-enakan tidur padahal semua sedang pusing mencari cara untuk mengatasi masalah ini.

Aku melepaskan genggaman kak Tito dan berlari tak sabaran menuju gudang itu. Brak, semua terkejut aku membuka pintu terlalu kuat. Padahal menurutku aku hanya mendorongnya pelan. Semua mata tertuju padaku sambil melotot. Aku segera meminta maaf sebelum omelan ibu menghampiriku.

Kudekati kerumunan itu. Ternyata mereka sedang melihat sesuatu dari sebuah kaca setinggi satu setengah meter. Aku terkejut. Di kaca terlihat sebuah istana. Darah berceceran di satu ruangan yang jika dilihat lihat adalah tempat singgasana raja.

Perutku tak kuat lagi ingin rasanya muntah melihat darah sebanyak itu. Ketika aku akan keluar aku menabrak sesuatu, yang ternyata adalah kak Tito yang tadi aku tinggalkan.

"Minggir kak, aku mau muntah," sorot matanya berubah menjadi menyelidik tanpa pikir panjang dia langsung bertanya.

"Kamu hamil?" Aku tak menjawab sebenarnya aku kesal, tapi semua makanan diperutku akan keluar.

Huek...
Semua keluar dalam satu muntahan. Kakak yang masih di depan pintu hanya diam dan bergidik ngeri dan jijik melihat muntahanku.

"Kok malah diem aja kak, sana ambilin aku air putih!" Perintahku tanpa penolakan.

Kakak segera masuk keruangan di depannya dan segera mengambilkanku air minum.

"Ini," dia memberika gelas berisi air minum sambil menjepit hidungnya dengan ujung telunjuk dengan ibu jari.

Aku mengambil gelas yang dia sodorkannya dengan kasar. Aku langsung meminumnya. Ku sisakan sedikit air untuk menyiram muntahanku agar mengalir disebuah parit kecil.

"Kamu hamil?" Tanya kakak lagi membuatku naik pitam.

"Ya ampun kakak, kakak ini kok pikirannya negatif terus. Kalaupun kalau aku hamil, kalau muntah gak akan keluar apa apa. Aku muntah itu karena ngeliat darah di cermin. Kakak kan juga tau kalau aku liat begituan perutku jadi mual. Dasar kakak gak peka."

Aku masuk kembali ke ruangan itu disusul kakak dibelakang.

"Bu, itu siapa?" Tanyaku melihat dua orang di cermin. Namun tak dijawab satu kata pun.

"Astaga mengapa dia ingin membunuh orang itu," aku menutup mulutku, baru kali ini aku melihat penganiayaan di depan mata walau hanya lewat cermin.

My Mysterious Magic (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang