18.

1.4K 201 10
                                    

Malampun tiba ketika aku membuka mata. Arka sudah tidak berada disampingku lagi. Aku melihat ke sekitar pohon namun semua gelap hanya sedikit pencahayaan dari bulan yang malu malu menampakkan diri karena separuh bagiannya tertutup awan.

"Arka kamu dimana," teriakku. Angin berhembus menembus hingga tulang rusukku. Sungguh ini malam yang dingin.

Ketika aku ingin beranjak dari sana, seorang laki laki datang. Setelah mendekat ternyata Arka. Arka datang membawa kayu kayu kering.

"Arka, kamu kemana aja. Kamu kan lagi sakit." Omelku pada Arka.

"Aku udah sembuh, lagian kamu kedinginan kan. Aku cari kayu bakar untuk api unggun agar kamu enggak kedinginan." Ucap Arka sambil menata kayu bakar. Aku terdiam aku hanya bisa melihatnya menyalakan kayu bakar menggunakan korek yang dia bawa dari goa tadi.

Apipun menyala, Arka berjalan mendekatiku. Dia pun duduk disampingku seperti semula.

"Sekar, kenapa wajahmu pucat. Apa sekarang giliran kamu yang sakit?" Tanya arka sambil menempelkan punggung telapak tangannya di dahiku.

"Kamu panas, sebaiknya kamu tidur lagi supaya besok kamu sudah sembuh," aku mengangguk, dan mulai memejamkan mata.

'Kini aku berada di sebuah istana. Aku melihat Kara duduk disinggasana. Aku masih tidak percaya atas perlakuannya padaku kemarin. Aku ingin menjauhinya dan pergi dari tempat ini. Tapi dimana jalan keluarnya. Aku berbalik badan dan akan mencari jalan keluar. Namun langkahku terhenti. Sebuah tangan menepuk pundakku. Aku menoleh, ternyata Kara.

"Aku mencintaimu," tutur Kara datar. "Kamu akan mengerti kenapa aku melakukan itu," tambahnya.'

Mataku mulai terbuka. Ternyata hanya mimpi. Mimpi yang tak akan terjadi bagaimana mungkin Kara masih mencintaiku. Di dekat api unggun Arka masih disana. Entah apa yang dia lakukan mungkin menghangatkan diri. Aku tidur kembali, rasa rasanya kepalaku pusing. Sepertinya aku benar benar sakit.

"Sekar," panggilan itu menembus alam bawah sadarku. Membangunkanku dari tidur yang lelap. Aku membuka mata, aku terkejut Arka ada di depanku. Hari sudah berganti, sinar matahari masih malu malu menunjukkan wajahnya. Saat ini masih sangat pagi, tak seperti biasanya ketika di bumi. Aku selau bangun kesiangan jika tidak di bangunkan alarm.

"Kamu kaget ya, maaf seharusnya aku tidak di depanmu seperti ini." Ucap Arka, dia berdiri dan duduk disampingku.

"Ini makan, hanya ada apel. Aku sudah mencari kesana kemari namun hanya ada ini," dia memberikanku sebuah apel. Aku tersenyum.

"Ayo dimakan, kenapa malah senyam senyum," tutur Arka dengan halus.

"E eh itu aku seneng aja akhirnya kamu mau bicara panjang," dalihku.

Arka tersenyum dan beranjak dari tempat duduknya. Dia mengambil selembar daun untuk tempat air. Dia pergi ke parit untuk mengambil air dan diberikannya padaku. Tenggorokanku terasa segar, seperti sudah berhari hari aku tidak minum dan akhirnya minum air sesegar ini.

"Ka kita balik ke rumahmu sekarang yuk, takut kalau kakakmu khawatir. Semalaman kita disini." Ajak ku pada Arka yang kini sedang minum.

"Kamu udah sembuh?" Tanya Arka. Aku mengangguk dan berusaha berdiri pelan pelan. Sebenarnya kepalaku masih pusing. Tapi aku mulai bosan memakan apel terus menerus.

"Kamu masih pusing ya," ucap Arka, aku menggeleng bohong. Arka berdiri di depanku dan membungkuk. "Sini aku gendong, aku tahu kamu masih sakit." Aku menggeleng, tak enak dengan Arka. Bahkan Kara saja belum pernah menggendongku. Tunggu, mana mungkin Kara mau. Sudahlah lupakan saja.

"Gak usah segan, nanti kalau kamu sakit lagi kamu mau nginep lagi disini," bujuk Arka. Benar katanya, aku pun mau digendong.

Namun ketika kami mendekati pintu goa, tiba tiba terjadi goncangan. Sepertinya gempa bumi. Arka dan aku yang ada digendongannya menjauhi pintu itu, takut jika kami tertimpa reruntuhan batu.

Untungnya goncangan itu tak lama. Syukurlah aku dan Arka tak apa apa. Namun, pintu itu tertutup oleh batu. Arka berlari meninggalkanku yang duduk lemas dan menuju pintu goa yang tertutup batu reruntuhan. Dia mendobraknya dengan sekuat tenaga. Aku bisa melihatnya, peluh mengucur di dahinya. Bajunya basah bermandikan keringat. Usahanya gagal. Dia kembali menujuku.

"Sepertinya didalam goa juga runtuh. Baru kali ini ada gempa. Kita harus mencari jalan keluar lain," ungkap Arka.

"Maaf," ucapku lirih. Aku merasa bersalah karena mengajak Arka ke tempat yang belum kami ketahui.

"Bukan salahmu," ucap Arka sambil menggenggam tanganku erat.

My Mysterious Magic (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang