36. Pilihan Hati

1.3K 138 12
                                    

Hari libur bukan berarti untuk bermalas-malasan, tapi justru sebaliknya. Menyapu dan mengepel kini menjadi bagian dari rutinitas paginya. Nadya membuang air kotor bekas mengepel, lantas mencuci bersih ember yang telah dipakainya. Hitung-hitung belajar menjadi seorang ibu rumah tangga, pikirnya.

"Eh, keponakan Ma Wa udah bangun," ucap Nadya, beralih menatap kakaknya yang baru saja keluar dari dalam rumah bersama kakak iparnya dengan menggendong sang keponakan kecilnya. (Ma Wa = Bibi, dalam bahasa Aceh)

"Udah dong, Ma Wa," gumam Jihan, menirukan suara anak kecil.

Raihan langsung mengambil sebuah kursi plastik, lantas meletakkannya di teras rumah agar sang istri bisa duduk sambil menjemur bayi mereka yang baru berusia 45 hari. Sedangkan Nadya hanya menatap iri ketiganya, membayangkan kapan ia akan merasakan hal seperti itu. Kepalanya langsung menggeleng kecil saat teringat sesuatu yang membuat hatinya kembali merasa tak nyaman.

"Anak gadis jangan kebanyakan ngelamun, nanti jauh dari jodoh, lho," celetuk Raihan, melirik sang adik ipar.

Nadya tak menggubris ucapan kakak iparnya, lantas melangkah menghampiri sang kakak, lalu berjongkok di depan Jihan yang sedang duduk. "Sini Kak, biar Rafa aku yang gendong."

"Assalamu'alaikum," seseorang tiba-tiba datang, membuat Nadya mengurungkan niatnya untuk menggendong sang keponakan, lantas langsung berlari kecil menuju pintu gerbang.

"Wa'alaikumussalam." Nadya membuka pintu gerbang, menatap seseorang yang sama sekali tak dikenalnya dengan dahi mengernyit bingung.

"Apa benar ini rumah Ibu Jihan?" tanya laki-laki itu.

Nadya hanya mengangguk kecil, lantas menoleh ke belakang di mana sang kakak dan kakak iparnya kini menatap ke arahnya juga, seolah bertanya siapa yang datang. Namun, ia hanya mengangkat bahunya tak tahu, lalu kembali beralih menatap laki-laki tersebut.

Laki-laki itu mengeluarkan tiga buah undangan dari dalam tasnya, lantas menyodorkannya pada Nadya. "Ini ada undangan. Kalau begitu saya permisi dulu. Assalamu'alaikum."

"Oh iya, terima kasih. Wa'alaikumussalam." Nadya kembali menutup pintu gerbang, melirik undangan yang berada di genggaman tangannya. Namun, tiba-tiba napasnya tercekat saat mendapati sebuah nama yang tertera di undangan tersebut, bersamaan dengan dadanya yang terasa sesak.

"Undangan dari siapa?" tanya Jihan, memperhatikan sang adik yang sejak tadi memandang undangan tersebut tanpa mengatakan apapun.

Nadya mengangkat wajahnya, tersenyum kecil menatap sang kakak tanpa mengatakan apapun, lantas langsung menghampiri Jihan. "Ini Kak," ucapnya, menyodorkan dua buah undangan untuk kakak dan kakak iparnya, beserta kedua orang tuanya juga. "Aku ke dalem dulu."

Jihan menatap sang adik dengan raut bingung, merasa jika sikap adiknya tiba-tiba berubah setelah menerima undangan tersebut. Ia pun langsung membalik undangan tersebut, dan betapa terkejutnya saat mendapati nama 'Minho & Kayla' di sana yang akan melangsungkan pernikahan dua minggu lagi. Ia beralih melirik sang suami dengan raut tak kalah terkejut dari sang adik. Pantas saja seketika Nadya menjadi diam setelah menerima undangan tersebut, pikirnya.

Raihan yang merasa aneh dengan tingkah kakak beradik itu pun langsung meraih salah satu undangan di tangan sang istri, merasa penasaran dari siapa undangan tersebut berasal hingga membuat istrinya turut terkejut. "Minho dan.... Kayla?" gumamnya, membaca undangan tersebut.

"Tunggu! Ini Minho yang kita kenal, kan?" tanya Raihan, menatap sang istri dengan tampang bodoh saking terkejutnya. "Serius ini Minho adeknya Seohyun? Terus Kayla itu siapa?"

"Kamu sama sekali gak tau soal ini?" tanya Jihan, hati-hati, karena ia pikir suaminya pasti sudah tahu lebih dulu, mengingat Raihan sangat akrab dengan Minho.

Teman Masa Lalu (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang