Chapter 2

3.5K 202 28
                                    

Song for this chapter:

The Weeknd ft Daft Punk - Starboy
I'm tryna put you in the worst mood
P1 cleaner than your church shoes
Milli point two just to hurt you

🍉🍉🍉

Malam ini memberikan kesan membosankan pertama yang ku dapatkan semenjak 2 hari aku tinggal disini. Aku tak punya teman untuk mengobrol. Mustahil aku mengajak Chloe karena dia bahkan memiliki waktu istirahat yang sangat singkat. Alarm ku berbunyi, pertanda bahwa aku harus makan malam, tapi ibu ku belum pulang dan rasanya buruk harus makan malam sendirian.

Alarm itu mati dan tak lama kemudian ada panggilan masuk. Layar itu menunjukkan nama Zayn. Dahiku mengkerut, tumben dia meneleponku. Aku mengatakan halo dan ada bunyi gemuruh disana.

" Bea? " Aku tersentak akan suara beratnya yang sangat rendah dan mengejutkanku.

" Ya ada apa? "

" Aku ingin meminta izin padamu." Dari suaranya aku berasumsi bahwa dia mabuk. Berbicara soal izin, aku meyakini dia akan melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hubungan kita. Dia pacarku, kami akan bertunangan, dan menikah. Itu terencana bahkan sejak kami masih berbentuk bayi yang belum sempurna. Nasibnya sama denganku hanya saja Zayn adalah seorang pria yang cuek, dia bahkan selalu mengelabui keluarganya demi kesenangannya sendiri. Itulah sebabnya dia bisa menjalani hidupnya layaknya anak-anak seusianya di luaran sana.

" Katakan! " Aku sama sekali tak mengambil pusing jika dia mau menikahi orang lain selain aku. Hubungan kita layaknya sayur tanpa garam. Aku akan menerimanya dengan senang hati, aku sendiri telah berpikir untuk tidak membebani hati Zayn, dia tidak mencintaiku begitupun aku, dan aku tidak cukup jahat untuk membuatnya menjadi hak ku seratus persen.

" Aku ingin memacari gadis yang ku cintai, kau tak keberatan? " Dia membuang nafas panjang disana seperti telah lega untuk memberitahuku. Terlepas dari penampilannya yang berandalan dan sifat cueknya yang melampaui batas, Zayn masih menyimpan hormat dan kepedulian terhadapku. Tentunya karena kita sama-sama dipaksa jadi dia paham betul tentang aku.

" Tentu saja, Zayn! Aku ikut senang untukmu." Aku seharusnya memekik padanya seperti saat dia memberiku berita bagus bahwa dia berhasil lulus dari jurusannya tapi sekarang aku sedang malas jadi aku hanya sekedar terhibur " Semoga dia tidak menolak." Aku terkekeh pendek saat dia mengaminkannya.

Zayn mengatakan bahwa dia akan pergi jadi aku kembali dihadapkan oleh kenyataan bahwa aku hanya duduk di atas ranjang ku dengan gorden kamarku yang masih terbuka lebar. Aku mengumpat kecil saat harus terpaksa berjalan untuk menutupnya, tapi niatku runtuh begitu aku melihat sosok pria yang duduk menggantung kakinya di jendela. Ia memegang botol bir dan duduk termenung seperti orang yang sudah putus asa dan tak punya semangat hidup. Atau mungkin dia sudah terlalu banyak minum? Apakah aku benar-benar harus memikirkan penyebabnya? Aku tahu bahwa dia bersaudara dengan Gemma karena ucapan Anne mengingatkanku.

Lamunanku buyar saat dia berseru dan melambai-lambaikan tangannya ke arahku. Niatku menutup gorden runtuh seketika. Aku terpaksa mendorong kaca jendela karena dia memaksaku untuk melakukannya.

" Um...Hai? " Aku berkata dengan ragu sementara itu ia membiarkan botol birnya jatuh ke tanah, karena jarak yang cukup tinggi, sepertinya botol itu pecah. Dia pasti seorang pemabuk, bagaimana bisa Anne mempunyai anak sepertinya?

" Bilang pada ibumu kalau dia itu sialan. Kakakku harus membangunkan ku dan menyeret ku di lantai demi membantunya membuat kue itu di pagi buta dan ibumu dengan seenaknya memperlakukannya layaknya sampah. Kami sangat berterimakasih "

Aku terperangah sesaat tapi segera menyadarinya bahwa ia memang benar. Nada bicaranya sangat kasar. Seharusnya aku marah padanya karena dia mengatai ibuku tapi jika dipikir-pikir, ia pantas mengatakannya.

" Aku minta maaf, sungguh. Ibuku memang kesulitan untuk berperilaku baik terhadap orang lain yang belum dikenalnya. Ku harap aku bisa menebus kesalahannya." Dia tergelak disana sebelum berdiri dan berpegangan pada kusen jendela. Sepertinya dia akan mengata-ngatai ku.

" Menebus kesalahannya? Bagaimana caranya? Kau akan menggunakan uangmu? Maaf sekali tapi harga diri tak bernilai harganya." Ia menyemburkan kalimat itu dengan sarkasnya. Aku bingung harus berkata apa meskipun aku sendiri tahu bahwa aku tak berniat mengeluarkan uang demi permohonan maaf, aku juga mengerti tentang harga diri. Itu akan termaafkan dengan sebuah perbuatan dan niat yang kuat. Aku tidak membicarakan uang dan dia harus menyingkirkan pikiran tentang itu.

" Aku sudah berusaha berbicara dengan ibumu kemarin, ibumu menerimaku tapi ya aku paham jika kau dan kakakmu tidak sudi. Aku terima semua ucapanmu, aku dan ibuku pantas mendapatkannya." Dengan begitu, aku lebih memilih untuk menutup jendelaku dan mengabaikan suaranya yang masih mengajakku untuk adu mulut. Kepalaku mulai berputar bersamaan dengan suara mobil yang terdengar di garasi. Itu ibuku dan aku tak ingin berkomunikasi dengannya malam ini jadi aku pun memaksakan diri untuk tidur.

Besoknya aku mengambil kesempatan untuk menyiram bunga di depan. Aku punya beberapa jam untuk melakukan hal yang ku sukai sebelum alarm ku berbunyi dan menyuruhku untuk mempelajari tentang bisnis keluargaku. Aku sudah lulus dari home schooling ku dan seharusnya aku bisa melanjutkan kuliahku dengan biaya yang dimiliki oleh ayah dan ibuku tapi kedua orang itu tidak mempersilahkan ku untuk melakukannya. Mereka justru membuatku belajar tentang bagaimana caranya melanjutkan perusahaan yang masih dipegang oleh mereka, suatu saat nanti, saat aku sudah matang untuk memegangnya, barulah aku diberikan hak penuh.

Ibuku kemungkinan masih terkapar di ranjangnya jadi dia tidak akan tahu kalau aku sedang berada di luar.

" Hey! Kau! Iya, kau! Kemari! " Pria semalam, yang mengajakku adu mulut, dia berdiri di pagar pembatas dan memanggilku untuk mendekat padanya. Aku mendesis padanya agar dia tidak berisik, kalau sampai ibuku mendengar maka aku sudah tahu jelas harus berakhir dimana.

Dia memandangiku dengan tatapan mengintimidasi saat aku mulai mendekat padanya. Apa ada yang salah dengan gaunku?

" Apa? Kau ingin memaki? Ayo ucapkan, keluarkan semuanya agar aku bisa masuk ke dalam rumah sebelum ibuku mendengarmu." Ucapanku tak diindahkan olehnya, dia justru menarik lingkaran leher gaun ku yang tak berkerah ini layaknya dia ingin menghajarku hingga babak belur. Tatapannya tajam menusuk dan aku meneguk ludah.

" Aku ingin kau menebus kesalahan ibumu, kau mau melakukannya,bukan? " Aku berusaha melepaskan tangannya dari gaunku. Pria macam apa ini? Memperlakukan wanita dengan tidak sopan.

" Tentu aku mau tapi jangan bertindak kasar padaku! Aku perempuan, apa kau buta? Apa bedanya kau dan ibuku? " Aku membentak dengan kelancaran proses di mulutku. Ia tercengang sebentar sebelum kembali menyiapkan diri untuk menyerang ku.

" Jangan menyamakan aku dengan ibumu, culun! Aku mau kau datang kerumah ku besok, aku tidak mau tahu." Dengan keangkuhannya dia pergi begitu saja. Aku terpaku pada kata-katanya. Apakah aku culun? Kenapa aku lebih memikirkan kata itu ketimbang apa yang akan ia lakukan padaku di rumahnya?

Aku menyempatkan diri untuk merapikan lingkaran gaunku yang menjadi kusut akibat genggaman pria tadi. Dia benar-benar tidak punya sopan santun terhadap wanita, seenaknya saja dia memperlakukanku seperti itu. Aku berharap bisa mengadukan sikapnya pada ibunya suatu saat nanti.




























Oi oiii seneng deh nyampe targetnya cepet jirrr love you all jadinya aku langsung double up hehehe
Pemerannya bakal aku taruh di mulmed ya...

Mau next kah?

The Homegirl {HARBARA}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang