Sadar

1.2K 54 0
                                    

Orang yang dipanggil Raden Kuning terperangah. Ia seperti orang linglung ketika namanya disebut. Reaksinya hanya sesaat. Setelah itu ia kembali terdiam. Pangeran Arya Mataram kemudian menghampiri Raden Kuning yang tengah duduk bersila berusaha mengobati luka dalamnya. Dengan sentuhan lembut di pundaknya, Pangeran Arya Mataram menyalurkan tenaga. Jemarinya kemudian menotok ke bagian belakang kepala. Akibatnya, Raden Kuning memuntahkan darah hitam kental. Setelah itu ia pingsan di pinggir Sungai Ogan.

“Hei prajurit yang berada di perahu lesung. Segera kalian angkat tubuh Raden Kuning dan bawa ia ke rumahku!” Pangeran Arya Mataram dengan isyarat tangannya memerintahkan prajurit keraton Palembang untuk membawa tubuh Raden Kuning yang pingsan.

“Kalian yang berada di perahu Raden Kuning. Aku minta kalian juga ikut kami. Jangan melawan atau melarikan diri karena aku pasti akan dengan mudah menangkapmu!” Pangeran Arya Mataram memberikan perintah menyerah kepada dua teman Raden Kuning yang belakangan diketahui ternyata adalah Asen dan Cuncun.

Setelah memberikan perintah agar rombongan Ki Gede Ing Suro ke rumahnya di Lubuk Rukam, Pangeran Arya Mataram kembali berkelebat hingga hanya tinggal bayangan. Para nelayan yang menonton dari kejauhan segera mengenali pria berkemampuan tinggi itu sebagai Arya Belanga. Sesaat setelah ia menghilang, dari mulut mereka terdengar suara riuh rendah yang isinya memuji Arya Belanga. Akibat peristiwa itu masyarakat memberi julukan baru baginya yaitu Arya Saketi. Hal itu mengingat kepandaiannya yang sakti sehingga dilekatkan dengan nama depannya.

“Yang mengalahkan perompak tadi adalah orang yang sakti. Dia adalah Arya Saketi dari Lubuk Rukam yang memiliki kepandaian kanuragan tinggi!” Seru salah seorang nelayan. Demikianlah cerita tentang Arya Saketi langsung santer di masyarakat . Tanpa disadarinya, selain memiliki panggilan Arya Belanga, setelah kejadian itu Pangeran Arya Mataram juga dikenal juga dengan julukan Arya Saketi.

Jarak antara lokasi perahu lesung yang ditumpangi oleh Ki Gede Ing Suro dengan kampung Lubuk Rukam hanya memerlukan waktu setengah hari perjalanan. Perjalanan perahu lesung ke Lubuk Rukam tidak memakan waktu lama. Raden Kuning masih pingsan dan ia dalam keadaan menderita luka dalam yang serius. Ketika perahu mereka memasuki kampung yang berada di pinggir sungai Ogan itu, hari masih sore. Sinar matahari yang telah berada di ufuk barat masih memendarkan cahaya memerah yang terpantul dari air jernih sungai Ogan. Ki Gede Ing Suro takjub. Ia yang belum pernah singgah di kampung itu terpesona dengan kemiripan daerah itu dengan Djipang.

“Subhanallah. Daerah ini mirip sekali dengan Djipang. Tepat sekali Yang Mulia Pangeran Arya Mataram memilih tempat ini sebagai tempatnya tinggal dan menetap. Dengan berada di sini saja, aku merasa seperti berada di kampung halaman.” Ki Gede Ing Suro bicara dengan Bujang Jawa.

“Tepat sekali Yang Mulia. Tempat ini memang dipilih langsung oleh Yang Mulia Pangeran Arya Mataram."

Rumah yang ditempati Pangeran Arya Mataram adalah rumah yang paling besar di sana. Bahan kayu rumah itu adalah bahan kayu ulin yang sebelumnya dipergunakan sebagai kapal Jung milik keraton Djipang. Bujang Jawa sendiri yang menjadi perancang rumah panggung itu. Ukiran-ukiran di pintu masuk rumah juga adalah ukiran khas Jawa di mana di beberapa titik terukir lambang keraton Djipang ceplok mawar kelopak sembilan. Pangeran Arya Mataram sendirilah yang langsung memerintahkan Bujang Jawa mengukir lambang keraton Djipang itu. Harapannya agar nanti kelak di masa depan keturunannya dapat mengangkat kembali kebesaran keraton Djipang. Lambang keraton Djipang juga menjadi pertanda bahwa keturunan raja-raja Demak Djipang pernah mengukir sejarah di Palembang.

Raden Kuning masih tak sadarkan diri. Sementara dua perompak bermata sipit Aseng dan Cuncun diperlakukan dengan baik. Mereka meskipun berstatus tawanan tetapi diperlakukan sebagai tamu di rumah itu. Dua prajurit keraton Palembang yang mengawal Ki Gede Ing Suro menggotong tubuh Raden Kuning ke dalam rumah. Pangeran Arya Mataram kemudian mengobati luka dalam yang diderita Raden Kuning dengan cara unik. Tubuhnya dibaringkan di amben dengan posisi tengkurap. Di bawah amben diletakkan air panas berisi rebusan ramuan sehingga uapnya tersedot oleh hidung Raden Kuning. Pangeran Arya Mataram kemudian menyalurkan tenaga dalamnya di bagian punggung pria yang terhitung masih keponakannya itu.

Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang