Raden Kuning tak mau gegabah menerima pukulan kinaram gangga. Ia memainkan jurus ketiga 𝘮𝘦𝘭𝘢𝘮𝘱𝘢𝘩 𝘪𝘯𝘨𝘬𝘢𝘯𝘨 𝘭𝘶𝘳𝘶𝘴. Kakinya bergerak cepat menghindari pukulan lawan. Hawa dingin seketika menyeruak membuat dini hari itu semakin dingin. Beruntung tidak ada prajurit yang terkena pukulan nyasar.
“Berhentilah engkau memainkan jurus langkah ajaibmu itu, Raden Kuning. Itu seperti mengulang pertarungan kita di atas kapal tempo hari. Aku ingin mengukur seberapa besar tenaga dalammu sekarang.” Mpu Bengawan Sanca ternyata juga mengenali jurus lawan.
“Meskipun engkau telah bersorban dan mengganti penampilanmu, hatimu tetap tidak bersih Cupat. Meskipun beratus kali engkau mengganti nama, percuma saja jika polahmu tidak mencerminkan namamu. Sungguh tak pantas engkau memakai gelar Mpu!” Raden Kuning mengejek lawannya.
“Jangan banyak bicara kau, terimalah jurusku!”
Mpu Sanca membuat gerakan lambat. Dari balik pakaiannya yang besar diloloskan sebuah senjata aneh. Senjata itu berbentuk bola berduri yang tersambung dengan rantai baja. Di ujung rantai terdapat gagang terbuat dari gading gajah. Ia rupanya mengubah senjata lamanya berupa tengkorak kepala manusia dengan bola berduri.
“Terimalah jurusku, 𝘬𝘪𝘯𝘢𝘳𝘢𝘮 𝘭𝘢𝘢𝘴𝘩!”
Bola berduri meluncur mengincar ke titik vital lawan. Raden Kuning segera melolos Kyai Layon dan menangkis bola berduri sehingga menimbulkan suara berdering kencang. Kerasnya adu pukulan itu membuat bola berduri terpental ke belakang dan Kyai Layon hampir terlepas dari pegangan. Belum sempat Raden Kuning mengambil nafas, dari dalam bola berduri keluar asap beracun yang langsung menyerang pernafasannya.
“Aih, meskipun engkau telah berganti rupa ternyata jurus andalanmu masih saja senjata beracun. Kita sudah pernah beradu kepandaian dan engkau tahu jika segala macam racunmu itu hanya mampu mencelakai anak kecil.” Raden Kuning segera menempelkan Kyai Layon ke hidungnya. Dengan cara begitu, seberapa pun ganasnya racun musuh tak akan sanggup melukainya.
Angin yang bertiup sepoi dini hari itu berhembus ke arah Mpu Bengawan Sanca. Keadaan itu menguntungkan pasukan Soka Lulung karena akibat pukulan racun yang dilepaskan bola berduri, beberapa prajurit Pangeran Sentapa yang berlindung di balik pria bersorban justru menjadi korban. Mereka sempoyongan dan tertawa-tawa seperti orang gila sebelum akhirnya jatuh tersungkur.
Melihat pasukan pendukungnya yang menjadi korban, Mpu Sanca mendelik marah. Ia memutar-mutar senjatanya dan kembali menyerang Raden Kuning dengan ganas. Kali ini musuh sepertinya sengaja untuk mengadu tenaga dengannya. Mpu Sanca sengaja hendak merusak atau setidaknya membuat Kyai Layon terlepas dari pegangan Raden Kuning.
“Trang!” Dua senjata sakti itu kembali beradu.
Diam-diam Raden Kuning menyambut pukulan lawan dengan tenaga 𝘣𝘶𝘮𝘪. Pada kesempatan bertarung sebelumnya, lawan sanggup mendikte tenaga sedot jurus 𝘣𝘶𝘮𝘪 sehingga mampu mengatasi jurus kelima sangkan paraning dumadi itu. Kali ini Mpu Sanca rupanya tahu jika lawan berupaya menyerap tenaganya. Entah strategi apa yang digunakannya, Mpu Sanca malah melepas pegangan senjatanya dan mendorong pegangan berbahan gading runcing menyerang kepala Raden Kuning.
Tak menduga jika lawan mau melepas senjatanya, Raden Kuning kelabakan. Ia terpaksa mengurungkan penggunaan jurus bumi dan menarik Kyai Layon serta melompat mundur ke belakang. Raden Kuning tidak berani gegabah menangkis serangan ujung gading karena khawatir ada senjata rahasia lain yang akan dikeluarkan musuhnya. Anehnya, ketika ujung gading runcing itu mengenai tempat kosong, ia melayang kembali pulang ke genggaman tuannya. Ya, gading itu memang dirancang pipih yang berbobot ringan sehingga dapat terdorong kembali ke genggaman pemiliknya ketika memukul ruang kosong.
“Cerdas sekali seranganmu, Cupat. Menghadapi orang dengan tingkat kecerdasan dan kelicikan tinggi sepertimu, aku memang harus hati-hati.”
“Hahahaha……, akui saja jika dirimu takut beradu pukulan denganku, badut Kuning!”
“Jangan engkau adagang adigung, Cupat. Aku tadi hanya mengukur kemajuan latihanmu setelah kita lama tak bertemu. Tetapi kali ini aku akan menurunkan tangan besi terhadapmu. Lihat jurusku, 𝘫𝘦𝘯𝘢𝘳 𝘪𝘯𝘨𝘬𝘢𝘯𝘨 𝘥𝘢𝘯𝘨𝘶!” Raden Kuning melompat ke samping. Kyai Layon disimpannya ke balik pakaian. Kakinya memasang kuda-kuda dan kedua tangannya diangkat ke atas selanjutnya didorong ke depan.
Menghadapi serangan lawan, Mpu Sanca terlihat tenang. Sepertinya ia sangat percaya sekali jika tenaga lawan tak akan sanggup melukainya. Mulutnya komat-kamit merapal mantra berbahasa aneh. Seketika suasana berubah magis. Angin yang sebelumnya berhembus sepoi, tetiba berhenti berhembus. Ya, itu adalah pengaruh mantra dari jurus 𝘬𝘪𝘳𝘢𝘯𝘢𝘮 𝘣𝘶𝘳𝘢. Senjata di tangan Mpu Sanca diputar cepat dengan sebelah tangan, sementara telapak tangan kanannya terbuka memperlihatkan warna kulitnya yang menghitam.
“Dar!” Bunyi beradunya pukulan menggema hingga terdengar ke dermaga Tuban. Dahsyat sekali pukulan yang dilepaskan oleh dua pendekar sakti itu. Raden Kuning terhuyung tiga langkah, sedangkan lawannya juga terhuyung tiga langkah. Dalam hal adu tenaga dalam, keduanya kini imbang. Dalam pertemuan terakhir, Raden Kuning masih kalah kuat dalam hal adu tenaga dalam. Saat ini setelah mengkonsumsi jamur Sembilang, tenaga semesta Raden Kuning meningkat pesat. Terbukti ketika beradu pukulan dengan Mpu Sanca, keduanya berimbang.
Melihat lawannya kaget, Raden Kuning memanfaatkan hal itu dengan melanjutkan serangan. Ia langsung merapatkan kedua tangan di depan wajah. Kedua tangannya lalu membuat gerakan menyerong dari atas, bawah, ke atas lagi. Raden Kuning bergulingan di udara dengan kedua tangan diputar searah putaran jarum jam. Itulah jurus 𝘵𝘰𝘺𝘰 𝘪𝘯𝘨 𝘶𝘳𝘪𝘱𝘢𝘯.
Menghadapi jurus ketujuh sangkan paraning dumadi, Mpu Sanca menggunakan senjata ujung gading. Tangannya mencorat-coret ke udara. Ujung senjata gading yang berlubang mengeluarkan suara bising. Ini adalah gerakan 𝘫𝘢𝘢𝘥𝘰𝘰 𝘬𝘦𝘦 𝘬𝘢𝘭𝘢𝘮. Raden Kuning segera menutup pendengarannya dan menghantam senjata lawan dengan jurus pukulan. Namun kembali ia berdecak kagum karena pukulannya seperti menghantam dinding tebal yang tak kentara. Pukulannya membal dan berbalik arah.
“Hehehe…., engkau masih tidak sanggup menembus dinding dari jurus 𝘫𝘢𝘢𝘥𝘰𝘰 𝘬𝘦𝘦 𝘬𝘢𝘭𝘢𝘮. Cepat engkau menyerah saja, Kuning. Biar nanti tuanmu ini yang mempertimbangkan apakah engkau layak kuampuni atau tidak.” Mpu Sanca mengeluarkan ejekan. Kentara sekali jika ia berupaya mempengaruhi emosi lawan agar ia lengah.
Raden Kuning terpancing. Jika sebelumnya ia hanya ingin mengukur tenaga lawannya dengan membuka serangan, tetapi karena kematangan lawan, Raden Kuning terbawa emosi. Tanpa pikir panjang ia melompat mundur ke belakang dan bersiap dengan jurus pamungkasnya, jurus kedelapan 𝘭𝘦𝘴𝘶𝘴 𝘴𝘪𝘯𝘨 𝘱𝘶𝘳𝘶𝘯 𝘥𝘢𝘮𝘦𝘭. Tangannya dirapatkan dan diangkat ke atas sedangkan kaki mengempos di tanah hingga tubuhnya mencelat ke atas kemudian turun dengan tubuh berputar seperti gasing.
Dedaunan yang berasal dari pohon beringin yang berdiri kokoh di depan keraton rontok dan ikut dalam putaran gasing tubuh Raden Kuning. Jika sebelumnya angin berhenti berhembus, kini angin datang berhembus kencang. Jurus 𝘭𝘦𝘴𝘶𝘴 𝘴𝘪𝘯𝘨 𝘱𝘶𝘳𝘶𝘯 𝘥𝘢𝘮𝘦𝘭 memang mengandalkan angin untuk menghimpun tenaga semesta.
Melihat keganasan jurus lawannya, Mpu Sanca kembali komat-kamit. Ia kembali merapal mantra jurus 𝘬𝘪𝘳𝘢𝘯𝘢𝘮 𝘣𝘶𝘳𝘢. Akibat pengerahan dua jurus sakti itu, terjadi perubahan udara di tempat itu. Kedua jurus itu bertolak belakang. L𝘦𝘴𝘶𝘴 𝘴𝘪𝘯𝘨 𝘱𝘶𝘳𝘶𝘯 𝘥𝘢𝘮𝘦𝘭 mengandalkan angin, sedangkan 𝘬𝘪𝘳𝘢𝘯𝘢𝘮 𝘣𝘶𝘳𝘢 menghentikan angin. Cerdas sekali cara Mpu Sanca menganalisa jurus lawan. Terjadi tarik menarik kekuatan angin. Raden Kuning berkonsentrasi dengan putaran tubuhnya, dan tidak menghiraukan nuansa magis yang ditimbulkan oleh jurus musuhnya. Diawali dengan lompatan tinggi ke udara, tubuhnya menukik melepaskan pukulan dengan kedua tangannya ke arah kepala lawan.
Dua pukulan beradu. Aneh, beradunya pukulan itu tidak menimbulkan suara. Suasana mendadak berubah hening, dan kedua telapak tangan Raden Kuning dan Mpu Sanca menempel satu sama lain. Mereka sepertinya hendak beradu nyawa dengan saling mengadu tenaga. Namun Raden Kuning terkejut bukan main ketika dirasakannya tenaga yang dimiliki lawan mampu menindih tenaga dalamnya.
“Aih, engkau menjebakku.” Raden Kuning terhuyung tiga langkah ke belakang.
(Bersambung)88
KAMU SEDANG MEMBACA
Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)
HistoryczneDi ujung keruntuhan kerajaan Demak, Raden Arya Penangsang tewas. Adik kinasihnya Pangeran Arya Mataram dititahkan merawat keturunan dengan mencari suaka di bumi leluhur Palembang. Dalam pelariannya, ia ditemani abdi setia, Raden Kuning, Punggawa Tua...