Raden Kuning menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. Penjelasan gurunya tentang takdir dan pukulannya yang menyasar kendi, membuat kepalanya pusing. Ia bahkan merasa seperti orang linglung. Bagaimana bisa akal dan pikirannya menjelaskan semua hal yang baru dialaminya itu.
“Kau tidak sedang linglung, muridku. Baru saja engkau melihat langsung kepandaian kakangmu Rembalun. Ia memberimu contoh tentang hakekat takdir yang sebenarnya.” Ki Ageng Selamana memberi penjelasan.
“Mengapa engkau memukulku, Dimas Raden Kuning?” tanya Rembalun mengalihkan perhatian.
“Aku ingin membuktikan bahwa takdir itu bisa kita buat sendiri tanpa diatur oleh skenario Gusti Allah. Makanya aku memukul kakang tadi. Aku yakin sekali tadi bahwa takdir kakang adalah terkena pukulanku. Tetapi ternyata dalam sekejap Kakang Rembalun telah melunturkan keyakinanku atas pemahaman atas takdir yang bisa kubuat sendiri.”
“Kalaupun tadi pukulanmu mengenai tubuhku, maka itu bukanlah takdir yang terjadi atas kuasamu, Dimas Raden. Engkau jangan gagal paham. Jika pemikiranmu seperti itu, maka engkau akan salah jalan dan tersesat jauh. Semua yang terjadi, yang mungkin menurutmu tadi akan terjadi karena engkau yang menciptakan takdirnya, itu jelas pengertian yang salah. Pemahaman yang sama juga berlaku untukku. Takdirku hari ini adalah tidak terpukul olehmu karena tetiba aku seperti diarahkan oleh hatiku untuk menghindarimu!” seru Rembalun.
“Tapi bagaimana mungkin kakang bisa mengganti tubuh kakang yang jasadnya terlihat berada di sampingku dengan kendi air yang berada jauh di depan sana?”
“Itu karena takdirku telah ditulis bahwa aku bisa menghindari pukulanmu.”
“Baiklah, aku mahfum dengan penjelasan tentang takdir. Bahwa semuanya itu terjadi karena memang telah menjadi ketetapan Gusti Allah. Tetapi aku masih penasaran bagaimana engkau bisa melakukannya?”
“Melakukan apa, Dimas Raden?”
“Menghindari pukulanku dan berganti tempat dengan kendi air.”
“Yang kau lihat barusan adalah ilmu bayangan.” Ki Ageng Selamana mengambil alih penjelasan Rembalun. Bibirnya menyunggingkan senyuman. Sepertinya ia sangat mahfum jika saat ini muridnya itu tengah dilanda kebingungan.
“Ilmu bayangan. Jadi ketika kakang Rembalun memegang tanganku saat hendak kesini tadi juga menggunakan ilmu bayangan?” Raden Kuning terperangah. Orang yang disebut namanya hanya tersenyum.
“Benar, Dimas Raden. Atas petunjuk guru Ki Ageng Selamana, aku berhasil memecahkan intisari ilmu bayangan,” jelas Rembalun.
“Pasti ada hubungannya dengan ukiran yang kau pahat di seluruh rumah kayu di perkampungan ini. Aku melihat ukiran kakang itu seperti aksara Jawa. Telah beberapa kali aku lihat, tetapi aku tidak dapat mengetahui artinya.” Raden Kuning tak tahan menahan tanyanya. Dari raut wajahnya yang gusar, kentara sekali jika banyak sekali pertanyaan yang bergelayut di kepalanya.
“Secara garis besar apa yang kau rasakan itu benar, muridku. Motif ukiran yang terpahat di rumah kayu khususnya di tempat yang ditempati Rembalun adalah pengejawantahan dari ilmu bayangan. Ini kitab yang ditulis olehnya, baik sekali kau pelajari.” Ki Ageng Selamana menyodorkan kitab yang terbuat dari kulit kambing. Raden Kuning menyambut pemberian gurunya dengan khidmat. Keningnya berkerut ketika ia mulai membuka kitab itu.
“Bagaimana caraku mengartikan tulisan dalam kitab ini, kakang. Aku sama sekali tak paham apa maksud ukiran-ukiran yang terdapat dalam kitab ini.”
“Engkau harus membacanya dengan hati. Ini berhubungan dengan apa yang dijelaskan oleh guru tentang qodar. Ambillah cermin ini dan bacalah tulisan di kulit kambing ini. Caranya bacalah melalui cermin.” Rembalun mengeluarkan sebuah cermin kecil dan selembar kulit kambing dari balik bajunya. Raden Kuning segera menerima cermin itu dan berusaha menerjemahkan arti coretan yang terdapat dalam selembar kulit kambing yang baru diterimanya dari Rembalun. Ia kemudian melihat melalui cermin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)
Ficção HistóricaDi ujung keruntuhan kerajaan Demak, Raden Arya Penangsang tewas. Adik kinasihnya Pangeran Arya Mataram dititahkan merawat keturunan dengan mencari suaka di bumi leluhur Palembang. Dalam pelariannya, ia ditemani abdi setia, Raden Kuning, Punggawa Tua...