Pertentangan

750 42 5
                                    

“Aih, ternyata engkau Raden Gatra. Banyak sekali ku hitung kemampuanmu sekarang. Selain hampir berhasil memperdayaku dengan samaranmu, engkau juga ternyata telah mampu meniru suara, Raden. Aku bangga dengan kemajuanmu ini,” suara Bujang Jawa memecah keheningan.

“Minggat kau, Bujang Jawa. Aku atas nama ayahku Raden Kuning memberimu perintah!” Tetiba Raden Gatra telah berkacak pinggang di arena. Matanya yang jenaka namun pandangannya dibuatnya mendelik tajam diarahkannya kepada lelaki bersorban yang ada di belakang Bujang Jawa. Anak kecil itu tak lagi bertata krama dengan Bujang Jawa yang seharusnya disapanya dengan sebutan Paman. Ia juga memperlihatkan sikap permusuhan dengan lelaki bersorban.

“Maafkan aku, Raden. Aku mengemban titah dari Kanjeng Ratu Ayu Kirana,” jawab Bujang Jawa singkat.

“Aih, perintah tahi kucing. Titah itu bohong belaka, Bujang Jawa. Titahku lah yang asli. Engkau hari ini mendapat titah langsung Tuanmu ini!” Raden Gatra tak sungkan memerintah telik sandi perkasa itu.

“Aku tak mungkin berselisih paham denganmu, Raden. Tetapi aku tetap berada pada pihak mereka.” Bujang Jawa melompat kembali ke dalam kerumunan penonton.

“Hei, engkau lelaki bersorban. Majulah engkau, biar aku yang menggebuk pantatmu yang bulukan itu!” Bocah lelaki nakal itu sudah tak lagi mampu membendung emosinya. Ia langsung menyerang musuh dengan ganas.

“Hei, ah. Hebat engkau anak kecil. Tak kusangka kepandaianmu sehebat ini.” Lelaki bersorban yang tak menyangka diserang musuh dengan ganas nampak terperanjat dan berupaya menghindari serangan. Ia yang semula meremehkan lawan ternyata dalam hitungan singkat langsung kewalahan. Lelaki itu kemudian kembali melolos senjata berbentuk tulang manusia untuk menangkis serangan Raden Gatra.

Sementara di pinggir arena, kedua gurunya Belingis dan Nyai Derimas hanya bisa menonton pertarungan. Mereka terlihat bingung dengan keadaan saat itu. Beruntung dalam keadaan menegangkan itu, Suma Banding mengirimkan pesan suara ke telinga Nyai Derimas.

“Engkau harus menghentikan pertarungan itu, Nyai. Jika dilanjutkan, aku khawatir Raden Gatra yang masih bocah akan terluka. Menyingkirlah dari sini. Gunakan muridmu itu untuk mengobati racun yang bersemayam di tubuh kalian. Menyingkirlah ke istana dan temuilah Raden Sabtu yang saat ini bertugas memastikan bahwa racun musuh tidak menyusup ke dalam istana. Aku tahu muridmu itu bisa menjadi penangkal dari segala racun. Bantulah tugas Raden Sabtu, biarkan aku yang menyelesaikan persoalan di sini.”

Nyai Derimas terlihat manggut-manggut. Ia kemudian menggamit suaminya dan melompat ke arena. Seketika pertarungan terhenti. Dengan sisa tenaganya, nenek sakti itu menjewer kuping Raden Gatra. Sontak pemuda tanggung itu terseret mengikuti langkah gurunya. Meski raut wajahnya masih menunjukkan kemarahan, Raden Gatra yang bengal itu tidak berani membantah keputusan gurunya. Guru dan murid yang sama-sama aneh itu meninggalkan lelaki bersorban yang ketika itu nampak masih kebingungan.

Kesempatan tersebut digunakan lelaki bersorban untuk melompat mundur keluar dari arena. Terlihat sekali bahwa ia juga tak ingin bertanding dengan Raden Gatra. Dengan suka rela, ia mempersilakan guru dan murid itu berlalu dari hadapannya. Sekedipan mata, guru dan murid yang berperangai aneh itu segera menghilang dari arena.

“Bagaimana dengan tuntutan kami, penasehat kerajaan?” Setelah merasa tidak ada gangguan lagi, lelaki bersorban kembali melompat ke atas panggung dan meminta penjelasan dari Suma Banding.

“Aku tak mungkin mengabulkan permohonan engkau, utusan Malaka. Jika memang engkau memaksa, panggilah jagoan yang paling kalian andalkan, biar aku sendiri yang menghadapinya,” Suma Banding menjawab dengan ketus.

“Hahahaha……, baik jika itu keinginanmu. Biar aku sendiri yang mempermalukanmu penasehat kerajaan.” Lelaki bersorban terkekeh. Ia langsung menyerang Suma Banding dengan senjata aneh berbentuk tulang manusia.

Suma Banding telah menaksir ketinggian ilmu lawannya. Ia tak sungkan beradu tenaga dengan lelaki bersorban itu. Dengan cekatan, Suma Banding melolos keris dari pinggangnya. Senjata sakti pemberian Adipati Arya Karang Widara itu langsung menunjukkan pamornya. Keris pusaka itu menangkis senjata lawan.

“Trang.” Suara senjata beradu membuat pekak telinga. Terlihat tangan keduanya bergetar. Dalam hal adu tenaga dalam, keduanya terlihat berimbang.

“Hanya seperti ini kepandaianmu. Engkau telah berani jual lagak di Palembang. Biarkan aku membungkam mulut manismu itu dengan keris ini, hiyaaat!” Suma Banding mengambil inisiatif penyerangan.

Lelaki bersorban nampak keteter dengan serangan ganas Suma Banding. Ia tidak menyangka jika penasehat keraton Palembang yang terlihat kalem itu ternyata menyimpan kepandaian tinggi. Hingga akhirnya tendangan Suma Banding membuatnya terpental dari arena.

“Engkau telah kalah, Tuan. Aturan pertandingan jika ada yang melewati garis arena, maka ia akan langsung dinyatakan kalah.” Suma Banding menjura hormat ke arah lawannya.

“Jangan engkau merasa besar kepala, Tuan Suma Banding. Dia memang bukanlah lawanmu. Dalam tingkatan kepandaian jagoan kami, ia adalah utusan yang memiliki kepandaian terendah.” Suara teguran itu berasal dari seorang lelaki sepuh yang juga mengenakan sorban. Perbedaan yang mencolok darinya adalah janggut lebatnya yang berwarna putih.

“Aih, tak kusangka kalian masih ingin memaksakan kehendak. Seharusnya dengan kalahnya ia tadi, maka kami dapat menghentikan ajang adu tanding ini. Pahamilah keadaan kami, Tuan. Tak mungkin kami bisa menyelenggarakan adu tanding ini dengan adil jika para pesertanya ada yang meracuni.”

“Aku tak ingin berdebat denganmu, Tuan. Kedatangan kami ke sini hanya ingin membawa pengakuan bahwa utusan Malaka-lah yang memenangkan adu tanding ini. Jagoan Malaka harus diakui adalah yang paling sakti di antara kalian.”

“Kami tak bisa menuruti kemauanmu, Tuan. Jika saja para peserta itu dalam keadaan sehat dan kalian keluar sebagai pemenang, maka tentu saja kalian akan menyandang status itu. Tetapi jika keadaan seperti ini dan kalian memaksakan kehendak, kami akan melawan,” jawab Suma Banding tegas.

“Baik lihat jurus!” Lelaki bersorban memukul ke depan dengan tangan kosong.

Suma Banding merasakan angin pukulan yang kencang menuju ke arahnya. Ia segera menghindar dengan bergerak ke kiri. Menurut perhitungannya, pastilah pukulan lawan akan memukul tempat kosong. Namun betapa kagetnya Suma Banding saat tahu serangan itu ternyata hanya tipuan semata. Lelaki bersorban ternyata mengincar tubuh Suma Banding dengan tendangan. Tak ada waktu untuk menghindari tendangan lawan. Dengan terpaksa, penasehat kerajaan itu menangkis tendangan lawan dengan kaki kanannya.

“Aduh.” Suma Banding berteriak kesakitan.

(Bersambung)

Apa yang akan terjadi terhadap Suma Banding. Lanjutannya sabar ya, jangan sampe jangan lupa follow akun penulisnya

Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang