Kabut asap semakin tebal menyelimuti lereng gunung Dempo. Suara auman harimau semakin terdengar jelas. Kedum menghentikan langkah kakinya. Pandangan matanya semakin terbatas. Ia tak berani meneruskan perjalanan karena tidak bisa melihat jalanan di depannya. Tetiba kabut asap seperti tersibak seiring dengan mendekatnya suara auman harimau.
Sontak Kedum melolos keris dari pinggangnya.
Dari balik kabut asap nampak muncul sesosok manusia bertubuh kecil. Sorot matanya seperti menyala. Ia tidak bicara. Dengan isyarat tangannya, ia mengajak Kedum mengikutinya. Ajaib, kabut asap tersibak saat orang itu melangkah. Tak punya pilihan lain, Kedum akhirnya mengikutinya. Kabut asap semakin menjadi-jadi. Kedum melangkah dengan hati-hati. Pandangan matanya tak mau dilepaskan dari punggung orang yang kini menjadi penunjuk jalan itu.Keduanya berjalan tanpa bicara sepatah kata pun. Sesekali orang bertubuh kecil itu menoleh ke belakang dan memberi isyarat agar Kedum tetap mengikuti langkahnya. Cuaca dingin makin terasa. Kedum hanya bisa menduga bahwa kini mereka berada di lereng gunung yang curam. Semakin ke atas jalan semakin menanjak sehingga sulit untuk dilewati dengan cepat. Tetapi orang yang diikuti Kedum seperti tidak merasakan kesulitan menaklukkan jalan yang terjal. Ia berjalan seperti biasa. Sedangkan Kedum mulai kepayahan.
“Bisakah kita beristirahat sejenak, adik. Kakiku sudah sedemikian letihnya sehingga langkah kakiku menjadi semakin berat.” Kedum akhirnya bicara. Tetapi orang yang diajak bicara seolah tidak mendengar dan tetap melanjutkan perjalanan.
“Hei, adik kecil. Tidakkah engkau mendengar permintaanku,” Kedum kali ini bicara dengan nada keras.
Orang berwujud kecil itu membalikkan badannya. Kali ini Kedum dapat melihat dengan jelas wajahnya. Tubuhnya hanya seukuran pinggangnya, tetapi rambutnya sebagian telah memutih. Wajahnya yang lebih aneh lagi. Hidungnya menyerupa hidung harimau dan kumis yang tumbuh di atas bibirnya seperti kumis kucing. Matanya menyorot dengan tajam. Kedum berigidik. Tak sengaja ia berteriak.
“A-a-apakah saat ini aku tengah berhadapan dengan Puyang Masumai. Maafkan aku yang tidak mengenal tingginya Gunung Dempo. Aku bernama Kedum. Kedatanganku ke sini karena menjalankan tugas dari calon guruku. Aku harus mendapatkan kayu panjang umur dan kayu api sebagai syarat untuk mengobati penyakit gatalku ini.” Kedum menjura hormat. Sungguh cerita tentang kisah Masumai bukan isapan jempol semata.
Meskipun mendapat penghormatan dari tamunya, orang yang dipanggil dengan sebutan Puyang Masumai itu bergeming. Raut wajahnya tak berubah, datar. Kedum tidak bisa menebak apa yang tengah dipikirkan oleh sosok penjaga Gunung Dempo itu. Hatinya masih bergetar mengingat mitos yang menyebutkan bahwa Masumai adalah sosok manusia harimau yang suka menyesatkan orang yang berani mendaki Gunung Dempo.
Sependidih air, Masumai tetap bergeming. Ia terlihat tetap berdiri di tempatnya. Tetapi keanehan mulai terjadi. Tubuh kecil itu seperti tertarik menjauh mundur ke belakang. Dalam sekedipan mata, tubuh kecilnya tak lagi terlihat. Selepas kepergiannya, kabut asap tebal kembali mengepung pandangan mata Kedum.
“Aih, bodohnya aku mau saja diperdaya oleh Masumai itu. Bagaimana caranya agar aku dapat melewati rintangan ini. Ya, Allah berikanlah petunjuk?” Kedum menengadahkan kedua tangannya berdoa.
Tetiba terlintas di pikirannya untuk mengumandangkan adzan. Ia bahkan tak sempat berpikir lagi. Tangan kanannya diangkat hingga menempel ke telinga. Lalu terdengarlah suaranya adzan memecah kesunyian.
“Allahu akbar, Allahu akbar. Asyhadu anlaa Ilaaha Illallah, asyhadu anlaa Ilaaha Illallah. Asyhadu anna Muhammadan Rasuulullah, asyhadu anna Muhammadan Rasuulullah.....”
Selepas kumandang adzan, kabut asap tebal perlahan-lahan menipis. Kabut yang entah datangnya darimana itu seperti arak-arakkan awan yang tertiup angin. Kabut asap pergi dari tempat Kedum terperangkap seolah menyusul Masumai yang telah lebih dulu menghilang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)
Fiksi SejarahDi ujung keruntuhan kerajaan Demak, Raden Arya Penangsang tewas. Adik kinasihnya Pangeran Arya Mataram dititahkan merawat keturunan dengan mencari suaka di bumi leluhur Palembang. Dalam pelariannya, ia ditemani abdi setia, Raden Kuning, Punggawa Tua...