Lakon ilmu takdir

1K 51 0
                                    

“Terimalah hormatku, Kakang Rembalun. Maafkan aku yang tidak mengenali orang berilmu.” Raden Kuning tetiba melepaskan cekalannya. Entah apa yang ada dalam pikirannya sehingga ia bicara seperti itu. Anehnya, Rembalun seperti tak terpengaruh dengan perkataan tersebut. Ia hanya melengos dan meninggalkan mereka masuk ke dalam rumah kayu.

“Maafkan, Kakang Rembalun. Ia memang kerap berprilaku seperti itu. Sejak kecil, kami kakak beradik terpisah. Kakang Rembalun tak sengaja ikut dengan seseorang yang kebetulan singgah di desa kami. Orang itu kemudian mengajak Kakang ke padepokannya di Kudus. Peristiwa itu terjadi saat ia masih kecil. Aku bahkan belum lahir ketika itu.” Rangga Balun berkali-kali menghaturkan maaf. Ia sepertinya sangat terpukul dengan prilaku kakaknya yang serampangan.

“Memang sudah seharusnya seperti itu, Dimas. Jika aku adalah dia, maka aku pun akan melakukan hal yang serupa. Ayo kita kembali menghadap guru. Pasti beliau akan menghapus rasa penasaranku ini.” Raden Kuning segera menuruni anak tangga rumah. Langkahnya lebar, sehingga rombongan yang berada di belakang, tertinggal jauh.

Bangau Jijen segera menyusul Raden Kuning. Ia sepertinya paham jika junjungannya itu tengah dilanda kebingungan. Meskipun tidak tahu harus berbuat apa, tetapi insting prajuritnya memerintahkan ia untuk selalu berada tak jauh dari junjungannya. Benar saja, belum sependidih air tetiba langkah kaki mereka terhenti oleh peristiwa yang tak masuk akal.

Di tengah jalan kampung itu, tetiba telah berdiri orang yang mirip benar dengan Rembalun. Seniman pahat itu masih menggunakan surjan yang sama, tetapi kali ini ia memasang destar di kepalanya. Destar itu berwarna hitam bertuliskan ukiran berwarna putih yang mirip sekali dengan aksara Jawa. Raden Kuning segera menyapa orang aneh itu.

“Aih, kiranya Kakang Rembalun menyusul. Pastilah jika dirimu menjadi diriku, rasa penasaran ini akan menuntun dirimu yang menjadi diriku itu ke rumah Ki Ageng Selamana.” Bahasa yang digunakan Raden Kuning terdengar aneh. Tetapi dengan gaya bahasa seperti itu, sepertinya lebih bisa diterima oleh Rembalun.

“Memang aku saat ini adalah dirimu. Oleh karena itu, aku tahu apa yang aku inginkan tahu. Ayo kita bersama menuju tujuanmu!” Rembalun menjawab pertanyaan dengan bahasa yang nyaris sama. Ia kemudian menghampiri Raden Kuning dan memegang tangan kanannya seperti orang bersalaman. Ajaib, keduanya seperti hilang dari pandangan mata.

Bangau Jijen yang sedari tadi siaga segera menerjang ke arah Rembalun. Tetapi ia kecele. Orang yang diserangnya telah hilang dari pandangan. Terlihat sekali jika prajurit Djipang itu khawatir. Rempa Balin yang kemudian berhasil menyusul memegang pundaknya.

“Apa yang terjadi, Kakang. Di mana Raden Kuning?”

“Aku juga tidak tahu. Perjalanan kami dihadang oleh orang yang kita temui di rumah kayu penuh ukiran tadi. Tetiba Raden menghilang setelah mereka berjabatan tangan.” Suara Bangau Jijen terdengar seperti orang menceracau. Terlihat jelas jika ia masih terkejut dengan peristiwa mistis yang baru dialaminya.

“Baiklah jika seperti itu. Engkau jangan khawatir. Yakin saja jika Yang Mulia Raden Kuning mampu mengatasi masalah ini. Ayo engkau ikuti aku.” Suara Rempa Balin membuat tenang mantan prajurit keraton Djipang tersebut. Bersama rombongan lainnya, mereka kembali menuju rumah Ki Ageng Selamana.

Raden Kuning dan Rembalun melesat menuju rumah Ki Ageng Selamana. Ilmu meringankan tubuh keduanya yang telah paripurna membuat mata orang awam tak mampu menangkap kelebatan bayangannya. Bahkan prajurit sekelas Bangau Jijen pun tak mampu melihat bayangan tubuh mereka. Hanya sekedipan mata, keduanya telah berada di lantai atas rumah dan mengucap salam. 

“Assalamualaikum!” ujar keduanya kompak.

“Waalaikumsalam, masuklah. Kalian berdua memang telah aku tunggu sedari tadi.” Terdengar suara Ki Ageng Selamana menjawab salam mereka. Raden Kuning mengambil inisitif terlebih dahulu masuk ke rumah kayu yang ditempati gurunya. Rembalun kemudian menyusul di belakangnya.

Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang