"Aih, takdir Kyai Layon memang ada di tanganmu, Ngger. Ini adalah pertanda bahwa aku segera harus mempersiapkanmu untuk naik tahta. Tetapi ada dua yang menjadi ganjalanku, yang pertama engkau harus segera memilih calon pendampingmu dan yang kedua apa yang harus kita lakukan untuk mencegah takdir buruk yang dibawa Kyai Layon." Raden Haryo Balewot terlihat murung. Semua peserta yang hadir dalam pisowanan terdiam hingga akhirnya Senopati Glagah Watu angkat bicara.
"Maafkan atas kelancangan saya, Yang Mulia. Apa yang terlihat belum tentu yang tersurat. Perihal jodoh Pangeran Sekar Tanjung adalah perihal mudah yang dapat segera kita carikan solusinya. Tetapi perihal takdir buruk Kyai Layon tidak ada satu pun manusia yang dapat memastikan kebenarannya. Menurut pandangan saya, jika memang kita tidak bisa memusnahkan keris sakti ini, lebih baik kita menjaga keris itu agar jangan sampai jatuh ke tangan orang lain. Kyai Layon harus dikuasai sepenuhnya oleh Pangeran Sekar Tanjung." Semua peserta pisowanan sepertinya sepakat dengan saran itu.
"Hamba kira lebih baik kita musnahkan saja keris itu, Yang Mulia," Soka Lulung angkat bicara.
"Saya juga sepakat untuk memusnahkan keris sakti ini, Yang Mulia," ujar Pangeran Sekar Tanjung.
"Bagaimana cara kita memusnahkan Kyai Layon?" Raden Balewot sepertinya lebih sepakat untuk memusnahkan keris yang ditenggarai akan mendatangkan bencana di negeri Tuban tersebut.
"Panaskan di atas bara api. Dengan cara begitu, keris itu akan meleleh dan bisa ditempa menjadi bentuk lain." Raden Kuning kali ini yang bicara.
"Baik, prajurit segera siapkan prosesi pemusnahan Kyai Layon. Pangeran Sekar Tanjung segera engkau serahkan keris itu kepadaku, sebelum nanti ia menghilang kembali." Raden Balewot memberi perintah. Bergegas Pangeran Sekar Tanjung menyerahkan keris Kyai Layon.
Keanehan terjadi ketika Raden Balewot menerima keris itu. Tangannya bergetar dan wajahnya seperti orang tengah melamun. Mereka yang hadir dalam pisowanan menduga sepertinya Adipati Tuban itu telah mendapat petunjuk dari Kyai Layon. Sependidih air, Raden Balewot wajahnya berubah murung.
"Aku mendapat petunjuk yang menguatkan bahwa kelak Kyai Layon akan menumpahkan darah anak keturunanku. Cepatlah siapkan bara api, aku sendiri yang akan membakar keris ini," tegas Raden Balewot.
Belasan prajurit telah menyiapkan perapian di halaman depan paseban. Api segera membesar membakar kayu kering yang telah ditumpuk tinggi. Dalam waktu singkat, kayu yang terbakar telah menjadi bara api. Raden Balewot mengajak peserta pisowanan untuk menyaksikan langsung pemusnahan Kyai Layon. Kedua tangan Raden Balewot memegang erat Kyai Layon yang terbungkus dalam warangka. Ia kemudian melemparkan keris itu ke dalam perapian.
Api dengan cepat membakar warangka keris. Terdengar letupan kecil ketika warangka keris terbakar. Tetapi keanehan terjadi ketika api mulai membakar keris Kyai Layon. Dari tubuh Kyai Layon tetiba keluar warna biru. Warna biru itu membentuk tameng yang tidak bisa disentuh oleh lidah api. Mereka yang hadir menahan nafas akibat takjub dengan peristiwa langka itu.
"Masya Allah, Kyai Layon kebal terhadap api. Apa yang harus kita lakukan sekarang?" Pangeran Sekar Tanjung sontak bicara.
"Tambah kayunya, kita akan membakar keris sehari semalam!" Perintah Raden Balewot. Untuk menghindari kultus bagi keris sakti itu, Raden Balewot mengajak peserta pisowanan kembali ke paseban. Ia memerintahkan prajurit untuk menjaga api agar tetap menyala agar keris Kyai Layon dapat dimusnahkan. Belum sempat mereka kembali ke paseban, tetiba turun hujan disertai angin kencang. Mereka segera bergegas kembali ke paseban. Api yang membakar Kyai Layon mati. Anehnya ketika bara api mati, hujan deras yang mengguyur keraton Tuban ikut berhenti.
Raden Balewot kemudian menghampiri ke halaman dan melihat Kyai Layon masih diselubungi warna biru. Adipati yang memiliki kematangan batin itu kemudian mengambil Kyai Layon yang kini tinggal berbentuk keris luk tanpa warangka dan gagang itu. Meskipun baru saja dilahap api, namun Raden Balewot tidak merasakan hawa panas ketika memegang keris. Ia bahkan merasakan ada hawa sejuk mengalir melalui besi keris yang kini berada di genggamannya. Tetiba salah seorang prajurit berteriak-teriak seperti orang kesurupan.
"Hai, Balewot. Sekuat apapun engkau menolak takdir, sekuat itu pula takdir itu akan mendekat kepadamu. Takdir baik dan takdir buruk harus engkau yakini. Janganlah kalian membuat tipu daya agar takdir buruk itu menjauh. Nanti kalian semua yang akan merasakan takdir buruk terjadi di seluruh Tuban!"
Senopati Glagah Watu segera mengcengkeram leher prajurit yang lancang itu. Tetapi dengan isyarat tangannya, Raden Balewot melarangnya untuk menghukum prajurit itu. Ia bahkan menghampiri sang prajurit itu dan mencoba berkomunikasi dengannya.
"Assalamualaikum, apakah benar engkau adalah Kyai Layon?"
"Waalaikum salam, benar Balewot. Aku adalah Kyai Layon," jawab prajurit itu lantang, Matanya terpejam dan tangannya bersidekap di depan dada. Ia kemudian duduk bersila di depan Raden Balewot.
"Dari mana engkau berasal dan apakah yang menjadi tujuanmu di Tuban?"
"Aku mewakili Syekh Ngali dari Gresik untuk mengabdi di Tuban."
"Bagaimana caramu mengabdi di Tuban jika takdirmu akan mendatangkan pertumpahan darah anak cucuku di sini!" Raden Balewot membantah dengan nada tinggi.
"Ketahuilah Balewot tidak ada satu pun manusia yang dapat menolak takdir. Jangan engkau menilai takdir buruk itu akan selamanya buruk. Jika tidak ada takdir buruk, maka tak ada pula takdir baik. Jangalah engkau melawan takdir. Tak ada satu pun manusia yang sanggup menolaknya. Engkau sudah kebablasan. Biarkan peristiwa ini tercatat sebagai kesalahan yang pertama dan terakhir. Setelah ini jangan ada lagi usaha untuk memusnahkanku. Ingatlah meskipun aku musnah, takdir buruk dan takdir baik akan tetap terjadi di Tuban."
"Lalu apa yang aku harus perbuat agar takdir buruk yang menimpa anak cucuku itu agar tidak meluas dan menimbulkan huru-hara?"
"Caranya dengan menerima ikhlas takdir buruk itu. Yakinlah dengan adanya takdir buruk tersebut, maka selanjutnya akan terjadi takdir baik di negeri Tuban ini. Engkau tak boleh terus mencari tahu apa yang akan terjadi di masa depan karena hal itu di luar kekuasaanmu. Buatlah anak cucu keturunanmu serta rakyatmu menjalankan syariat dengan sebenar-benarnya agar Tuban menjadi daerah yang gemah ripah loh jinawi. Baiklah cukup kiranya kehadiranku di sini, wasalamualaikum!" Prajurit yang menjadi perantara itu tetiba lemas dan terjatuh. Raden Balewot kemudian membawa keris Kyai Layon tak berwarangka itu kembali ke singgasananya.
"Baiklah, setelah menyaksikan dan mendengar pembicaraan tadi, maka aku memutuskan Kyai Layon untuk disimpan di tempat penyimpanan pusakan keraton Tuban yang berada langsung di bawah pengawasanku. Jika nanti Pangeran Sekar Tanjung naik tahta, maka keris itu berada langsung di bawah pengawasannya. Senopati Glagah Watu, engkau aku tugaskan untuk mempersiapkan Pangeran Sekar Tanjung agar cakap mengelola pemerintahan." Raden Haryo Balewot telah mengambil keputusan. Meskipun masih terlihat aura kecemasan di wajahnya, tetapi sebagai pemimpin tertinggi di Tuban, ia harus segera mengambil keputusan.
"Injih, Yang Mulia." Semua peserta pisowanan agung menerima keputusan junjungannya tanpa berani bertanya.
"Senopati Soka Lulung, engkau terimalah keris Kyai Layon ini dan simpanlah ia di tempat penyimpanan pusaka keraton!" Raden Balewot kemudian menyerahkan Kyai Layon dan membubarkan pisowanan agung.
Soka Lulung segera menerima Kyai Layon. Dengan hati-hati dibungkusnya keris itu dengan kain putih. Namun ketika jari tangannya menyentuh Kyai Layon, sorot matanya berubah biru. Ia seperti berubah menjadi orang lain. Perubahan janggal itu disaksikan oleh Raden Kuning. Semua yang hadir tidak ada yang memperhatikan perubahan itu.
"Berhenti dulu, engkau Soka Lulung!" teriakan Raden Kuning keras.
(Bersambung)96
KAMU SEDANG MEMBACA
Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)
Ficção HistóricaDi ujung keruntuhan kerajaan Demak, Raden Arya Penangsang tewas. Adik kinasihnya Pangeran Arya Mataram dititahkan merawat keturunan dengan mencari suaka di bumi leluhur Palembang. Dalam pelariannya, ia ditemani abdi setia, Raden Kuning, Punggawa Tua...