Suma Banding seolah dituntun batinnya untuk berbalik arah dan duduk mengikuti dakwah si orang bersorban. Kusir kereta memilih duduk bersila di belakangnya. Penasehat kerajaan itu berbaur dengan kawula biasa menjadi jamaah yang mendengar taklim dari orang asing bersorban.
“Derajat ihsan merupakan tingkatan tertinggi keislaman seorang hamba. Tidak semua orang bisa meraih derajat yang mulia ini. Hanya hamba-hamba Allah yang khusus saja yang bisa mencapai derajat mulia ini. Tingkatan agama yang paling tinggi adalah ihsan, kemudian iman, dan paling rendah adalah islam. Orang-orang yang memiliki sifat ihsan atau disebut kaum muhsinin merupakan orang pilihan dari hamba-hamba Allah yang shalih. Jika ihsan sudah terwujud berarti iman dan islam juga sudah terwujud pada diri seorang hamba. Jadi, setiap muhsin pasti mukmin dan setiap mukmin pasti muslim,” jelas pria bersorban kepada jamaah.
Si orang bersorban menjelaskan tentang ihsan dari hadist Rasulullah yaitu ihsan dalam beribadah kepada Allah dan ihsan dalam menunaikan hak sesama makhluk. "Ihsan dalam beribadah kepada Allah maknanya beribadah kepada Allah seolah-olah melihat-Nya atau merasa diawasi oleh-Nya. Sedangkan ihsan dalam hak makhluk adalah dengan menunaikan hak-hak mereka. Ihsan kepada makhluk ini terbagi dua, yaitu yang wajib dan sunnah. Yang hukumnya wajib misalnya berbakti kepada orang tua dan bersikap adil dalam bermuamalah. Sedangkan yang sunnah misalnya memberikan bantuan tenaga atau harta yang melebihi batas kadar kewajiban seseorang. Salah satu bentuk ihsan yang paling utama adalah berbuat baik kepada orang yang berbuat jelek kepada kita, baik dengan ucapan atau perbuatannya," tambahnya.
Lalu si pria bersorban menyampaikan tentang hadist, “Seseorang bertanya kepada rasulullah, wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? Beliau menjawab, kamu menyembah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, maka jika kamu tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.”
Hingga menyelesaikan taklimnya, Suma Banding tak menemukan suatu perkataan pun yang mengarah kepada kecurigaannya terhadap orang bersorban itu. Ia menyampaikan dakwah dengan sebenar-benarnya. Kecurigaannya bahwa orang yang bersorban ini sama dengan kelompok penghadang yang menguasai sihir ternyata tak terbukti.
“Aih, aku salah duga. Lalu, dimanakah kelompok pria asing bersorban yang menghadang Raden Sabtu?” tanya Suma Banding pelan. Pria bersorban yang baru berdakwah sepertinya mendengar gumamannya. Pria berjanggut lebat itu kemudian menyapa kerisauan Suma Banding.
“Janganlah engkau gelisah, Tuan. Kami datang ke bumi Sriwijaya ini dari Gujarat melalui Samudera Pasai, dan insya Allah membawa manfaat bagi yang mendengar dakwah kami sampai selesai. Kami datang hanya untuk berdagang dan menyiarkan Islam. Jika ada orang atau kelompok yang berpakaian mirip kami tetapi memiliki tujuan politik, itu bukan kami. Jika engkau perlu informasi, masuklah ke dalam masjid, kita berbincang di sana.” Pria bersorban itu kemudian berdiri dari duduk silanya dan dengan anggukan kepala mengajak Suma Banding mengikutinya. Tanpa keraguan lagi, Suma Banding mengekor di belakang. Di dalam masjid terlihat lima orang pria asing berhidung mancung dan bersorban. Suma Banding menyalami mereka satu per satu.
“Assalamualaikum, senang bisa bertemu dengan kalian ya, Syekh.” Suma Banding menyapa mereka. Tatapan mata pria bersorban hangat dan mereka hampir berbarengan menjawab salam darinya.
“Kami datang dalam tiga rombongan. Yang pertama datang sekitar tiga bulan yang lalu. Mereka kini berdakwah di sepanjang Sungai Komering. Mendatangi warga dari rumah ke rumah untuk mengajak mereka yang sudah Islam agar taat beribadah. Bagi masih memeluk agama lain, kami berkenalan lewat barang dagangan yang kami bawa dari India. Ada permadani, ada kain dan ada rempah kari khas India. Rombongan yang kedua datang dua bulan yang lalu. Tujuan mereka adalah berkeliling di sepanjang Sungai Ogan. Sama seperti rombongan sebelumnya, mereka datang untuk berdakwah dan berdagang. Lalu, kami baru sepekan berada di kotaraja Palembang. Tak ada maksud kami yang lain, kecuali berdakwah dan berdagang,” jelas pria yang baru selesai berdakwah tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)
Fiksi SejarahDi ujung keruntuhan kerajaan Demak, Raden Arya Penangsang tewas. Adik kinasihnya Pangeran Arya Mataram dititahkan merawat keturunan dengan mencari suaka di bumi leluhur Palembang. Dalam pelariannya, ia ditemani abdi setia, Raden Kuning, Punggawa Tua...