Meskipun Arya Belanga berupaya menyelematkan Kedum dari ancaman racun asap, tetapi ia kalah cepat. Racun asap itu sebagian telah terhirup sehingga membuat abdinya itu berkelojotan seperti ayam baru dipotong. Bergegas Arya Belanga menotok di bagian pundaknya sehingga gerakan liarnya terhenti. Seketika tubuhnya digotong dan direbahkan di bawah pohon besar.
“Aih, jahat sekali racun ini. Tak pantas perbuatanmu itu disebut untuk kebaikan, tuan bersorban. Engkau harus ikut aku mondok di padepokan tinggi untuk merubah pemahamanmu tentang bagaimana menyebarkan agama tanpa kekerasan.” Arya Belanga menggelengkan kepalanya. Ia sepertinya tidak menghiraukan kehadiran lelaki bersorban yang baru melukai Kedum.
“Hai, tuan. Janganlah engkau mengguruiku bagaimana tentang konsep kebaikan. Biar aku yang akan memberi contoh kepadamu bagaimana memilih yang lebih baik dari yang baik. Dan, engkau juga akan aku beri contoh bagaimana berbuat jahat untuk kebaikan yang lebih besar sebagaimana dilakukan Nabi Hidir!” Lelaki bersorban itu melompat menyerang Arya Belanga. Angin pukulannya bercuitan dan langsung mengancam titik vital.
Arya Belanga masih tak menghiraukan serangan lawannya. Ia malah berkonsentrasi dengan tubuh Kedum yang saat itu masih dalam keadaan tertotok. Ketika serangan itu hampir menyentuh tubuhnya, tetiba ada angin bercuitan yang menghadang pukulan lelaki bersorban.
“Hei, jangan engkau main bokong ya. Hadapi aku!” Tetiba tubuh Arya Belanga memecah menjadi dua orang. Sosoknya yang pertama masih berupaya mengobati Kedum, sedangkan sosok lainnya kini berhadap-hadapan dengan lelaki bersorban.
“Wah, ternyata benar berita yang kami terima. Tuan Arya Belanga juga mahir dalam ilmu sihir. Ayo kita bertukar jurus!”
Keduanya kemudian terlibat pertarungan sengit. Arya Belanga memainkan jurus melampah ingkang lurus. Kedua kakinya bergerak liar dan sesekali mengancam musuhnya. Melihat kepandaian lawannya, lelaki bersorban melompat mundur ke belakang. Sepertinya ia sengaja mengatur jarak agar leluasa menyerang dengan senjata rahasia.Melihat lawannya mundur, Arya Belanga segera mengejar. Belum sampai ia di tempat lawannya berdiri, tetiba ia diserang dengan senjata bola-bola kecil. Tak ingin bernasib seperti Kedum, Arya Belanga menggunakan jurus langkah ajaib untuk menghindari serangan senjata rahasia. Ia tak berani menghalau senjata rahasia lawan dengan tenaga keras seperti yang dilakukan Kedum. Puluhan senjata bola-bola kecil itu meleset.
“Sudah kubilang, jangan engkau menggunakan senjata rahasia itu. Tak pantas engkau memakai sorban jika kepandaianmu hanya digunakan untuk mencelakai orang!” Arya Belanga kembali menghardik lawannya.
“Engkau jangan banyak bicara, tuan. Semakin banyak bicara, maka racun dari bola-bola yang berhasil engkau hindari itu akan semakin cepat bereaksi.” Lelaki bersorban melepas senyum. Arya Belanga segera menutup pernafasannya. Ketika senjata bola-bola kecil itu melintas, ia memang mencium bau amis. Ternyata itu ada racun rahasia yang dapat melumpuhkan lawan.
“Aih, aku terkena racunmu!” Tubuh Arya Belanga terhuyung ke belakang. Belum kering senyuman di bibir lelaki bersorban, tetiba tubuh yang terhuyung itu jatuh ke tanah dan menghilang seperti di telan bumi.
“Hei, pergi kemana engkau tuan?” Lelaki bersorban sontak kaget. Di bawah pohon besar masih terlihat Arya Belanga sibuk mengobati abdinya. Di tengah kebingungan itu, tetiba tubuh Arya Belanga kembali membelah menjadi dua. Sosok barunya itu langsung melompat ke arah lawannya.
“Aih, aku bukan tandinganmu, tuan. Aku mengaku kalah. Sebelum aku pergi, telah aku tinggalkan hakikat memilih kebaikan kepadamu. Engkau harus memilih apakah membuang waktumu mengobati orang-orang yang telah kuracuni. Jika pilihanmu itu, maka masih ada tiga dusun lagi yang jaraknya berjauhan yang harus engkau datangi. Tetapi pilihannya engkau tak akan dapat menuju Palembang untuk menyaksikan kekacauan di sana saat adu tanding nanti.
Engkau tidak akan bisa mengalahkan waktu. Dan raga sejatimu juga tak mungkin bisa berada di banyak tempat sekaligus. Aku pergi, tuan. Lain kali biar aku sendiri yang menyambangimu di padepokan Tinggi Panular agar dirimu bisa belajar hakikat kebaikan langsung dariku!” Lelaki bersorban segera mengempos tubuhnya. Sekejap saja tubuhnya telah hilang dari tempat itu.
Pada saat itu Arya Belanga baru mampu menawarkan racun bom asap. Ia kemudian membebaskan abdinya itu dari pengaruh totokan. Tubuh Kedum tidak lagi berkelojotan. Namun rasa gatal akibat racun dari senjata rahasia tak mampu diobatinya. Sekujur kulit tubuhnya muncul beruntus-beruntus merah. Tangannya tak henti menggaruk di tempat beruntus merah itu muncul.
Arya Belanga segera mengheningkan rasa. Ia duduk semedi di bawah pohon rindang dan mematikan rasanya. Dalam keadaan itu ia mamasrahkan dirinya kepada Sang Maha Pencipta. Tak ada petunjuk yang dapat menolong mereka kecuali atas izin-Nya. Arya Belanga mempasrahkan kesulitan yang kini dialaminya hanya semata kepada Allah SWT. Inilah level ihsan yang sejati.
Kepasrahannya atas Sang Maha Tunggal membuat Arya Belanga ada dalam keadaan antara sadar dan tidak. Dalam keadaannya seperti itu, tetiba membersit di pikirannya sebuah tempat yang berada di ketinggian. Kedum akan disembuhkan oleh seseorang di tempat yang tinggi itu. Dalam pandangannya terlihat dua batang pokok pohon yang akan menjadi obat penyakit gatalnya.
“Takdirmu akan membawamu ke tempat yang tinggi, Kedum. Pergilah ke gunung Dempo dan ambillah kayu api dan kayu panjang umur. Nanti di tempat yang tinggi itu engkau akan berjumpa orang yang nantinya akan dapat mengobati penyakitmu. Pergilah sekarang, Kedum. Jika terlambat, aku khawatir engkau tidak dapat diselamatkan lagi. Aku akan menyusuri tiga dusun yang menurut perkataanmu lelaki bersorban tadi telah pula diracuninya.” Arya Belanga menepuk pundak abdi setianya itu dengan halus.
“Baik, Yang Mulia. Hamba akan menunaikan perintahmu. Jika aku tidak pulang, berarti aku sudah mendahului Yang Mulia menghadap Sang Khalik.” Punggawa Kedum menitikkan air mata. Tanpa dapat ditahannya, lelaki yang terkenal gagah berani itu tak kuasa menahan harunya. Ia menjura hormat dan segera berlalu dari keturunan raja-raja Majapahit itu.
“Aih, Kedum. Sungguh berat aku melepaskanmu. Tetapi hari ini aku mendapat pelajaran berharga untuk melepaskan kepentingan pribadi untuk membuat kebaikan yang besar. Benar yang diutarakan si lelaki bersorban, ia memaksaku untuk memilih berbuat kebaikan yang lebih besar ketimbang mendahulukan kepentingan pribadiku. Lalu dalam keadaan seperti ini, apa yang harus aku pilih. Benarkah jika kepentingan mengobati anak-anak yang diracuni wabah penyakit lumpuh lebih penting ketimbang keberlangsungan keraton Palembang? Bagaimana aku memilihnya?” Arya Belanga bergumam sendiri.
“Yang engkau harus lakukan adalah tidak memilih apa-apa, Tuan!” Tetiba di tempat itu telah berdiri seorang berpakaian dan memakai songkok khas Cina. Dalam hatinya Arya Belanga terkejut. Bagaimana mungkin kedatangan orang ini bisa tidak diketahuinya.
(Bersambung)
Follow akun penulis ya
KAMU SEDANG MEMBACA
Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)
Fiksi SejarahDi ujung keruntuhan kerajaan Demak, Raden Arya Penangsang tewas. Adik kinasihnya Pangeran Arya Mataram dititahkan merawat keturunan dengan mencari suaka di bumi leluhur Palembang. Dalam pelariannya, ia ditemani abdi setia, Raden Kuning, Punggawa Tua...