Raden Kuning terbujur kaku, terbaring di akar pohon beringin yang rindang. Tubuhnya tak dapat digerakkan, hanya kedua bola matanya saja yang terjaga. Ia dapat menyaksikan bahwa pohon beringin yang meneduhinya itu sudah berumur ratusan tahun. Akar dari rantingnya menjuntai hingga menyentuh tanah. Sementara sinar matahari tak mampu menembus lebatnya dedaunan yang tumbuh di setiap pokok dan ranting pohon. Menurut perkiraannya, kala itu masih pagi. Kicau burung yang bersahutan menandai jika matahari belum tinggi.
“Aih, dimana aku saat ini. Mengapa tubuhku tidak bisa aku gerakkan?” Raden Kuning bergumam sendiri.
Tak berapa lama, tetiba ia melihat dua orang berjalan menghampirinya. Mereka adalah laki-laki sepuh yang berjalan menggunakan tongkat bersurjan serta di belakangnya, mengiring langkahnya terlihat seorang lelaki tua yang berpakaian serba hitam. Keduanya kemudian duduk di sisi kanan dan kiri tubuhnya. Pria berpakaian hitam berbisik di telinganya, Raden Kuning hanya pasrah mendengarkan seraya memejamkan mata.
“Ini adalah pengaruh dari aji medhar sukma. Engkau saat ini terbelenggu oleh tenaga semesta yang ada dalam dirimu. Dalam tahapan ini, tenaga semesta telah menemukan jiwanya dan akan tumbuh sesuai dengan karakter terkuat yang ada dalam dirimu. Jika sifat baikmu yang lebih dominan, maka warna hijau selubung semesta akan berubah menjadi putih. Jika sifat jahat yang menguasai alam bawah sadarmu, maka labirin ini akan berubah warna menjadi hitam.”
“Eyang Kyai dan Ki Ageng Selamana. Terimalah hormat muridmu ini!” Raden Kuning mengerjapkan kedua matanya. Ternyata pria sepuh bertongkat itu adalah Eyang Kyai dan pria berpakaian serba hitam tersebut adalah Ki Ageng Selamana. Keduanya adalah guru Raden Kuning. Selubung berwarna hijau menyelimuti seluruh tubuhnya. Hanya mata dan bibirnya saja yang terbebas dari labirin hijau itu.
“Seperti yang telah dijelaskan Ki Ageng Selamana tadi, maka dalam keadaan ini engkau akan mengerti bahwa semua kepandaian tinggi yang engkau kuasai saat ini akan tumbuh bersama dirimu. Ia akan hidup di dalam jiwa dan ragamu. Jika salah mengendalikannya, maka ia akan menjadikan dirimu di masa depan menjadi sosok yang sama sekali berbeda dengan dirimu saat ini,” jelas Eyang Kyai.
Pandangan mata Raden Kuning terbatas. Ia hanya leluasa memandang ke atas, ke arah dedaunan Beringin yang rindang. Di sudut matanya, ia hanya mampu melihat bahwa memang saat itu tubuhnya terbungkus labirin berwarna hijau. Ia mahfum bahwa kedua orang sakti yang menjadi gurunya itu telah memberi penjelasan atas peristiwa yang saat ini menimpanya.
“Jika memang tenaga semesta tumbuh dan saat ini bersama-sama aji medhar sukma membuat labirin yang membungkus diriku, maka apa yang harus aku lakukan agar dapat segera terbebas dari belenggunya?”
“Dalam keadaan seperti ini, yang harus engkau lakukan adalah berdzikir. Tenagamu tak kuasa engkau gunakan, hanya pikiran dan pandangan mata serta lisanmu yang dapat engkau kuasai. Manfaatkan pikiran, mata dan lisanmu untuk menuntun qolbumu agar senantiasa mengarahkan engkau tetap dalam kebaikan. Waktu adalah kuncinya. Setelah melalui proses ini, maka akan terlihat apakah warna hijau labirinmu ini akan berubah menjadi putih ataukah sebaliknya,” jelas Ki Ageng Selamana.
“Adakah caranya agar aku dapat segera melalui tahapan ini dengan cepat. Tolonglah aku, guru.” Raden Kuning merengek kepada Ki Ageng Selamana.
“Engkau akan celaka jika kami menolongmu. Ada sebuah kisah tentang seekor kupu-kupu yang tengah berupaya keluar dari kepompong. Lalu datanglah anak manusia yang melihat kupu-kupu kecil itu tengah kepayahan untuk keluar dari kepompong. Disayatnya kepompong tersebut hingga terbukalah ia dengan cara paksa. Kupu-kupu keluar dengan mudah dari kepompong, tanpa harus bersusah payah. Tetapi ternyata karena bantuan itu, sang kupu-kupu tak mampu menerbangkan sayapnya. Cacatlah ia seumur hidupnya,” jelas Ki Ageng Selamana.
Eyang Kyai kemudian berbisik kepada Raden Kuning. Orang yang sangat dihormati di tanah Jawa itu melanjutkan penjelasan tentang kupu-kupu. Raden Kuning merinding mendengar ujar-ujar yang disampaikan oleh gurunya tersebut. “Perjuangan sang kupu-kupu untuk dapat keluar dari kepompong merupakan proses alam yang menempa agar sang kupu-kupu terlahir sempurna. Upaya kupu-kupu lahir dari lubang kecil kepompong akan menguatkan sayapnya, akan menguatkan tubuhnya dan yang terpenting adalah proses sang kupu-kupu menaklukkan kepompong akan menguatkan jiwanya. Jika ada satu saja tahapan tersebut yang terlewati, maka sang kupu-kupu akan terlahir cacat. Hal itu juga terjadi pada dirimu, Ngger. Kami tak boleh membantumu karena akan membuat proses alami perjuanganmu lolos dari labirin tenaga semesta terlewati. Hasilnya justru akan mencelakaimu.”
“Aku menangkap dari penjelasan guru dan Eyang Kyai bahwa proses yang tengah aku jalani saat ini pada intinya adalah cara untuk membuatku lebih kuat di masa mendatang. Secara spirituil aku juga harus mampu menjaga pikiran dan niatku agar sifat-sifat kebaikan lebih dominan. Hal itu bertujuan untuk menjaga pengaruh ganas tenaga semesta yang akan mampu menyesatkanku. Jadi dua tahapan itu harus aku jalani sendiri karena harus berproses secara alamiah. Jika saat ini aku mendapat bantuan dari guru dan Eyang Kyai, maka proses yang cacat itu juga akan membuat diriku terlahir kembali tak sempurna.” Raden Kuning kembali mengerjapkan matanya. Meskipun raut wajahnya terselubung oleh labirin hijau, tetapi terlihat jelas jika ia tengah berpikir keras.
“Ya, betul sekali, Ngger. Tetapi ada hikmah lain yang perlu engkau simpulkan dari peristiwa yang dituturkan oleh Ki Ageng Selamana tentang kupu-kupu tadi. Bahwa tidak selamanya niat baik akan berbuah baik. Contohnya niat baik anak manusia tadi menolong kupu-kupu lahir dari kepompong, justru telah membuat si kupu-kupu celaka. Begitu juga dalam mengarungi kehidupan. Niat baik bisa saja berujung tidak baik jika engkau melakukannya tanpa pengetahuan. Setelah ada niat baik, maka engkau harus memiliki pengetahuan tentang apa yang engkau akan lakukan untuk melaksanakan niatan baik itu.” Eyang Kyai menutup penjelasan dengan memberikan ujar-ujar.
Kedua laki-laki sakti itu akhirnya berlalu dari pandangan Raden Kuning. Dalam pandangannya hari telah meninggi. Sengat panasnya sesekali menyeruak masuk melalui rerimbun dedaunan yang tertiup angin. Raden Kuning berkonsentrasi untuk mengingat semua ajaran tentang kebaikan yang pernah dipelajarinya. Lisannya tak henti berdzikir menyebut asma Allah agar qolbunya terus menuntunnya ke arah kebaikan.
Raden Kuning mengerahkan seluruh inderanya untuk melalui proses demi proses yang tengah dilakoninya saat ini. Yang ada dalam pandangan matanya adalah semua yang terjadi adalah atas berkat rahmat dari sang pencipta. Dedaunan yang rimbun di atas kepalanya dapat tumbuh menghijau, akar pohon yang terjuntai, batang pohon yang kekar memasak bumi serta seluruh aneka hewan yang bernaung di dalam rerimbunan pohon beringin adalah semua bisa terjadi atas rahmat Allah. Tanpa ada rahmat-Nya, maka tak mungkin semua yang nampak indah dalam pandangan matanya itu dapat terjadi.
Jika saja Allah menurunkan kemarau panjang tak berair, maka pohon beringin akan meranggas kehilangan dedaunan. Hal itu akan membuat burung-burung dan satwa lainnya yang hidup dalam ketergantungan dengan rerimbunan dedaunan pohon beringin akan kehilangan kehidupan. Begitu pula akar pohon yang terjuntai, akan layu karena tak lagi mampu menyerap air. Takjub dengan semua rahmat Allah yang indah dalam pandangan matanya, membuat Raden Kuning terus mengucapkan asma Allah.
“Semua amal perbuatan baik yang dilakukan oleh manusia akan mendapat ganjaran kebaikan jika semua hal itu dilandasi semata hanya karena mengharap ridho darimu, Ya Allah. Ampunkan hamba yang khilaf atas semua rahmat yang telah Engkau berikan kepadaku, Ya Rabb.” Kedua bola mata Raden Kuning meneteskan air mata. Tak mampu ia menahan kesedihan takkala mengingat semua perbuatan dosa, angkuh, adigang-adigung serta semua prilaku sombong lainnya yang pernah ia perbuat.
Air matanya bercucuran membasahi labirin hijau, masih terlihat menyelubungi wajahnya. Ajaib, air mata itu membuat labirin menjadi berubah warna. Perlahan-lahan labirin hijau berubah menjadi putih. Warna hijau bermetamorfosis menjadi putih seiring qolbunya yang menuntun lisan dan hati Raden Kuning untuk mengucap kebesaran sang pencipta.
“Krak!” suara berderak dari pokok kayu patah terdengar kencang. Tak ada angin dan tak ada hujan, tetiba pokok cabang beringin yang berkayu besar patah. Tanpa dapat dicegah lagi, patahan kayu jatuh ke bawah menuju tempat tubuh Raden Kuning terbaring kaku.
“Inalillahi wainnailaihi rojiun!” seru Raden Kuning.
(Bersambung)
Jangan lupa vote and komen
KAMU SEDANG MEMBACA
Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)
Historical FictionDi ujung keruntuhan kerajaan Demak, Raden Arya Penangsang tewas. Adik kinasihnya Pangeran Arya Mataram dititahkan merawat keturunan dengan mencari suaka di bumi leluhur Palembang. Dalam pelariannya, ia ditemani abdi setia, Raden Kuning, Punggawa Tua...