Perahu lesung bercadik dan bertiang ganda yang berlayar tenang menandai perjalanan Ki Gede Ing Suro menuju Sungai Ogan. Cahaya matahari pagi mengantarkan mereka menuju pedalaman Palembang. Riak air sungai Ogan yang berwarna jernih membuat laju perahu lesung tak berbendera itu, seperti dalam lukisan. Warna-warni sinar mentari yang terpendar bening air seperti pelangi, menambah keindahan alam. Penguasa tertinggi di Palembang itu ditemani dua orang sahabat sekaligus penasehatnya, Bujang Jawa dan Suma Banding. Mereka lebih memilih menggunakan perahu lesung agar tidak menarik perhatian nelayan yang berpapasan di air.
Rombongan perompak masih berkeliaran di Sungai Komering memanfaatkan kelengahan korbannya dan siap menerkam setiap saat. Lebih baik menghindarinya dengan berpenampilan nelayan biasa. Terlebih mereka tidak membawa banyak prajurit. Mereka hanya ditemani dua orang prajurit pilihan. Sebuah perjalanan yang cukup berbahaya mengingat kedudukan Ki Gede Ing Suro adalah raja yang baru berkuasa di Palembang.
Di kejauhan, di antara rimbunan semak perdu yang tumbuh liar di sepanjang sungai Ogan, ada tiga pasang mata mengintai. Mereka menyembunyikan perahu kecil yang mengandalkan dayung untuk melaju di antara semak perdu. Bahkan ketika kapal lesung mendekat, rombongan keraton Palembang itu tidak menyadari bahwa bahaya mengancam mereka. Tiga orang yang bersembunyi di balik rerimbunan semak perdu adalah orang yang sebelumnya mampu dengan mudah mengintai di keraton Kuto Gawang tanpa diketahui penjaga. Bisa dipastikan mereka pastilah orang yang berilmu tinggi.
Ketika kapal lesung itu semakin mendekat, tetiba dari balik rerimbunan semak perdu meluncur perahu kecil berisi tiga orang penumpang. Perahu itu melaju cepat menghadang laju kapal lesung. Bujang Jawa menahan nafas dan langsung memasang kuda-kuda. Dari perahu itu berkelebat sesosok bayangan melompat keluar. Tubuhnya ringan dua kali menotol air sebelum akhirnya tiba di atas kapal lesung langsung menyerang lawannya.
Serangan dahsyat itu menimbulkan kelebatan bayangan dari penyerangnya. Bujang Jawa yang kepandaiannya telah meningkat pesat akibat mendapat tenaga murni kawedar, meladeni serangan itu dengan menggunakan jurus langkah ajaib. Tubuhnya ikut berkelebat saling serang diantara bayangan lawan yang terus mendesaknya. Belasan jurus berlalu, terlihat bahwa Bujang Jawa kali ini keteter. Bayangan tubuhnya yang berkelebat semakin lama semakin lambat dan akhirnya sebuah tendangan menyudahi perlawanannya.
“Argh.....!” Suara erangannya disusul dengan tubuhnya yang terpental ke sungai Musi. Suma Banding segera melompat ke sungai dan menolong Bujang Jawa yang terluka.
Kendati lawannya telah kalah, namun sosok bayangan itu terus berkelebat menyerang. Kali ini serangannya menyasar Ki Gede Ing Suro. Yang diserang segera memukul dengan pukulan 𝘫𝘦𝘯𝘢𝘳 𝘪𝘯𝘨𝘬𝘢𝘯𝘨 𝘥𝘢𝘯𝘨𝘶. Bayangan musuh menghindari serangan ganas dari jurus keenam 𝘴𝘢𝘯𝘨𝘬𝘢𝘯 𝘱𝘢𝘳𝘢𝘯𝘪𝘯𝘨 𝘥𝘶𝘮𝘢𝘥𝘪 tersebut. Kelebatan bayangan itu dengan gesit melompat ke atas dan berputar-putar menukik menyerang dari ketinggian. Melihat serangan jurus yang tak asing itu, Ki Gede Ing Suro tak mau jual beli pukulan. Ia menghindar. Akibatnya serangan musuh tak mengenai sasaran. Beruntung pukulan penyerangnya itu luput dan menyasar ke sungai Musi. Sontak air sungai langsung beterbangan ke angkasa. Dahsyat sekali pukulan itu. Perahu lesung yang terkena ombaknya oleng ke kiri dan ke kanan.
“𝘓𝘦𝘴𝘶𝘴 𝘴𝘪𝘯𝘨 𝘱𝘶𝘳𝘶𝘯 𝘥𝘢𝘮𝘦𝘭. Hei siapa dirimu, jangan engkau menyerang rekan sendiri. Kami bukan musuhmu!” Ki Gede Suro berteriak kencang. Namun sosok bayang aneh itu terus berkelebat menyerang.
Tak ingin terus berada di dalam sungai, Ki Gede Ing Suro mengempos tubuhnya melompat dan menotol tiga kali di air, sebelum akhirnya tiba di daratan. Bayangan itu berkelebat dan terus mengejarnya. Hanya saja cara yang digunakannya berbeda dengan cara lawan. Bayang itu berkelabat melompat ke udara dan laksana terbang melayang ke daratan dengan hanya satu kali menotol di air. Dari caranya melompat saja dapat diketahui bahwa musuhnya lebih mumpuni. Penyergapan di pagi hari itu sontak mengundang minat nelayan yang lewat di sungai Ogan. Meskipun tak berani mendekat, mereka menonton perkelahian tingkat tinggi itu dari kejauhan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)
Ficción históricaDi ujung keruntuhan kerajaan Demak, Raden Arya Penangsang tewas. Adik kinasihnya Pangeran Arya Mataram dititahkan merawat keturunan dengan mencari suaka di bumi leluhur Palembang. Dalam pelariannya, ia ditemani abdi setia, Raden Kuning, Punggawa Tua...