“Aih, ruponyo Nyai Derimas yang datang. Ado apo nian dengan Raden Gatra, Nyai. Ngapo kamu datang tepisah-pisah cak ini. Di mano Yai Belingis?” Raden Sabtu yang berpandangan luas segera menjura hormat. Ia paham sekali jika nenek yang berada di depannya itu adalah sosok manusia aneh. Terkadang dia bisa berperangai baik, kemudian dengan cepat dapat menurunkan tangan jahat.
“Ai, Raden Sabtu. Jangan kamu lindungi muridku Raden Gatra itu. Dio la mbudike aku hari ini. Mada’i aku ditinggalkannyo di hutan dewekan waktu nangkap kodok ijo. Sisip mato dikit, budak ini la minggat.” Nyai Derimas mengetuk-ngetuk tanah tempat dia berdiri dengan tongkat kepala ular. Tongkat yang berada di genggamannya itu adalah senjata maut yang dapat sewaktu-waktu mengancam keselamatan para Depati yang kini menjadi tamu di padepokan Tinggi Panular. (Mada'i=masa; mbudike=bohongin)
“Oh ya, para Depati baiknyo kamu istirahat dulu di pesanggrahan. Aku masih ado urusan dengan Nyai Derimas. Aku yakin kedatangan mereka ini bukan sekedar sanjo, tapi pasti ado keperluan penting dengan ayahku. Bukan cak itu, Nyai. Oh ya, kamu belum njawab pertanyaanku. Di mano Yai Belingis?” Raden Sabtu dengan cerdas meminta para Depati menyingkir dari tempat itu. Mereka yang paham dengan keadaan, bergegas menyingkir. Ketua Li yang terluka ringan juga dipapah oleh para murid padepokan menuju pesanggrahan. (Sanjo=bertandang)
“Ai, cacam. Ngapo Raden Sabtu nanyoke kakak Belingis terus. Kesumangan apo kamu?” Nyai Derimas terkekeh. Suaranya terdengar seram karena menyerupai pekikan yang memekakkan telinga. Jika saja Raden Sabtu tidak memiliki kekuatan batin, pastilah saat itu ia sudah terhipnotis oleh suara wanita sakti nan aneh tersebut. (Ai cacam=umpatan kaget; kesumangan=kangen)
Tetiba berkelebat datang sesosok bayangan. Orang itu berperawakan cebol dan yang mengenakan baju dombrang kebesaran. Jika orang tak tahu siapa dirinya, pastilah ia akan ditertawai karena penampilannya yang norak itu.
“Ngapo kamu ngelarang Raden Sabtu nanyoke khabar aku, Derimas. Apo kau cemburu, Nyai?” Kali ini si kakek cebol yang terbahak. (Nanyoke=bertanya)
“Aih, jelah nian. Ruponyo Yai Belingis takut ditinggalke dengan Nyai Derimas. Sedengat bae Nyai ni la khawatir kalu-kalu lakinyo diambek budak mudo. Selamat datang di padepokan kami, Yai Belingis!” Raden Sabtu kembali memberi hormat. (Jelah nian=benar sekali; sedengat=sebentar)
“Ai, kalu ado yang galak ngambek Belingis nih, lajulah. Aku ikhlas. Tampang la buruk, banyak tai gigi pulo cak itu, siapo wong yang nak ngendakkenyo!” Nyai Derimas bersungut marah. Ia membanting-bantingkan kakinya ke tanah. (Ngambek=ngambil; banyak tai gigi=banyak omong; ngendakkenyo=menghendakinya)
Sepasang suami istri ini dulunya adalah musuh Raden Kuning. Mereka menculik Raden Gatra karena kesal dengan Mentrabang, kakek dari Raden Gatra. Tetapi setelah melalui adu tanding, akhirnya Pangeran Arya Mataram yang bijaksana memperkenankan sepasang suami istri sakti itu membawa cucu keponakannya itu untuk dididik mewaris ilmu-ilmu mereka yang aneh.
Sebelumnya sepasang pendekar aneh itu adalah saudara seperguruan Mentrabang. Saat di usia muda, ketiganya terikat janji untuk saling mengangkat murid terhadap anak keturunan mereka di masa mendatang. Karena urusan lama itulah, Pangeran Arya Mataram akhirnya memberi pengertian kepada Raden Kuning agar merelakan anaknya diasuh oleh sepasang suami istri berprilaku ganjil itu.
“Pacak pulo kamu ini ngolahke wong tuwo cak aku ini, Raden Sabtu. Payu biar urusan kito ini dak lamo, antar aku betegah dengan ayah kamu. Ado hal penting yang nak kami sampaikan kepada beliau!” Belingis akhirnya mengucapkan kata-kata yang bisa dimengerti oleh Raden Sabtu. (Ngolahke=mempermainkan; betegah=bertemu)
Sepasang suami istri itu kemudian diantarkan oleh Raden Sabtu menuju kampung Lubuk Rukam yang berada di sebelah Utara padepokan. Sependidih air, mereka sudah tiba di rumah yang dituju. Rumah penuh ukiran itu berbahan kayu jati. Meskipun pewarnanya sudah luntur di sana-sini karena termakan usia, namun rumah yang ditempati oleh orang nomor satu kampung itu, masih terlihat megah. Yang menjadi ciri khas dari rumah tersebut adalah gebyok yang berukiran lambang keraton Djipang, Ceplok Mawar Sembilan yang diukir di atas punggung bulus. Itu adalah salah satu petunjuk yang akan memberikan identitas bahwa pendiri kampung Lubuk Rukam merupakan keturunan raja di Djipang dan Demak.
“Raden Gatra belum berusia 17 tahun, ngapo kamu la datang ke sini. Pasti kedatangan kamu ini bukanlah untuk ngantarkan cucuku itu,” ujar Pangeran Arya Mataram. Tamunya dipersilakan duduk di teras rumah.
“Ai, kalu itu masih lamo, Pangeran. Kami datang kesini karena suatu hal yang sangat penting,” jelas Belingis.
“Apo perihal itu, Belingis?”
“Kami baru bae balik dari perantauan di Malaka. Di sano kami mampir ke istana Sultan Malaka untuk melepas rindu jingok istana yang mewah itu. Nah, saat di istana itulah kami betemu dengan rombongan wong yang ngaku sebagai utusan kerajaan Banten. Mereka dikawal wong tambi yang besorban.” Belingis membuka cerita dengan raut wajah serius. Ia sempat terhenti untuk mengambil nafas, sebelum melanjutkan ceritanya.
“Awalnyo kami cuma nguping bae pembicaraan mereka tu. Uwong yang ngaku utusan Banten itu berencano nak buat kacau di Palembang. Saat itu kami baru tahu kalau keraton Palembang nak buat acara tanding pencak persahabatan antara kerajaan di semenanjung Malaka. Nah utusan Banten itu minta izin untuk mewakili Malaka menghadiri undangan keraton Palembang.”
“Cucung kamu ini yang dasar ngelatak. Wong tambi tuh dijahilinyo. Laju gara-gara budak kecik ini kami buleh masalah di sano.” Nyai Derimas memotong cerita. Raden Gatra yang disebut-sebut dalam cerita justru tertawa sendiri. Meski tampan, bocah berusia sepuluh tahun itu juga memiliki prilaku tak kalah aneh dengan gurunya. (Ngelatak=petakilan)
“Yo, kami laju dak tahan nak njajal ilmu wong tambi itu. Tapi ternyata kami dak sanggup melawan ilmunyo yang aneh. Untung kami pacak belari. Tapi akibatnyo Derimas luka dalam keno pukulan beracun wong tambi. Untung pulo di hutan parak sini banyak kodok ijo, itulah yang aku jadike obat Derimas,” jelas Belingis. (Wong tambi=orang India)
“Cubo kuliat luko Nyai Derimas!” Pangeran Arya Mataram meminta Nyai Derimas menunjukkan lukanya. Tanpa rasa sungkan, perempuan berwatak aneh itu menyingkap kain kebayanya. Kaki kanannya nampak hitam membiru. Pangeran Arya Mataram segera mengenali racun yang melukai perempuan sakti itu.
“Aih sepertinya aku kenal luka beracun ini, tetapi dimana?” Pangeran Arya Mataram seperti mengingat-ngingat sesuatu sebelum akhirnya ia melanjutkan pembicaraannya. “Lukamu ini tak akan bisa sembuh sempurna hanya dengan mengobatinya dengan air liur kodok hijau!”
Pangeran Arya Mataram merubah gaya bahasanya. Suasana yang sebelumnya cair, berubah menjadi tegang ketika orang yang disegani di keraton Palembang itu merubah mimik wajahnya menjadi sangat serius.“Payu tolonglah istri aku ini, Pangeran.” Belingis tetiba menjatuhkan diri berlutut di depan Pangeran Arya Mataram. Meskipun merasa risi, namun Pangeran Arya Mataram mahfum jika orang yang kini berhadapan dengannya itu berprilaku aneh dan tidak bisa ditebak wataknya. Oleh karena itu, ia memilih tidak mengindahkannya.
“Ayo, Raden Gatra. Kamu bawa Nyai Derimas ke dalam rumah. Kalau dibiarkan lebih lama, racunnya akan naik ke hati!”
Pangeran Arya Mataram kemudian mempersilakan para tamunya masuk ke rumahnya. Ia lalu memanggil istrinya, Mimi Aisyah untuk menanak air di dalam tempayan besar. Pria yang sudah berangsur sepuh itu memasukkan aneka akar, daun dan tumbuhan obat ke dalam tempayan. Sependidih air, ia meminta Nyai Derimas masuk ke dalam air yang mendidih itu. Tanpa banyak bertanya, perempuan aneh itu langsung merendam dirinya di dalam tempayan yang tengah dipanaskan di atas bara api itu. Keinginannya untuk segera sembuh membuat ia mampu bertahan dalam suhu air yang panas.
Sebentar saja, air yang semula berwarna putih dan beraroma wangi bunga berubah menghitam dan tercium bau amis menyengat. Rebusan air obat ternyata perlahan-lahan telah berhasil mengeluarkan racun pukulan kiranam di kaki Nyai Derimas. Bara api untuk memanaskan air, dikurangi. Air di dalam tempayan tetap hangat, tetapi warnanya terus berubah menjadi hitam pekat.
“Cukuplah, kamu berendam di dalam tempayan, Derimas. Sekarang bilaslah tubuhmu dengan pakaian yang sudah disediakan istriku Mimi Aisyah. Setelah engkau siap, aku akan menaburkan serbuk obat di kaki kananmu yang terluka,” ujar Pangeran Arya Mataram.
Dengan cekatan Nyai Derimas keluar dari dalam tempayan. Ia mengambil pakaian bersih yang telah disiapkan tuan rumah dan bergegas menuju kamar mandi untuk bersalin pakaian. Belum sampai ia di tempat yang dituju, tetiba Raden Gatra yang usil melompat ke dalam tempayan obat yang telah bercampur racun ganas.
“Jangan masuk ke tempayan itu, Raden Gatra!”
“Byur!” Pekik suara Mimi Aisyah terlambat. Bocah laki-laki tanggung yang masih terhitung cucunya itu telah berendam di air beracun.
(Bersambung)
Jangam lupa follow akunnya. Jika reader komen sampai 10, maka langsung di update sambungannya
KAMU SEDANG MEMBACA
Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)
Historical FictionDi ujung keruntuhan kerajaan Demak, Raden Arya Penangsang tewas. Adik kinasihnya Pangeran Arya Mataram dititahkan merawat keturunan dengan mencari suaka di bumi leluhur Palembang. Dalam pelariannya, ia ditemani abdi setia, Raden Kuning, Punggawa Tua...