Jung tiba

1.2K 44 0
                                    

Kapal Jung yang ditumpangi Pangeran Arya Mataram terus berlayar. Dengan mengandalkan angin di buritan, kapal besar itu melaju dengan gagah membelah sungai Musi. Pagi itu cerah sekali, burung-burung liar berkicau hinggap di pokok ranting. Suara gemericik air sungai Musi menambah indah suasana.

Setelah dihadang perompak dan Raden Kuning diculik, Pangeran Arya Mataram memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Dalam hati, ia memiliki keyakinan jika keponakannya itu pasti bisa menjaga diri. Keselamatan keluarga adalah hal yang sangat penting untuk diutamakan. Di ruang kemudi, Pangeran Arya Mataram ditemani pengawal setianya Bujang Jawa dan Punggawa Kedum.

“Jika kita tidak khilaf berlayar, maka tak lama lagi kita akan bersandar di wilayah kadipaten Palembang. Sebentar lagi kita akan bertemu dengan Paman Arya Karang Widoro.” Pangeran Arya Mataram bicara sambil menatap ke daratan yang tumbuh semak perdu.

“Nuwun sewu, Yang Mulia. Apakah Yang Mulia Arya Karang Widoro sudah tahu apa yang terjadi pada keraton Demak. Apakah ia tahu jika Yang Mulia Pangeran Raja Adipati Arya Djipang telah berpulang akibat ketamakan Joko Tingkir?” Bujang Jawa memberanikan diri bertanya.

“Kita tidak sempat berkirim khabar ke Palembang. Menurut prakiraanku, paman Arya Karang Widoro pasti belum mengetahui prahara di keraton Demak. Pasti ia akan bersedih jika mendengar Kakang Penangsang telah tiada. Semoga saja beliau tidak kenapa-napa mendengar khabar kita ini. Jika saja menjadi pelarian ini bukan amanah dari Kakang Penangsang, jujur saja aku rela mati syahid membela Demak.” Pangeran Arya Mataram yang bermata teduh itu matanya berubah sayu. Matanya tetap memandang ke haluan. Wajahnya berubah sumringah ketika dilihatnya ada sebuah pulau di tengah Sungai Musi.

“Jika aku tidak salah, pulau itu bernama Kemaro. Itu adalah pertanda jika perjalanan kita sudah dekat. Ayo kita ke tiang layar, ini adalah tanah leluhur, Palembang!” Pangeran Arya Mataram nampak antusias sekali. Bujang Jawa dan Punggawa Kedum segera menyusul berjalan di belakang Pangeran Arya Mataram. Punggawa Tuan yang berjaga di bawah tiang layar segera memberi hormat.

“Ada apakah gerangan, Yang Mulia. Nampaknya senang sekali,” ujar Punggawa Tuan.

“Kita sebentar lagi sampai. Di depan itu  telah terlihat pulau Kemaro, kita akan mendarat di sana. Kalian carilah informasi di dermaga itu dengan menumpang sekoci. Jangan dibuka identitas kita dari Djipang. Sampaikan saja kita adalah pedagang dari Demak yang mendapat amanah untuk menemui Paman Arya Karang Widoro. Bujang Jawa dan Kedum, kalian turunlah ke daratan.”

Kapal Jung keraton Djipang melepas sauh di Pulau Kemaro. Kedatangan mereka di sisi luar pulau yang tak berpenghuni itu. Kapal megah dan besar itu segera mendarat di Pulau Kemaro. Bujang Jawa dan Punggawa Kedum segera melepas perahu sekoci dan meneruskan perjalanan menuju dermaga pelabuhan Palembang. Mereka berdua yang berpakaian biasa, kemudian segera berbaur dengan aktivitas orang-orang di pelabuhan. Mereka mencari informasi tentang Palembang dan dimanakah tempat tinggal Arya Karang Widoro, kerabat keraton Demak yang diutus oleh Arya Penangsang ke Palembang menelusuri jejak leluhur di sana. Mereka berdua menuju warung kopi untuk mencari tahu.

Warung kopi itu ramai sekali dengan buruh angkut yang sedang istirahat. Suara mereka riuh rendah bercerita tentang perompak yang baru meminta tebusan koin emas di Muara Sungsang. Bujang Jawa tak tertarik dengan cerita itu. Ia kemudian menemui pemilik warung dan bertanya dimanakah pusat alun-alun kota. Keduanya mengaku pelancong yang ikut kapal pedagang dari Jawa.

“Kalian naiklah perahu yang sandar di dermaga sebelah. Mintalah kepada juru mudinya untuk mengantar melancong ke kota.”

Berbekal informasi tersebut, dua prajurit Djipang itu menyewa perahu wisata. Juru mudinya bernama Samsu, pria separuh baya yang banyak bicara. Sependidih air, banyak sekali cerita yang disampaikannya. Bujang Jawa menyimak cerita itu dengan serius.

“Kisruh keluarga saudagar Shi Jinqing membuat dermaga ini tak aman lagi. Putri tuanya Nyai Ageng Pinatih, penganut Islam taat diperlakukan tidak adil oleh adik-adinya. Ia pergi ke tanah Jawa dan menurut informasi Nyai Ageng Pinatih justru mendapat jabatan sebagai syahbandar di Gresik. Di sini adik-adiknya berebut untuk mengelola usaha dagang keluarga. Baru delapan purnama yang lalu, terjadi perang saudara, Shi Jisun yang sebelumnya berkuasa tewas terbunuh oleh kerabat-kerabatnya. Akibat kejadian itu, dermaga Palembang sempat ditutup dan kegiatan perdagangan dihentikan.” Samsu bercerita dengan berapi-api.

“Adakah engkau tahu paman, tentang utusan kerajaan Demak bernama Arya Karang Widoro. Apakah dia masih di sini?” Punggawa Kedum tak mampu menahan penasarannya. Kendati Bujang Jawa telah menginjak kakinya, prajurit itu sudah terlanjur melontarkan pertanyaan.

“Aiih, benar pasti kalian kenal dengan orang Demak itu. Betul sekali, Shi Jisun sempat kedatangan rombongan tamu istimewa dari kerajaan Demak. Mereka diperlakukan dengan baik di sini dan diberi tanah perdikan di daerah Kuto Gawang posisinya menghadap ke arah Sungai Musi di selatan. Jika berminat, aku bisa langsung antar kalian ke sana,” ujarnya.

Bujang Jawa menganggukkan kepala. Meskipun antusias, untuk menyamarkan keingintahuannya, Bujang Jawa mengedipkan mata agar Punggawa Kedum memasang mimik wajah biasa saja. Mereka harus berhati-hati di daerah yang belum pernah sama sekali mereka kunjungi ini. Perahu kecil itu berbelok ke Sungai Rengas. Menurut penuturan Samsu, lokasi tanah perdikan itu sangat strategis karena dibentengi oleh air.

“Kita masuk melalui Sungai Rengas. Nah di sebelah timur itu berbatasan dengan Sungai Taligawe, dan baratnya berbatasan dengan Sungai Buah. Nanti aku hanya sandar saja di sana. Kalian jika ingin ke daratan aku tidak ikut. Tak tahan aku jika diperiksa oleh penjaga di sana yang galak-galak,” terang Samsu.

Benar saja memasuki daratan Kuto Gawang, mereka langsung dihardik oleh penjaga yang bersenjata tombak. Mata mereka menyipit saat mengetahui jika Bujang Jawa dan Punggawa Kedum adalah utusan Demak.

“Mohon berkenan kami mendapat petunjuk. Kami berasal dari Demak berlayar ke Palembang karena ingin bertemu Yang Mulia Arya Karang Widoro. Bisakah kami diberi tahu dimanakah tempat tinggalnya?” Bujang Jawa menyampaikan maksud kedatangannya kepada prajurit penjaga. Sekilas Bujang Jawa mahfum jika penjaga di tempat ini pastilah mendapat perintah untuk melarang pelancong.

“Apa buktinya kalian dari Demak?” Penjaga itu masih bersikap waspada.

“Ini kami membawa pataka dari Demak.” Punggawa Kedum memperlihatkan pataka keraton Djipang yang berlambang bunga Mawar kelopak sembilan.
“Aih itu pataka Ceplok Mawar Djipang. Kalian dari Djipang?” Prajurit itu tak mampu menyembunyikan terkejutnya, Punggawa Kedum dan Bujang Jawa mengangguk. “Ayo, kalian ikutlah denganku. Yang Mulia Arya Karang Widoro dalam keadaan sakit, kalian sampaikanlah sendiri kepada pimpinanku di dalam.” Prajurit penjaga itu berubah ramah.

(Bersambung)
Jangan lupa vote

Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang