Raden Kuning mengurungkan niatnya memeluk Huanglo. Raut wajah ayah angkatnya itu berubah penuh sisik. Ia mendeteksi ada hawa ganas yang terkandung dalam tubuh lelaki tua di hadapannya itu. Raden Kuning segera melompat mundur ke belakang diikuti oleh istri dan anaknya.
“Apa yang terjadi dengan dirimu, ayah. Mengapa engkau seperti mengidap penyakit yang sama dengan yang sebelumnya menjangkiti Putri Cala?” Raden Kuning bertanya lembut.
”Tadi malam aku bermimpi engkau pulang. Tengah malam aku terbangun. Aku lalu bangun dan berniat mengambil wudhu. Tetapi ketika tiba di pinggir sungai, aku melihat ada seorang tua kerdil. Di tangannya melilit seekor ular kobra. Entah mengapa aku terpengaruh untuk mendekati mereka dan setelah itu yang aku ingat adalah ular kobra tersebut menyemburkan racun dari mulutnya tepat mengenai wajahku. Saat terbangun dari pingsan, aku sudah berada di kamar tempat sebelumnya Putri Cala dikurung.” Huanglo menuturkan peristiwa yang dialaminya. Baru selesai ia bertingkah normal, tetiba lelaki tua itu menerjang Raden Kuning dan berusaha melumpuhkannya.
Raden Kuning yang telah siaga dengan mudah mematahkan serangannya. Dengan cepat ia berhasil melumpuhkan Huanglo dengan sebuah totokan. Ayah angkatnya itu langsung terkulai dan langsung dibawa Raden Kuning ke halaman depan. Masyarakat telah ramai di sana. Mereka memang heran mengapa hari ini tidak melihat kehadiran Huanglo di surau. Padahal biasanya lelaki tersebut pasti mengumandangkan adzan.
“Ada apa dengan tetua Huanglo?” Mentrabang telah tiba di sana. Ia mendapatkan informasi bahwa ayah angkat Raden Kuning itu diserang penyakit aneh.
“Ia terkena racun yang sama dengan yang meracuniku sebelumnya, Ayah. Biarkan Bagus Kuning mengobatinya.” Putri Cala menjawab keheranan Mentrabang.
Raden Kuning segera melolos keris Kyai Layon. Ia menempelkan keris sakti itu ke mulut dan hidung Huanglo. Tangan kiri Raden Kuning menyalurkan tenaga dalam untuk mempercepat proses pengeluaran racun dari tubuh ayah angkatnya. Wajah Huanglo perlahan-lahan normal kembali dan beberapa sisik yang sebelumnya menempel di wajahnya jatuh ke tanah. Putri Cala menjulurkan tangan kanannya dan benda berupa sisik ikan itu melayang ke tangannya. Ia segera menyimpan sisik berwarna emas itu ke balik pakaiannya.
“Hei, kemana tadi Raden Gatra?” Mentrabang berteriak. Raden Kuning segera menyerahkan tubuh Huanglo yang masih lemas kepada seorang warga. Ia lalu melompat ke atap rumah untuk mencari kemana putranya menghilang.
Raden Kuning menghela nafas lega ketika dilihatnya Raden Gatra tengah bermain di pinggir sungai. Ia segera melesat ke pinggir sungai diikuti oleh Putri Cala dan Mentrabang. Namun ketika tiba didekat Raden Gatra, ia terkejut. Dilihatnya di tubuh Raden Gatra nampak melilit seekor ular Kobra. Tidak ada rasa ketakutan di wajah anak kecil itu. Ia bahkan tertawa senang seolah ular itu adalah mainan yang tidak berbahaya.
“Tinggalkan ular itu, anakku. Cepatlah engkau ke tempat ibu di sini.” Putri Cala merayu anaknya dengan suara lembut. Perintah ibunya itu diresponnya seketika. Ia setengah berlari menuju tempat Putri Cala berada. Sayangnya ular kobra di tubuhnya tidak dilepaskannya. Jadilah anak kecil yang baru bisa berjalan itu berjalan dengan beban berat di tubuhnya. Ia melangkah miring ke kiri dan ke kanan. Mentrabang segera melolos sebilah pisau kecil. Namun sebelum ia menebas ular kobra itu, terdengar sebuah suara yang mengejutkannya.
“Engkau lupa dengan janjimu, Mentrabang. Engkau sudah kuingatkan lewat penyakit yang diderita putrimu. Tetapi engkau tidak juga sadar. Aku datang kemari menagih hutang janjimu dua puluh tahun yang lalu!” Suara itu berasal dari orang tua cebol berjanggut panjang. Belum sempat Mentrabang menjawab, Putri Cala telah merangsek maju menyerang orang yang telah berusaha mencelakai putranya.
“Jangan banyak bicara engkau orang tua cebol. Hadapi saja aku putri Mentrabang. Bila engkau mau berlutut meminta maaf, mungkin aku bisa mengampunimu!”
“Hohohoho….., punya keberanian juga engkau putri Mentrabang. Jangankan dirimu, tiga orang dengan kepandaian seperti ayahmu itu tak akan mampu menandingiku.” Si cebol berjanggut segera meladeni serangan Putri Cala.
Meskipun mengeluarkan seluruh kemampuannya, tubuh si cebol itu belum juga mampu disentuh oleh tangannya. Putri Cala melompat mundur ke belakang. Ia bersiap dengan jurus barunya, Mantra Tunjuk. Dihimpunnya tenaga Sembilang ke bawah pusarnya kemudian tenaga itu dialirkannya ke telunjuk kanan. Diangkatnya telunjuk yang telah penuh dengan tenaga Sembilang itu seraya matanya menyorot tajam.
“Hai orang tua cebol, terimalah jurusku ini!”
Si orang tua cebol terkejut melihat ada tenaga dingin bercampur panas melesat keluar dari jari telunjuk Putri Cala. Ia tak sempat menghindar. Kedua tangannya memutar sehingga menimbulkan angin kencang. Ditangkisnya jurus Mantra Tunjuk itu dengan jurus putaran tangan. Dua pukulan dahsyat beradu. Si tua cebol terpental ke belakang dua depa, sedangkan Putri Cala masih berdiri kokoh di tempatnya.
“Hai, Putri Mentrabang. Dari mana engkau mempelajari jurus itu. Engkau pasti telah mencurinya. Cepat lepaskan semua kepandaianmu yang berasal dari curian!” Si cebol merangsek maju. Kali ini ia tidak main-main lagi. Tubuhnya yang cebol tidak terlihat lagi, hanya bayangan tubuhnya yang terlihat sesekali.
“Berhentilah kau menyerang aku orang tua. Segera haturkan sembah hormatmu kepada junjunganmu ini, Putri Cala Rupagatri.” Kedua bola mata Putri Cala menyorot tajam. Anehnya, si orang tua cebol menghentikan serangannya. Kedua tangannya menjura ke depan seolah akan memberi hormat. Tetapi ia kemudian menyadari jika ia tengah dalam pengaruh kekuatan batin lawan. Ia mengurungkan niatnya memberi hormat dan mengempos tubuhnya ke belakang.
“Aih…, benar-benar engkau telah menguasai jurus Mantra Sembilang. Tidak boleh dibiarkan. Jurus itu tidak boleh jatuh ke tangan orang lain dengan cara mencuri.” Si tua cebol mengumpat sendiri. Putri Cala yang mendengar tudingan itu bertambah dongkol.
“Enak saja engkau bicara cebol. Mantra Sembilang aku warisi langsung dari guruku Rakryan Rupagatri. Jangan engkau asal ceplos batok saja. Aku tak terima. Mari kita mengadu nyawa.” Putri Cala menyerang dengan jurus kedua Mantra Genggam.
Putri Cala menggenggam kedua tangannya dan meletakkannya ke depan dada kemudian menghembuskan nafasnya kencang melalui hidung. Selanjutnya tenaga Sembilang di dorong ke tangan dan kepala. Selanjutnya ia melafalkan ujaran pendek.
“Mantra Rupagatri!” Putri Cala melafalkan mantra. Tetiba tubuhnya menghilang dari pandangan.
Si tua cebol segera menutup kedua matanya. Ia berkonsentrasi mendengarkan langkah kaki musuh yang kini tak kelihatan lagi itu. Tangan dijulurkan ke arah Raden Gatra. Seketika ular kobra yang melilit tubuh Raden Gatra melesat ke tuannya. Ular Kobra itu melilit di tangan kanan si cebol. Lidahnya menjulur keluar seakan siap menjadi senjata mematikan. Si tua cebol kemudian mengeluarkan benda bulat terbungkus kain. Ia lalu melemparkan benda itu ke depan.
“Dar!” Terdengar ledakan dari benda yang dilempar tua cebol. Asap langsung membumbung tinggi.
“Awas racun. Tutup pernafasan dan segera menyingkir menjauh dari sini!” Raden Kuning memerintahkan warga yang menonton untuk menyingkir.
Si tua cebol tetiba kewalahan. Kedua tangannya menangkis ke kiri dan ke kanan. Ular kobra di tangannya menyemburkan racun ke depan. Meskipun memiliki kepandaian tinggi, tua cebol rupanya tidak siap menghadapi orang yang memiliki ilmu menghilang. Kendati ia telah berupaya menangkis serangan itu, sebuah pukulan Putri Cala mampir di pundaknya dan membuatnya ia terpental.
“Hebat sekali kepandaian putrimu ini, Mentrabang. Jika saja kita tidak terikat janji, gatal tanganku ingin menjajal kehebatan putri dan menantumu itu. Tetapi aku datang ke sini adalah untuk menagih hutang janjimu. Tapi betapa jahat dirimu, si cebol Belingis kalian lukai. Jika aku tidak muncul di sini, pasti pengikut setiaku itu sudah tak bernyawa lagi.” Seorang nenek tua berkebaya tetiba muncul menolong si cebol.
“Belingis, ayo kita pergi dari sini. Dar dar dar!” Nenek berkebaya melempar bungkusan bulat yang segera meledak menimbulkan asap pekat. Keduanya segera menghilang dari pandangan mata.
“Mentrabang, aku pinjam cucumu!” Sayup-sayup terdengar suara si nenek berkebaya.
(Bersambung)78
KAMU SEDANG MEMBACA
Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)
Ficción históricaDi ujung keruntuhan kerajaan Demak, Raden Arya Penangsang tewas. Adik kinasihnya Pangeran Arya Mataram dititahkan merawat keturunan dengan mencari suaka di bumi leluhur Palembang. Dalam pelariannya, ia ditemani abdi setia, Raden Kuning, Punggawa Tua...