Sontak prajurit yang telah menyeruput kopi memuntahkan minuman hangat itu. Suma Banding yang tadinya telah pergi keluar paseban, segera kembali ke tempat pertemuan. Dengan sigap ia memeriksa minuman dan penganan yang baru dihantarkan pelayan. Selanjutnya ia memerintahkan agar prajurit membawa seluruh pelayan yang baru saja menyajikan makanan.
“Bawa kesini seluruh pelayan!” Perintahnya Suma Banding. Sepuluh orang pelayan perempuan itu sekarang telah berada di hadapannya.
“Bawa sepuluh gelas kopi hangat itu kesini. Sebelum prajurit meminum kopi, aku hendak menguji terlebih dahulu minuman yang kalian sajikan,” tukasnya.
Dengan isyarat tangannya, ia meminta prajurit yang berada di dekatnya untuk membawa sepuluh gelas kopi. Minuman hangat itu diberikan kepada sepuluh orang pelayan. Suma Banding kemudian memberikan aba-aba agar pelayan tersebut segera meminum minuman berwarna hitam pekat itu.
“Sekarang, kalian semua serentak minum kopi itu!” serunya.
Suma Banding mengawasi kesepuluh orang tersebut. Sembilan orang pelayan langsung menenggak habis kopi dari gelas yang disuguhkan prajurit. Seorang diantaranya dengan tubuh gemetar tak berani minum kopi. Suma Banding berkelebat cepat. Ia memukul punggung sembilan orang pelayan yang baru saja minum kopi yang dicurigainya telah diracuni. Sontak mereka yang tak memiliki kemampuan beladiri itu terjerembab ke depan dan memuntahkan kopi yang baru saja diminum. Senopati Bagas Rilau segera mahfum maksud atasannya itu. Dengan sigap ia memerintahkan prajurit untuk menolong pelayan perempuan yang terkena pukulan Suma Banding. Sedangkan senopati Sentri Payu langsung mencokok pelayan perempuan yang tidak meminum kopinya.
“Hei, kau pelayan. Mengapa engkau tak berani minum kopi itu. Apakah engkau telah meracuninya?” hardik Sentri Payu. Perempuan paruh baya itu menundukkan wajahnya. Tubuhnya menggigil hebat. Ia sangat ketakutan.
“Kurang ajar, kau. Berani-beraninya dirimu yang rendah itu mencoba meracuni kami. Rasakan ini!” Tetiba salah seorang prajurit yang ikut dalam pertemuan melompat ke depan. Lalu dengan garang ia menusuk pelayan yang tak berdaya itu dengan sebilah keris.
“Hei, engkau. Tahan!” Teriakan Suma Banding terlambat. Keris milik prajurit tersebut telah menembus tenggorokan perempuan yang ketakutan itu. Tubuhnya berkelojotan bersimbah darah sebelum jatuh bergedebuk dalam keadaan tidak bernyawa lagi.
“Lancang sekali engkau prajurit. Siapa yang mengizinkan dirimu untuk membunuh perempuan ini?” senopati Bagas RIlau terlihat murka.
“Maafkan hamba, tuan Senopati. Saya tidak bisa menahan emosi,” ujar prajurit itu seperti ketakutan.
“Siapa namamu prajurit?” tanya Suma Banding.
“Hamba bernama Manjar Bisma. Jika perbuatan saya tadi tidak mendapat perkenan tuan, biarlah hamba tebus dengan nyawa saya yang buruk ini!” Prajurit itu mengarahkan kerisnya yang masih berlumuran darah menikam dadanya sendiri.
“Trang, plak plak!” Suma Banding menggagalkan aksi nekad prajurit ugal-ugalan itu. Ia memberikan tamparan keras di wajahnya. Bekas telapak tangan kirinya masih membekas di pipi prajurit yang mengaku bernama Manjar Bisma itu.
“Siapa yang memerintahkanmu untuk membunuh diri. Aih, lancang sekali prajuritmu ini, senopati Sentri Payu!” Suma Banding terlihat murka.
“Prajurit jaga, lucuti senjata Manjar Bisma, jebloskan ia ke dalam tahanan!” perintah senopati Bagas Rilau. Kehebohan pada dini hari itu membuat kantuk yang sebelumnya menggelayuti mata Suma Banding hilang. Otaknya mereka-reka peristiwa yang terjadi seharian ini dengan rencana kerusuhan yang telah dipersiapkan para pengacau.
“Jangan sampai ada yang makan dan minum seluruh sajian ini. Prajurit jaga, kalian singkirkan semua makanan dan minuman yang baru disajikan ini. Aku khawatir seluruhnya telah diracuni. Aku perintahkan kepada senopati Bagas Rilau dan senopati Sentri Payu untuk mengamankan dapur istana serta memperketat pasokan bahan makanan ke keraton sekarang juga. Seluruh bahan makanan yang kita beli untuk kepentingan keraton juga harus dipastikan terlebih dahulu bebas dari racun. Aku mengandalkan kalian berdua wahai Bagas Rilau dan Sentri Payu!” Suma Banding kembali memberi perintah. Setelah berbincang sejenak dengan kedua senopati kerajaan itu, ia akhirnya kembali meninggalkan paseban utama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)
Fiksi SejarahDi ujung keruntuhan kerajaan Demak, Raden Arya Penangsang tewas. Adik kinasihnya Pangeran Arya Mataram dititahkan merawat keturunan dengan mencari suaka di bumi leluhur Palembang. Dalam pelariannya, ia ditemani abdi setia, Raden Kuning, Punggawa Tua...