Menelisik penginapan

773 40 7
                                    

Di tengah deru kuda yang melesat kencang, Raden Sabtu merogoh benda yang diberikan Suma Banding. Setelah merasa benda itu aman di sakunya, lelaki gagah itu berkonsentrasi dengan kendali kuda. Prajurit yang bertugas menjaga pintu keluar keraton, segera memberi jalan kepada kerabat raja itu sehingga ia dengan mudah kudanya melompat ke atas rakit penyebrangan.

Raden Sabtu kembali membedal kudanya setelah rakit yang ditumpangi  itu bersandar di pinggir sungai. Kuda pilihan berwarna hitam pekat itu berlari kencang menyisakan debu yang beterbangan. Mereka menuju Candi Laras. Terlihat raut khawatir di wajah Raden Sabtu, tetapi perasaannya itu ia tekan dalam-dalam.

“Cepat kalian menyingkir dari hadapanku, prajurit bodoh. Aku ini orang sendiri. Aih, mengapa setelah aku tidak lagi mengurusi prajurit di Palembang ini menjadi sedemikian buyan!” Suara lelaki itu terdengar kencang. Ia nampak agak kerepotan mengelak dari serangan maut para prajurit. Puluhan prajurit mengeroyok lelaki itu, tetapi meskipun lawan tidak seimbang orang yang berpakaian petani itu tidak dapat disentuh oleh tombak mereka.

“Hentikan pengeroyokan. Apa yang terjadi di sini!” Raden Sabtu yang baru tiba melompat turun dari kudanya.

“Kami tidak berani menolak perintahmu, Raden. Tetapi kami juga tidak berani melanggar perintah raja!” Salah seorang prajurit bergegas menghampiri Raden Sabtu. Ia memberikan hormat kepada pemuda gagah itu. Saat itu pengeroyokan terhadap lelaki berpakaian petani masih berlangsung. Gerakan mereka yang cepat membuat halaman penginapan Mandau dipenuhi debu yang terbawa angin.

“Apa maksudmu, prajurit. Perintah raja yang manakah yang kalian langgar. Aku hanya memerintahkan kalian menghentikan pengeroyokan itu!” Suara Raden Sabtu meninggi.

“Maafkan hamba, Raden. Kami mendapat titah dari raja agar menangkap seluruh orang asing yang mencoba datang ke penginapan ini!”

“Siapa yang membacakan titah raja itu?”

“Wedana Sahibul, Raden.”

“Di mana pimpinanmu itu sekarang?”

“Maaf beribu maaf Raden. Wedana Sahibul baru saja pamit menuju keraton  dengan membawa serta puluhan prajurit pengawalnya.”

“Hei kalian prajurit dablek. Hentikan serangan, ini adalah titah dari raja. Lihatlah tanda ini!” Raden Sabtu kembali berteriak lantang. Dari saku pakaiannya, pemuda tampan itu mengeluarkan lencana raja. Seketika prajurit yang melihat lencana itu menghentikan serangan. Mereka langsung meletakkan senjata dan menunduk takzim kepada Raden Sabtu.

“Hei lihatlah siapa yang kalian keroyok itu. Aih, kalian ini memang tak tahu dalamnya laut tingginya langit. Ayo cepat beri hormat kepada Punggawa Kedum. Dia itu prajurit tangguh dari Djipang sahabat karib raja.” Raden Sabtu baru menyadari jika yang dikeroyok oleh prajurit Palembang adalah Punggawa Kedum. Telik sandi pilihan kerajaan Demak itu kemudian menghampiri Raden Sabtu lalu memeluk tubuh anak muda itu.

“Hahahaha….. inilah saat yang paling bahagia bagiku di hari ini. Hampir saja copot jantungku menghindari tombakan dari belasan prajurit buyan itu, Raden. Lama sekali aku tidak mendengar khabarmu, Raden.” Punggawa Kedum menepuk-nepuk pundak keponakannya itu.

“Aku juga bahagia dapat melihat paman lagi setelah sekian lama kita tidak bertemu.”

“Apa sesungguhnya yang sedang terjadi di Palembang ini, Raden. Mengapa aku yang berpakaian petani ini saja langsung disambut dengan serangan ganas ketika tiba di penginapan ini?” Punggawa Kedum bertanya heran.

“Aih, panjang ceritanya Paman. Nantilah aku kisahkan kepadamu cerita utuhnya. Tetapi saat ini kita harus melakukan beberapa hal penting terlebih dahulu. Ayo ikuti aku Paman!” Raden Sabtu segera melangkah ke dalam penginapan. Tetapi langkah kakinya terhadang oleh sepuluh prajurit Wanabraja yang menjaga di depan pintu masuk penginapan. Mereka segera menyilangkan tombak sebagai pertanda bahwa Raden Sabtu dilarang masuk.

“Hei, prajurit buyan. Jangan sampai kalian membuat kesabaranku habis!” Punggawa Kedum mendelik marah. Anehnya meski mendapat makian, sepuluh orang prajurit jaga itu tak mengedipkan mata. Raden Sabtu kemudian mencolek lengan pamannya.

“Ada yang aneh dengan para prajurit ini, Paman. Mereka sepertinya terkena sihir. Biar aku hilangkan dulu pengaruh sihirnya. Jangan tergesa-gesa paman menurunkan tangan keras,” ujarnya berbisik. Dengan anggukan kepala Punggawa Kedum melompat mundur ke belakang tubuh Raden Sabtu. Pemuda yang memiliki kekuatan batin itu kemudian berkacak pinggang.

“Hei kalian sepuluh orang dungu. Lihatlah mata tuanmu ini!” Seketika raut wajah Raden Sabtu berubah keras. Matanya menyorot tajam seolah busur panah yang melesat ke arah sasaran. Seketika pandangan dua orang prajurit jaga yang berada paling depan bertumburan dengan sorot mata Raden Sabtu. Hanya sekedipan mata saja, dua orang prajurit jaga itu langsung terkulai lemas. Dengan cara yang sama Raden Sabtu bisa menyingkirkan rintangan kecil itu. Sepuluh orang prajurit yang berada dalam pengaruh sihir semuanya terkulai lemas di pintu masuk penginapan Mandau.

“Hei prajurit, kalian uruslah temanmu ini. Dan engkau kepala prajurit jaga, antarkan aku memeriksa seluruh kamar!” Raden Sabtu segera memanggil kepala prajurit jaga. Ternyata ia adalah orang yang sama yang tadi menyambut kedatangan Raden Sabtu.

“Siap menjalankan perintahmu, Raden!” Bergegas kepala prajurit jaga membuka jalan Raden Sabtu dan melangkah masuk ke dalam penginapan.

Mereka terlebih dahulu memeriksa kamar yang berada di lantai bawah. Penginapan Mandau yang dibangun dengan kayu pilihan itu terdiri dari dua lantai. Penginapan itu sengaja disiapkan untuk menyambut para ahli kanuragan yang akan mewakili keraton Palembang dalam adu tanding. Setelah Kamar-kamar tamu yang berada di lantai dasar, mereka tidak menemukan hal-hal yang mencurigakan. Tetapi pemandangan berbeda ditemukan mereka di lantai dua penginapan. Di beberapa kamar tamu penginapan itu, nampak penghuninya telah terbujur kaku. Wajah mereka hitam membiru.

“Awas prajurit. Jangan engkau menyentuh tubuh mereka.Aih, bagaimana bisa kalian para prajurit jaga tidak mengetahui jika di penginapan ini telah terjadi pembantaian?” Raden Sabtu terlihat geram.

“Ma-ma-maafkan hamba yang hanya prajurit rendahan ini, Raden. Kami memegang teguh perintah yang dititahkan raja melalui Wedana Sahibul!” Wajah prajurit jaga itu terlihat pias. Ia tak mengira jika penginapan yang telah dijaganya berhari-hari itu justru menyimpan rahasia besar.

“Bagaimana mungkin kalian bisa terpedaya dengan musuh seperti ini. Kalian diperintahkan musuh yang menyusup justru untuk melindungi mereka yang membantai saudar-saudara kita sendiri.” Punggawa Kedum menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Tunjukkan kepadaku kamar yang dihuni ketua Litantong. Ia berperawakan seperti orang China.” Raden Sabtu terlihat panik. Kepala prajurit jaga itu langsung menunjukkan sebuah kamar besar yang berada di pojok sebelah utara. Bergegas ketiganya menuju kamar dimaksud.

“Brak, suuut!” Terdengar suara pintu jendela dibanting dari dalam kamar.

“Hei siapa di dalam kamar!” Punggawa Kedum langsung melompat melindungi Raden Sabtu. Seketika suasana berubah mencekam.

“Prajurit, segera engkau himpun pasukanmu mengepung penginapan ini,” ujar Raden Sabtu berbisik.

(bersambung)

Siapakah yang berada di dalam kamar. Apakah memang musuh masih belum meninggalkan penginapan Mandau. Ataukah ada jebakan lain yang tengah menanti mereka. Baca lanjutan kisahnya yang insya Allah dipublish besok ya hehehehe………….

Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang