Bantuan Datang

775 41 1
                                    

Suma Banding bergeming. Bahkan ketika senjata kipas kakek bersorban berubah arah menotok pundaknya, ia masih tak bereaksi. Senjata itu mendarat di pundak lelaki yang telah lama mengabdi di Keraton Palembang. Suma Banding terkena totokan. Tubuhnya berdiri kaku di tengah arena.

Tampaknya kakek bersorban yang menjadi lawannya tak ingin melukai jagoan tuan rumah itu.

“Nah, kalian lihat sendiri. Jagoan nomor satu kalian sudah berhasil aku lumpuhkan dengan mudah. Ini hanya ajang adu tarung. Jangan sampai kita berperang karena kalian tidak ingin mengakui kehebatan Malaka!” Suara kakek bersorban membahana. Ia mengerahkan tenaga dalamnya untuk menyebarkan suara.

“Siapa yang mempersilakanmu besar kepala seperti itu, kakek lusuh. Kami belum kalah. Masih banyak petarung yang harus engkau hadapi agar ucapanmu tadi jadi kenyataan. Sekarang, engkau hadapilah aku.” Tetiba di tempat itu telah berdiri seorang lelaki berkulit putih dan berpakaian rapih. Ia datang membawa serta belasan orang pengawal.

“Hei, mereka itu perompak Bendawa. Yang berpakaian rapih itu pastilah Mentrabang,” terdengar suara salah penonton berteriak. Akibatnya di tempat itu langsung terdengar kegaduhan. Ya, perompak Bendawa selama ini hanya dikenal namanya saja. Mereka seperti siluman beraksi di tengah laut merompak kapal-kapal yang berlayar. Nama perompak Bendawa sudah lama menghilang tak terdengar khabar berita.

“Bagaimana mungkin kelompok perompak Bendawa yang tinggal nama itu sekarang muncul di arena adu tanding. Mungkinkah mereka memang datang karena tertarik dengan ajang adu tanding ini. Kemana mereka akan berpihak,” Senopati Bagas Rilau bergumam sendiri.

“Hei pria putih berpakaian rapih. Benarkah engkau Mentrabang. Jika pun benar engkau pimpinan bajak laut Bendawa, jangan kau kira aku takut melawanmu. Ayo maju ke sini, biar aku memberi pelajaran kepadamu bagaimana cara bertarung di daratan!” Kakek bersorban berteriak gusar. Kedatangan pria berpakaian putih itu sepertinya memang di luar perkiraan mereka.

“Hahahaha…. Engkau mengancamku, tapi matamu terlihat jerih. Biarlah di sini aku sampaikan kepadamu. Aku adalah Mentrabang, pimpinan perompak baik dari pedalaman Bendawa. Jangan kau kira kemampuan sihirmu itu bisa memperdayaku. Kami sangat akrab dengan sihir, nujum dan semua kepandaian yang dekat dengan setan. Hadapilah barisan Bendawa. Jika engkau bisa mengalahkan mereka, baru kiranya aku sudi beradu tangan denganmu.” Mentrabang segera memberikan isyarat kepada pengawalnya. Seketika tujuh orang pengawal Mentrabang melompat ke arena. Tanpa basa-basi mereka membentuk barisan dan merangsek Mpu Bayan.

“Hap-hip hup.” Terdengar suara riuh rendah dari tujuh anggota Bendawa. Langkah kaki mereka berderap menjejak tanah menambah angker kehadiran mereka. Hanya sekedipan mata, terjadi pertarungan sengit di antara mereka.

“Kalian dengarkanlah perintahku. Aku adalah hantu laut yang menjadi junjunganmu. Sekarang aku perintahkan kalian untuk saling serang!” Mpu Bayan mengeluarkan kepandaian sihirnya. Anehnya, tujuh pengawal Bendawa itu seperti tidak mendengar suara dari lawan. Mereka sama sekali tidak terpengaruh oleh sihir kuat yang dilontarkan kakek bersorban.
Barisan tujuh Bendawa itu menempatkan tiga orang di depan, tiga di tengah dan satu orang di belakang. Memang aneh formasi yang ditampilkan mereka. Entah apalah kegunaan satu orang yang berada di belakang tersebut. Ia hanya nampak ikut berbaris berderap di belakang tanpa melakukan apa-apa. Sementara tiga orang di barisan depan dan tiga orang di depan, silih berganti menyerang lawan dengan tombak trisula kecil. Serangan mereka silih berganti dan mengayun seperti gerakan orang menari. Sebentar saja, kakek bersorban kelihatan mulai keteter.

Tak ingin dipermalukan oleh pengawal Mentrabang, kakek sakti itu segera melolos kipas besinya. Seketika serangan barisan Bendawa terhambat. Angin kibasan kipas mampu mengatasi serangan lawan. Barisan Bendawa tak mampu mendekat. Mengetahui lawan memiliki senjata kipas yang berhasil menahan serangan, satu orang yang berada di belakang bersiul kencang.

“Suit. Rubah barisan!” Suaranya mengejutkan orang-orang yang menyaksikan pertarungan itu.

Tiga barisan terdepan mundur ke tengah, sedangkan barisan tengah maju ke depan. Di tengah perubahan gerakan itu, tetiba satu orang terbelakang melompat ke atas barisan tengah dan dengan sigap tiga barisan depan yang kini berada di tengah menyambut lompatan itu dengan melontarkan barisan terbelakang ke depan. Luncuran tubuh orang yang berada di belakang itu langsung menuju ke arah lawan. Di saat bersamaan, prajurit tengah yang merubah posisi ke depan turut mengirimkan serangan trisula. Sungguh indah jurus yang ditampilkan barisan Bendawa itu.

Mpu Bayan yang tadinya sudah merasa di atas angin, tak menduga sama sekali serangan serentak itu. Akibatnya ia harus membagi konsentrasi ke depan dan ke atas. Jika saja ia bukan petarung yang berpengalaman, diserang dari empat sisi seperti keadaannya sekarang ini, tentulah akan membuatnya kewalahan. Tetapi Mpu Bayan bukan pendekar biasa. Ia adalah murid kinasih seorang Mpu yang menjadi guru di kerajaan Banten. Dengan tenang ia melempar kipasnya menyerang musuh yang menyerang dari atas. Sementara kedua tangannya ditariknya ke dada, lalu didorongnya ke dua sisi.

Dua orang penyerang Bendawa yang menyerang dari dua sisi depan dan kiri, tetiba merasakan angin panas yang berasal dari pukulan tangan Mpu Bayan. Sedangkan penyerangan dari sisi kanan dihadang dengan tendangan kaki. Seketika serangan yang seharusnya mampu melumpuhkan musuh itu menumbur tembok besi.

“Aduh!” Dua orang yang terkena hawa pukulan panas menjerit kesakitan. Trisula di tangan mereka terlepas, sedangkan tangan mereka nampak mengalami luka dalam. Bekas pukulan Mpu Bayan terlihat jelas membiru.

Sedangkan penyerangan dari sisi kanan juga mengalami hal serupa. Ia terpaksa merubah arah Trisula sebelumnya diarahkan untuk menusuk rusuk Mpu Bayan. Meskipun tendangan kakek bersorban itu membentur trisula, namun terlihat jika tenaga Mpu Bayan jauh di atas lawannya.

“Lepas!” Mpu Bayan berteriak nyaring. Di saat hampir berbarengan, trisula di tangan lawang terpelanting kena tendangnnya. Pemegang trisula itu juga terdorong ke sisi kiri menabrak kawannya yang berada di barisan tengah. Seketika barisan Bendawa kacau balau. Di tengah kandasnya serangan barisan Bendawa, tetiba penyerang Bendawa yang datang dari atas berteriak.

“Awas kepalamu!”

Mpu Bayan terperanjat. Ia melihat kipas besi yang dilemparkannya telah berubah arah melenceng dari sasaran. Penyerang Bendawa yang mengancam dari atas ternyata mampu meliukkan tubuhnya untuk menghindari laju serangan kipas besi. Tubuhnya meliuk seperti gerakan seekor ikan.

Para penonton yang juga terdiri dari orang yang memiliki kepandaian menahan kagumnya melihat peristiwa itu.
Mpu Bayan tak sempat lagi menghindari pukulan tangan kosong dari lawannya. Ia bahkan terlihat pasrah dan tidak berusaha melindungi kepalanya. Benar saja, pukulan lawan langsung menghantam batok kepalanya.

Keanehan kembali terjadi, serangan ganas penyerang Bendawa ternyata seperti amblas memukul angin. Keheranannnya tidak berhenti di situ saja. Kedua telapak tangan yang menghantam batok kepala Mpu Bayan, ternyata menempel tak bisa dilepaskan. Bahkan ketika kakinya mendarat di tanah, kedua tangannya masih menempel di kepala kakek bersorban.

“Aih, ilmu setan apakah yang engkau gunakan orang tua. Mengapa tenagaku seperti membentur angin dan disedot oleh tenaga tak kasat mata?” Penyerang Bendawa berteriak jerih. Hanya sekedipan mata, keringat membanjiri kepalanya.

(Bersambung)

Apa yang akan terjadi selanjutnya. Baca kisahnya besok ya hehehehehe………… Jangan lupa follow ya

Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang