Mencari kebenaran sejati

1K 44 1
                                    

Di tengah gurun tandus itu hujan terus turun mengguyur tanpa henti. Raden Kuning berjalan sempoyongan, tetapi kakinya tak mau diangkatnya jauh dari tempatnya berdiri semula. Belum reda tanda tanya dalam hatinya, tetiba dilihatnya ada serombongan pejalan kaki berjalan ke arahnya. Raden Kuning langsung berharap orang yang datang itu akan menolongnya.

“Kisanak, kemarilah kalian. Tolonglah aku, tunjukkan jalan keluar dari sini.” Raden Kuning memanggil dengan melambaikan tangannya. Jumlah mereka ada lima orang. Mereka segera menghampiri Raden Kuning.

“Apakah gerangan yang menyusahkanmu, kisanak?” Orang itu menyapa Raden Kuning. Ia memakai penutup  kepala sehingga Raden Kuning sulit melihat wajahnya.

“Mungkin aneh jika aku berterus terang kepadamu. Tetapi sepertinya hanya ada kalian yang melintasi tempat ini.”

“Ya, memang hanya kami yang lewat jalan ini. Jika engkau percaya, baiknya kau ceritakan saja apa yang membuatmu sampai seperti orang linglung seperti sekarang ini.”

“Penyebab aku linglung karena…, ah entah bagaimana harus memulai ceritanya kepadamu. Tetapi singkatnya saja aku sendiri tidak tahu mengapa aku bisa sampai di sini dan aku juga tak tahu aku berada di mana.” Raden Kuning tak mampu menutupi keadaannya.

“Engkau lucu, kisanak. Bukankah untuk sampai kesini engkau menggunakan kedua kaki untuk berjalan. Engkau juga dikarunia otak yang berfungsi sebagai pemberi perintah kepada kakimu agar terus berjalan hingga sampai di sini?”

“Itulah yang aku tidak habis pikir, kisanak. Mengapa aku sepertinya lupa akan segala kenangan sebelumnya. Aku hanya mampu mengingat namaku saja. Selebihnya aku lupa.”

“Aih, jika begitu engkau terkunci oleh qolbumu sendiri. Apakah sebelum lupa, engkau mengalami peristiwa besar dalam hidupmu yang mengubah pandanganmu atas dunia dan isinya ini?”

“Betul, kisanak. Sebelum sampai di tempat ini banyak sekali yang kupikirkan. Sepertinya aku terkunci dalam pikiranku sendiri. Jika aku tak bisa menemukan kunci itu, apakah menurutmu aku akan selamanya terkurung di sini?”

“Entahlah. Mungkin saat ini engkau terkunci dalam pikiranmu sendiri karena engkau memiliki banyak kepribadian. “

“Aku tak merasa seperti itu. Raden Kuning hanyalah satu. Ya, aku ini.”

“Yakinkah engkau seperti itu, Raden Kuning.”

“Aku sangat yakin sekali.”

“Lalu, siapakah kami ini. Coba perhatikan wajah kami berlima.” Tetiba kelima orang itu mengangkat kepalanya. Raden Kuning dengan jelas dapat melihat wajah-wajah mereka.

“Astaghfirullahal adzim. Kalian mengapa memiliki wajah yang mirip sekali denganku. Nyatakah kalian ini. Ataukah kalian hanya buah dari pikiranku saja?” Raden Kuning menampar pipinya sendiri. Bekas tamparannya membuatnya mengaduh.

“Kami berlima ini nyata senyata dirimu yang kini tersesat di sini, Raden Kuning.”

“Aih, apa arti dari semua ini?” Sejuta tanya singgah di benak Raden Kuning.

“Engkau perhatikanlah diri kami baik-baik.”

Raden Kuning selanjutnya memperhatikan satu persatu lawan bicaranya. Lima orang itu mirip sekali dengan dirinya. Hanya saja sinar matanya menampilkan lima keadaan yang berbeda-beda. Orang yang pertama bicara dengannya memiliki raut wajah gembira. Sepertinya tak ada beban dalam hidupnya. Selanjutnya orang kedua tampil dengan raut wajah duka. Awan kelabu seperti bergelayut dalam sorot matanya. Raden Kuning ingat ia pernah dalam keadaan begitu berdukanya ketika ayahnya meninggal dunia. Orang ketiga berwajah marah, orang keempat berwajah takut dan orang kelima berwajah linglung seperti keadaannya saat ini.

“Kalian adalah aku dalam lima keadaan. Gembira, duka, marah, takut dan linglung. Itukah yang engkau maksud dengan banyak kepribadian?” Raden Kuning terus bertanya dengan lawan bicaranya.

“Itu adalah ekspresi dari lima keadaan yang sering mengganggumu. Sayangnya, tidak ada keseimbangan dari lima keadaan itu. Engkau terus menerus menampilkan sosok linglung. Meskipun dirimu banyak sekali mendapat petunjuk dalam hidupmu, engkau terus menerus menjadi orang bingung yang sepertinya tak tahu arah kehidupanmu di masa mendatang.”

“Jadi menurutmu untuk lepas dari kunci pikiran, aku harus menyeimbangkan lima keadaan itu. Ya, itulah kuncinya agar aku bisa bebas dari tempat ini.” Raden Kuning seolah mendapat petunjuk.

“Entahlah, Raden Kuning. Engkau harus menerjemahkannya sendiri. Kami tak bisa berlama-lama di sini. Biarkan kami lewat.” Tanpa meminta persetujuan Raden Kuning, kelima orang itu berlalu.

Raden Kuning kini kembali sendiri. Kakinya masih sempoyongan menyangga beban tubuhnya. Guyuran hujan sepertinya tidak bersahabat dengan dirinya yang kini masih dilanda kebimbangan. Raden Kuning kemudian menjatuhkan tubuhnya duduk bersemedi di atas gurun pasir. Janggal sekali memang keadaan di tempat itu. Gurun pasir yang diguyur hujan deras.

“Kuncinya keseimbangan. Aku harus mampu menampilkan lima keadaan batinku agar bisa pergi dari tempat ini.” Raden Kuning berteriak memotivasi dirinya.

Sayangnya, meskipun telah berulang kali berupaya, Raden Kuning tetap tidak mampu menampilkan lima sosok yang baru ditemuinya tadi. Setengah frustasi ia kemudian menahan nafasnya hingga dirinya merasa lebih tenang. Tetiba Raden Kuning mendapat petunjuk. Untuk dapat menampilkan lima keadaan itu, maka ia teringat akan petunjuk yang diberikan oleh Kyai Layon.

“Aih, mengapa aku lupa. Petunjuknya adalah medhar sukma!” Raden Kuning bergumam sendiri.

Ajaib. Setelah mengikuti petunjuk itu, tetiba ia seperti mendapat kemudahan untuk menampilkan dirinya yang tengah gembira, berduka, marah, takut dan linglung bergantian. Lima orang yang baru ditemuinya tadi, kini muncul kembali di hadapannya. Jika sebelumnya mereka adalah orang asing yang ditemuinya di jalan, kelima sosok dirinya yang sekarang muncul di hadapannya ini adalah bagian dari dirinya yang siap menerima dan melaksanakan perintah darinya.

“Siapakah kalian ini?” tanya Raden Kuning.

“Kami adalah dirimu. Kami siap untuk menerima perintahmu!” Kelima bayangan dirinya itu menjawab serentak.

“Baik, jika begitu. Linglung. Engkau larilah sejauh-jauhnya dari sini. Dan kalian berturut-turut takut, marah, duka dan gembira, kejarlah si linglung. Bawa ia kembali ke sini. Bariskan linglung di deretan paling belakang.” Raden Kuning memberi perintah.

Raden Kuning berwajah linglung segera berkelebat pergi dari hadapannya. Ia menggunakan ilmu meringankan tubuh sehingga sebentar saja sosoknya telah hilang dari pandangan. Empat sosok Raden Kuning lainnya segera melakukan hal yang sama mengejar bayangan Raden Kuning pertama. Terjadilah aksi kejar-kejaran. Lima sosok berkepandaian tinggi itu meninggalkan bayangan hitam yang berputar-putar di sekitar tubuh Raden Kuning. Hingga akhirnya sosok linglung tertangkap. Ia diseret ke hadapan Raden Kuning.

“Sendiko dawuh, Raden. Ini sosok linglung sudah kami tangkap.” Gembira melapor.

“Bariskan ia seperti perintahku!” Kelima sosok yang mirip Raden Kuning itu berbaris berurutan mulai dari yang terdepan gembira, duka, marah, takut dan linglung.

Tetiba guyuran hujan berhenti. Sebuah kilat menyambar. Sinarnya sangat terang sekali dan menyilaukan mata Raden Kuning.

“Aih, ada dimana aku sekarang?” Raden Kuning berpindah ke dimensi lain.

(Bersambung)
Jangan lupa vote ya

Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang