“Pangeran Sekar Tanjung!” ujar mereka bersamaan. Melihat kedatangan orang nomor dua di Tuban itu, semua yang hadir langsung berdiri.
“Ya, aku baru tiba dari pengembaraan. Terkejut sekali aku melihat perubahan di kotaraja Tuban. Kalian duduklah kembali. Hei, ternyata ada orang yang datang dari jauh. Apa khabar Kakang Raden Kuning,” sapa Pangeran Sekar Tanjung hangat.
“Alhamdulillah khabarku baik, dimas Pangeran. Tetapi yang tidak baik kurasa keadaan di kotaraja.” Raden Kuning menjura hormat.
“Ya, ini semua ulah Mpu Bengawan Sanca. Si culas Sentapa tak mungkin memiliki keberanian menggerakkan pemberontakan jika tidak ada orang sakti yang mendukungnya. Aku tahu persis sifat pengecut Sentapa itu.” Nada bicara Pangeran Sekar Tanjung terdengar tinggi.
“Siapakah Mpu itu, Dimas?” Raden Kuning melontarkan pertanyaan yang sedari tadi mengganggu pikirannya.
“Entahlah, aku sendiri belum pernah bertemu dengannya. Yang aku dengar orang itu datang dari tempat yang jauh. Ia tiba di Tuban langsung menemui Eyang Kyai dan belajar di pesanggrahan Kawedar tak lama setelah engkau bertolak ke Palembang, Kakang.” Sekar Tanjung menghela nafas panjang. Dari nada bicaranya terlihat sekali keresahan di wajahnya. Hal itu lumrah mengingat si Mpu yang diperbincangkan itu terkenal sakti mandraguna.
“Yang aku tahu ketika tiba di Tuban sang Mpu itu diiringi oleh puluhan muridnya yang berperangai aneh. Tidak ada yang kenal lebih dekat dengan kelompok tersebut karena selama ini mereka tertutup dengan dunia luar. Setelah Eyang Kyai memutuskan menyepi di pesanggrahannya, mereka membuat perguruan sendiri. Yang aku dengar pula, Mpu itu pandai membuat beragam senjata perang,” jelas Soka Lulung.
Berbagai pertanyaan tentang Mpu Bengawan Sanca tak satu pun yang dapat terjawab. Mengingat sedikit sekali informasi terkait orang yang disebut-sebut memiliki kesaktian tinggi itu, maka Soka Lulung meminta prajurit yang masih setia dengan kepemimpinan Kanjeng Gusti Balewot untuk melupakan pembahasan tentang Mpu Bengawan Sanca. Soka Lulung mengingatkan bahwa lebih baik rapat difokuskan tentang bagaimana cara mengumpulkan prajurit Tuban yang kini tercerai berai agar dapat kembali dalam satu komando.
Tanpa perdebatan, seluruh prajurit sepakat untuk mendapuk Pangeran Sekar Tanjung memimpin perang merebut kembali Tuban dari Pangeran Sentapa. Seluruh prajurit yang hadir disana diminta menghubungi prajurit Tuban lainnya dalam kelompok-kelompok kecil. Semua sepakat agar mereka memanfaatkan pesta pernikahan Putri Wuwu dengan Pangeran Sentapa sebagai waktu yang tepat untuk menyerang kotaraja.
“Semua yang hadir di sini agar terus memelihara kontak dengan pimpinan-pimpinan prajurit yang kini tercerai berai. Sampaikan salam hormat dariku dan kita akan masuk ke istana pada dini hari menjelang pesta pernikahan paksa itu. Aku, Kangmas Raden Kuning dan Soka Lulung nanti yang akan memimpin langsung perang ini. Hidup dan mati kita, biarkan kita pasrahkan saja kepada Allah. Akan lebih berdosa lagi jika kita hanya berdiam diri membiarkan calon penguasa lalim berkuasa di negeri para wali ini,” ujar Pangeran Sekar Tanjung membakar semangat prajuritnya.
“Hidup Pangeran Sekar Tanjung, jaya keraton Tuban!” Seluruh yang hadir mengelukan putra mahkota keraton Tuban.
Tak ingin rapat rahasia itu terbongkar karena hiruk pikuk prajurit, Soka Lulung langsung membubarkan rapat. Ia berpesan agar seluruh prajurit yang ikut dalam rapat itu untuk menjaga rahasia dan terus menghubungi sisa-sisa pasukan yang kini dibatasi ruang geraknya oleh kaki tangan Pangeran Sentapa. Soka Lulung juga berpesan agar tidak ada satu pun prajurit yang berlaku nekad dengan menyerang istana. Saat ini puluhan murid kinasih Mpu Bengawan Sanca dikhabarkan menjaga lingkungan keraton dengan ketat. Menyerang keraton tanpa perencanaan yang matang sama saja dengan bunuh diri.
“Ingatlah kalian, jangan sampai ada kelompok kita yang berlaku nekad masuk ke dalam keraton. Hal itu selain membahayakan jiwa juga akan membuat rencana kita ini terbongkar. Kalian kembalilah ke rumah masing-masing dan tunggu perintah selanjutnya.” Soka Lulung sengaja menitip pesan itu sebagai sindiran kepada Raden Kuning agar ia tidak berlaku nekad mengandalkan kepandaian untuk membebaskan Putri Wuwu.
“Baiknya memang seperti itu, Soka. Tadinya sempat pula terpikir olehku untuk menjemput Putri Wuwu dari sekapan pangeran culas itu. Tetapi benar katamu, tindakan itu belum tentu berhasil dan akan membuat mereka semakin waspada. Lebih baik aku dan dimas Sekar Tanjung tidak berada di kotaraja. Biarlah aku mengundangnya ke tempatku di kapal Jung Keraton Palembang.”
“Baik, Soka Lulung. Aku serahkan tugas mulia ini kepadamu. Untuk sementara memang benar apa yang disampaikan Kangmas Raden Kuning, lebih baik aku tidak berada di kotaraja. Aku menerima undanganmu, Kangmas. Ayo, tak sabar aku melihat kapal Jung Palembang.” Pangeran Sekar Tanjung tertawa riang. Keduanya langsung berpamitan dan berkelebat meninggalkan rumah kayu milik abdi setia keraton Tuban tersebut.
Tanpa kesulitan, mereka berdua sudah berada di sekoci yang kemudian melesat cepat menuju sisi Timur laut Tuban tempat kapal Jung Palembang melempar sauh. Pohon bakau yang tumbuh lebat di sisi Timur laut Tuban membuat tempat itu tersembunyi dari lalu lintas kapal yang berlayar. Tempat itu memang cocok sekali menjadi daerah persembunyian.
Kedua prajurit pilih tanding yang hidup dalam masa yang sama itu mengisi waktu dengan bertukar cerita, bertukar pengalaman dan saling melatih kepandaian. Raden Kuning terkejut sekali saat berlatih tanding dengan Pangeran Sekar Tanjung. Ternyata ia mengalami kemajuan pesat. Dalam hal variasi jurus pukulan, Raden Kuning harus mengakui bahwa Sekar Tanjung lebih unggul darinya. Masa di mana ia tak ingat siapa dirinya membuat Raden Kuning tak sempat melatih ilmu silatnya sehingga ia tertinggal jauh dari pangeran yang berusia lebih muda darinya itu. Apalagi jika dibandingkan dengan pertemuan terakhir mereka. Saat dimana kedua pemuda itu mengadu jurus hingga akhirnya pewaris tahta Tuban itu harus mengakui keunggulan Raden Kuning.
“Aku telah mendapat petunjuk dari Yang Mulia Pangeran Arya Mataram bagaimana menguasai jurus kesembilan, manut gusti. Ternyata jurus yang kita warisi turun temurun dari masa kerajaan Majapahit itu memiliki kesamaan dengan jurus yang tertulis dalam kitab Mantra Sembilang. Padahal kitab itu ditulis pada zaman lebih tua, yaitu pada saat kerajaan Sriwijaya mahsyur di Nusantara. Ternyata jurus pamungkas sangkan paraning dumadi memiliki kesamaan dengan jurus Mantra Tunjuk yang berkembang di wilayah yang berjarak ratusan mil dari pulau Jawa.”
“Memang begitulah, kakang, sejatinya hakikat ilmu. Ada banyak persamaan dalam ilmu meskipun kita berada di sisi lain dunia ini. Aku pun baru terbuka mata hatiku ketika telah merasakan sendiri bertualang dari satu daerah ke daerah lain. Selain mendapatkan banyak pengalaman, aku juga banyak menemui orang pilih tanding di luar sana. Hebatnya aku juga menemukan banyak sekali kesamaan dasar-dasar gerakan jurus yang aku kuasai dengan yang dikenal di daerah lain. Itu menandakan bahwa ajaran tersebut mulanya adalah satu yang kemudian berkembang menurut wilayah dan lingkungannya masing-masing.” Pangeran Sekar Tanjung berfilsafat. Raden Kuning gembira sekali melihat perkembangan kejiwaan Pangeran Sekar Tanjung yang kini lebih dewasa. Sebelumnya ia ingat jikat pangeran itu tak lebihnya dari seorang pemuda yang pongah dan terkesan tinggi hati karena selalu mendapat sanjungan dari sekelilingnya. Maklumlah sebagai seorang pewaris tahta tentunya tak ada orang yang berani menegurnya apabila ia salah. Mencari pengalaman sendiri ke dunia luar memang merupakan cara untuk melihat bahwa di atas langit ada langit.
“Hebat kau, dimas. Tak kusangka dalam waktu yang singkat pribadimu telah berubah menjadi sosok yang matang. Kurasa engkau sudah layak memimpin Tuban di masa mendatang. Kearifanmu itu tentunya akan membawa Tuban lebih maju lagi dari sekarang.” Raden Kuning tak sengaja memuji pemuda yang kini berada di hadapannya itu.
“Pujian dapat mendatangkan kesenangan, tetapi dapat juga menjadi racun, Kangmas. Biarlah aku menimba lebih dulu ilmu tentang kehidupan barulah aku berpikir untuk memimpin Tuban.”
Di saat dua orang itu saling melempar pujian, sayup-sayup terdengar bisikan suara-suara dari puluhan perahu kecil yang semakin lama semakin mendekati kapal Jung. Karena asyik bertukar cerita, kedua prajurit pilih tanding tak menyadari jika ada bahaya yang mengancam mereka.
“Lepaskan panah berapi. Serang kapal Jung itu!” Sebuah teriakan komando memecah kesunyian malam.
(Bersambung) 85
KAMU SEDANG MEMBACA
Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)
Ficción históricaDi ujung keruntuhan kerajaan Demak, Raden Arya Penangsang tewas. Adik kinasihnya Pangeran Arya Mataram dititahkan merawat keturunan dengan mencari suaka di bumi leluhur Palembang. Dalam pelariannya, ia ditemani abdi setia, Raden Kuning, Punggawa Tua...