“Biar aku saja yang membuka pintu ini, Raden. Kalian minggirlah!” Kedum melangkah maju mendekat ke arah pintu kamar. Suara tumbukan kayu yang sebelumnya terdengar tetiba hilang. Namun dari arah kamar terdengar suara orang bergumam. Suara itu seperti orang tengah membaca mantra.
Kedum menutup panca inderanya. Matanya terpejam dengan kedua tangan bersidekap. Dengan diawali hentakan nafas, bekas prajurit pilihan Djipang itu menempelkan kedua tangannya di pintu. Seketika terlihat ada getaran angin yang menerpa daun pintu terbuat dari kayu. Akibatnya pintu kayu terdorong oleh tenaga tak kasat mata. Pintu berbahan kayu tipis itu terlepas dari engselnya jatuh ke belakang.
“Wuuut, suuut!” Suara anak panah terlepas dari busurnya mengancam Kedum. Namun tenaga dorongan yang dikerahkan telik sandi Djipang itu seperti labirin yang membuat tabir pelindung. Tiga buah anak panah seketika terdorong ke belakang saat menabrak tenaga tak kasat mata.
Seiring dengan gagalnya serangan panah, sesosok bayang berkelebat melompat keluar kamar dari jendela yang menganga. Suara berisik dari dalam kamar itu ternyata berasal dari pintu jendela kayu yang sengaja dirusak. Tujuannya adalah untuk memancing lawan masuk ke kamar dan jika gagal jendela yang menganga itu jadi satu-satunya jalan keluar.
“Prajurit yang berada di luar, tahan orang itu. Jangan sampai dia lolos!” Punggawa Kedum melompat keluar kamar mengejar bayangan yang melarikan diri.
Raden Sabtu tidak ikut mengejar keluar. Ia masuk ke dalam kamar penginapan dan menemukan seorang lelaki dalam keadaa terikat. Ia adalah seorang lelaki berperawakan kurus. Matanya yang sipit dengan kulit yang putih menguning itu mengingatkan Raden Sabtu akan orang-orang yang menjadi pengikut ketua Li tantong.
Lelaki itu dalam kondisi yang mengenaskan. Sekujur tubuhnya bersimbah darah. Sepertinya ia baru saja mengalami penyiksaan. Bercak darah berwarna merah masih terlihat di kaus putih yang dikenakannya.
Kedua tangan lelaki itu terikat ke belakang. Posisinya duduk bersandar di bawah tempat tidur dalam keadaan tertotok. Raden Sabtu kemudian memeriksa keadaan orang itu. Setelah merasa bahwa lelaki itu tidak berbahaya, ia kemudian melepaskan tali yang mengikat kedua tangannya. Dengan cepat ia membebaskan totokan dengan cara menyentuh urat besar di bawah leher.
“Air. Tolong beri aku air!” Lelaki itu memohon dengan mata memelas. Kepala prajurit jaga yang mengekor di belakang segera mengambil minum. Dengan lahap, lelaki tersebut menegak habis minuman yang dituang dalam gelas keramik berukiran aksara China.
“Apa gerangan yang terjadi, saudaraku. Mengapa engkau diikat di dalam kamar ini. Kami adalah prajurit keraton Palembang,” ujar Raden Sabtu.
Dengan sisa-sisa tenaganya, lelaki keturunan China itu melompat berdiri. Matanya berubah nanar dan ia langsung memasang kuda-kuda. Matanya menyorot tajam. Melihat gelagat tidak baik, Raden Sabtu justeu melangkah maju mendekat.
“Jangan engkau takut, saudaraku. Jika sebelumnya ada orang yang mengaku prajurit Palembang telah menurunkan tangan jahat kepadamu, aku bisa pastikan jika mereka itu prajurit gadungan. Cepat ceritakan kepadaku apa yang telah terjadi di dalam penginapan ini.” Raden Sabtu menatap dengan tatapan mata bersahabat. Seketika lelaki yang telah memasang kuda-kuda itu melunak. Dengan isyarat tangannya Raden Sabtu mengajak lelaki itu keluar dari kamar.
Setelah terlihat tenang, lelaki yang baru saja mengalami penyiksaan itu mulai bercerita. Ia mengaku merupakan pengawal ketua Li tantong. Malam ketika adu tanding akan berlangsung, tetiba ada serombongan prajurit keraton Palembang yang mengetuk pintu kamar Ketua Li. Ternyata mereka mengundang ketua Li untuk bertemu dengan pimpinan prajurit yang bertugas menjaga penginapan Mandau. Ketua Li dengan pengawalannya kemudian mendatangi ruang jamuan yang berada di sebelah Selatan lantai dua penginapan. Di tempat itu telah lebih dahulu hadir pimpinan prajurit keraton.
“Orang yang mengundang kami mengaku bernama Wedana Sahibul. Sebelumnya saya mengenal orang itu adalah pemilik penginapan. Baru malam itulah ia membuka penyamarannya. Ketua Li kemudian bercengkrama dan menyantap makan malam. Awalnya suasana jamuan makan itu berlangsung akrab. Kami tidak pernah menyangka jika saat itu kami tengah berhadapan dengan musuh yang berprilaku licik.” Lelaki kemudian menghela nafasnya sebelum ia melanjutkan kisahnya.
“Tetapi setelah selesai menghabiskan jamuan makan malam itu, Wedana Sahibul mulai berprilaku aneh. Ia meminta kepada Ketua Li untuk bekerja sama.”
“Bekerja sama seperti apa yang ditawarkannya?” Raden Sabtu terlihat penasaran.
“Kami diajak untuk memerangi Palembang. Wedana Sahibul tahu jika kami sebelumnya adalah kelompok perompak yang mengikat kekeluargaan dengan Raden Kuning. Ia bahkan tahu tentang perseteruan kami sisa-sisa kelompok Chen Zu Yi dengan kerajaan Demak. Bahkan dia menawarkan tanah Muara Sungsang menjadi kerajaan sendiri jika kami mau memerangi Palembang.”
“Lalu, bagaimana reaksi Ketua Li?”
“Ketua Li hanya diam saja. Tetapi melalui isyarat matanya, saya tahu jika ia tidak berkenan dengan tawaran itu. Bahkan ketika Wedana Sahibul meminta jawaban segera darinya, Ketua Li langsung menghunus senjata. Saat itulah kami tahu bahwa makanan dan minuman yang baru kami santap telah ditaburi bubuk racun. Tanpa perlawanan, kami berhasil dikalahkan.”
“Tadi engkau sampaikan bahwa Wedana Sahibul mengaku pimpinan prajurit yang bertugas menyamar sebagai pemilik penginapan. Adakah engkau melihat ada orang bersorban yang ikut ketika kalian dijamu makan malam?” Raden Sabtu bertanya.
“Selama kami berada di penginapan ini, saya tidak pernah melihat ada orang bersorban yang menginap di sini. Saat jamuan makan malam, Wedana Sahibul hanya ditemani beberapa prajurit.”
“Hal apalagikah yang engkau ingat saat pertemuan itu?” Raden Sabtu yang penasaran terus berupaya menggali keterangan. Sudah beberapa kali ia dan penasehat kerajaan Suma Banding kecolongan. Sebelum mengambil kesimpulan siapa saja yang terlibat pengkhianatan, Raden Sabtu ingin mengumpulkan bukti-bukti terlebih dahulu.
Ketua Li kemudian dibawa dengan kereta kuda oleh Wedana Sahibul sendiri, sedangkan aku disiksa di dalam kamar yang Tuan buka dengan paksa tadi. Siapakah gerangan Tuan yang gagah perkasa ini?” Lelaki itu menutup penjelasannya dengan bertanya.
“Aku adalah Raden Sabtu. Aku mendapat tugas untuk mengamankan penginapan Mandau ini dari serangan musuh.”
“Be-be-benarkah Tuan adalah Raden Sabtu?” tanya lelaki itu lagi.
“Ya. Benar. Aku adalah Raden Sabtu. Ada apakah gerangan. Mengapa setelah mendengar namaku engkau seperti mendengar nama setan. Lalu mengapa pula mereka tidak membunuhmu. Apa yang sebenarnya mereka inginkan darimu?”
“Mereka menginginkan dua hal, Raden. Yang pertama saya dibiarkan hidup untuk menyampaikan pesan.” Lelaki itu tetiba terdiam. Punggawa Kedum yang tak sabaran langsung bertanya dengan suara tinggi.
“Lalu, apa alasan yang kedua?”
“Yang kedua...... saya diminta untuk membunuhmu, Raden Sabtu!” Tetiba mata lelaki menyorot ganjil. Di tangan kanannya telah terhunus belati tajam. Kelengahan Raden Sabtu dimanfaatkan oleh lawan untuk menyerangnya dari jarak dekat. Raden Sabtu yang tak siap, terlambat mengantisipasi serangan mendadak itu.
(Bersambung)
Bagaimanakah nasib Raden Sabtu yang mendapat serangan dadakan. Selamatkah ia. Bagaimana Kedum mengejar orang yang berlari. Apakah orang itu dapat ditangkap. Nantikan kisahnya besok lagi ya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)
Ficção HistóricaDi ujung keruntuhan kerajaan Demak, Raden Arya Penangsang tewas. Adik kinasihnya Pangeran Arya Mataram dititahkan merawat keturunan dengan mencari suaka di bumi leluhur Palembang. Dalam pelariannya, ia ditemani abdi setia, Raden Kuning, Punggawa Tua...