Mati sebelum mati

925 52 2
                                    

Raden Kuning segera membuat gerakan mati sak jeroning urip. Ia kembali terkulai lemas, antara sadar dan tidak. Rembalun segera melompat meraih tubuh adik seperguruannya itu agar tidak terjerembab ke lantai. Dengan sigap ia mendudukkan pria pilih tanding itu di hadapan guru mereka.

“Mengapa Dimas Raden Kuning seperti dihantui oleh burung Elang raksasa dari dimensi bayangan, guru. Apakah tirakat mati yang baru selesai dilakoninya tidak sempurna?”

Mendapat pertanyaan muridnya, Ki Ageng Selamana malah memejamkan matanya. Dalam sekejap orang yang telah memiliki maqom tak terbatas itu masuk ke dimensi bayangan. Ia menelusuri penyebab datangnya serangan terhadap Raden Kuning. Padahal seharusnya burung Elang raksasa itu tak mungkin mampu menembus dua dimensi yang terhubung oleh cermin dan air.

Ki Ageng Selamana melihat muridnya telah berada dalam dimensi penghubung antara dimensi nyata dan dimensi bayangan. Raden Kuning nampak duduk bersila dengan mata terpejam. Perlahan disentuhnya pundak murid kinasihnya itu. Raden Kuning segera membuka matanya dan menyunggingkan senyuman.

“Kesempurnaan bukan milik manusia. Kesempurnaan hanya milik Gusti Allah, guru. Wajar jika tirakatku tak sempurna.” Raden Kuning berupaya menenangkan dirinya sendiri.

“Man arada an yanzhura ila mayyitin yamsy 'ala wajhil ardhi falyanzhur ila Abi Bakrin. Utawi sapane wong kang pengen delok marang mayyit sing isoh mlaku ono ing donyo, mongko deloko Abu Bakar Radhiyallahu 'anhu. Mutu qabla an tamut. Mati sebelum mati adalah disiplin dalam menjalankan sunnah yang diajarkan Kanjeng Nabi. Tujuannya agar kita bisa mati menjelang kematian itu datang.”

“Mati sebelum mati itu seperti apa, guru. Apakah ia dapat menyempurnakan tirakat matiku?”

“Mati sebelum mati adalah kematian kehendak iradah sebelum datangnya kematian ajal yang ditentukan Allah. Mutu qabla an tamut adalah salah satu cara yang digunakan untuk bisa menjangkau Nurullah agar ia hadir dalam hati kita. Sayyidina Abu Bakar adalah sahabat rosul sekaligus khalifah pertama yang telah sempurna melakukan lakon tersebut.”

“Caranya melakukannya bagaimana, guru?”

“Mati sebelum mati dapat dilakukan dengan empat cara. Ngakeh-ngakeh luwe atau disebut mautu abyadh, ngakeh-ngakehi sabar disebut mautu aswad, memerangi nafsu terhadap apa yang boleh atau tidak boleh atau disebut mautu ahmar dan qana'ah ridho atau disebut mautu akhdhar. Keempat jalan kematian itulah yang dilakoni kakangmu, Rembalun. Ia hampir dapat menyempurnakannya dengan merangkum keseluruhan cara tirakat mati. Jika mendapat izin wushul, jalan itu menjadi sarana untuk mencapai makrifat.”

“Injih, guru. Tetapi bagaimana cara tirakatku agar dapat menghindari gangguan bayangan burung Elang raksasa?”

“Engkau harus kembali ke dimensi bayangan. Buatlah sketsa kepala Elang untuk menyempurnakan senjata yang akan dibuat Rembalun. Dengan cara begitu, maka Elang raksasa tak mampu lagi menembus alam nyata,” jelas Ki Ageng Selamana seraya memberikan dari balik bajunya gumpalan benda seperti lilin pencetak.

Dengan cara yang sama Raden Kuning membasahi dirinya dengan air yang tergenang membentuk kubangan. Ia melakukan ritual yang sama menggulingkan tubuhnya satu kali. Selanjutnya ia meloncat di antara rerimbun dedaunan. Ya, kali ini Raden Kuning melepas surjan milik Rembalun yang baru dipinjamnya. Ia kini kembali masuk ke dalam dimensi bayangan.

Belum sependidih air, burung Elang raksasa telah terbang menghampirinya. Burung itu tidak menyerangnya. Ia bahkan kelihatan jinak sekali. Melihat fenomena itu, Raden Kuning takjub. Apa yang terjadi di alam bayangan ini berbeda seratus delapan puluh derajat dengan sebelumnya. Tak ingin kesempatan langka itu berlalu, Raden Kuning segera mengeluarkan benda yang menyerupai lilin cetakan. Lalu dengan sekali lompat Raden Kuning menempelkan benda titipan Ki Ageng Selamana ke wajah burung. Benda menyerupai lilin itu menyelubungi kepala hingga leher Elang. Burung itu tak terlihat meronta meskipun kehilangan penglihatannya. Raden Kuning segera menotok urat di pangkal leher Elang.

Pergerakan Elang itu benar-benar terhenti. Untuk sesaat ia seperti patung. Entah mengapa setelah mendapat petunjuk dari gurunya, Raden Kuning merasa Elang raksasa berubah menjadi jinak. Dengan cekatan ia melepas lilin yang menutupi kepala hingga leher burung. Lilin itu membentuk cetakan kepala Elang yang kemudian dibawa pulang Raden Kuning ke dimensi penghubung.

Di tempat itu telah menunggu gurunya, Ki Ageng Selamana. Bergegas Raden Kuning menyerahkan lilin pencetak. Setelah menyelesaikan tugasnya, Raden Kuning kembali bersemedi. Hanya sependidih air berada dalam dimensi penghubung, Ki Ageng Selamana menyentuh pundaknya dan mereka kembali ke dunia nyata.

“Bukalah matamu, Ngger. Kita telah kembali ke alam sebenarnya.” Ki Ageng Selamana memberi petunjuk. Raden Kuning membuka kelopak matanya perlahan.

“Sudah berapa lama aku dan guru berada dalam dimensi bayangan, Kakang Rembalun?”

“Hanya sependidih air, Dimas Raden!”

“Lho bagaimana bisa saat aku melakukan tirakat mati dan pergi mengarungi dimensi bayangan, waktu berputar sangat cepat sekali di dunia nyata. Tetapi dalam kunjunganku sekarang, waktu berjalan lambat dalam dimensi bayangan?”

“Itu berkat petunjuk, guru. Kedatanganmu untuk kali kedua adalah anti tesis dari perjalananmu pertama. Jika sebelumnya engkau disambut tak ramah oleh elang raksasa, kali ini ia justru akan berprilaku sebaliknya,” jelas Rembalun.

“Aih, belum pernah aku mendapatkan perjalanan spirituil seaneh dan sehebat ini. Bagaimana mungkin ada dimensi lain dalam dunia nyata yang berbentuk bayangan.”

“Semua terjadi atas kehendak  Gusti Allah. Jika pun engkau mampu menerjemahkannha, hal itu menjadi kehendak seutuhnya dari-Nya," ujar Rembalun.

“Lalu, untuk apakah lilin cetakan ini?” tanyanya lagi.

“Lilin pencetak ini sebagai penyempurna telur besi yang kau dapatkan sebelumnya. Rembalun, engkau segera olah cetakan kepala burung ini agar dapat digunakan sebagai gagang senjata yang hendak engkau buat.

“Injih, guru. Lengkap sudah bahan yang didapat Dimas Raden Kuning dari alam bayangan. Aku akan ngelakon puasa nabi Daud saat menempa bahan-bahan ini sebagai senjata.” Cekatan sekali tangan Rembalun menerima cetakan kepala burung raksasa. Ia segera menyimpannya di kotak yang sama dengan penyimpanan telur besi.

Aura wajah Raden Kuning sudah kembali seperti semula. Kulit wajahnya yang putih mulus tak lagi pucat seperti sebelumnya. Terlihat rona merah di sana menandakan aliran darahnya sudah berangsur normal.

“Lakonmu di alam bayangan telah mengantarkan jodohmu atas senjata baru, Ngger. Aku yakin di tangan kakangmu Rembalun telur besi itu akan menjadi senjata hebat yang akan berguna mendukung tugasmu sebagai prajurit di medan tempur.”

“Akal dan pikiranku belum mampu menerjemahkan hal yang baru terjadi terhadap diriku, guru. Sungguh tak bisa dijelaskan dengan akal sehat jika ada alam lain di luar sana yang berubah-ubah seperti tak memiliki pakem waktu. Akalku yang cetek ini perlu mendapat bimbingan terus menerus dari guru.” Raden Kuning merapatkan kedua tangannya di depan wajahnya. Ia memberi penghormatan kepada gurunya. Mendapat penghormatan dari murid kinasih, Ki Ageng Selamana justru memejamkan mata. Ia seperti tak mengindahkan Raden Kuning.

“Kalian berdua, pergilah ke padepokan. Jangan pergi dari sana. Tunggu aku nanti menyusul.” Ki Ageng Selamana memberi perintah dengan mata terpejam. Rembalun menyentuh tangan Raden Kuning dan sekejap saja mereka berdua telah berada di padepokan.

“Peristiwa besar apakah yang akan terjadi, Kakang. Mengapa kita diminta menunggu di sini?”

“Entahlah, Dimas. Hanya waktu yang bisa menjawab pertanyaanmu itu.”

Kedua kakak beradik seperguruan itu masih dalam keadaan duduk bersila di padepokan. Didahului oleh kilat menyambar lalu disusul suara geledek di tengah hari. Hujan mulai jatuh dengan lebatnya. Anehnya cuaca di siang hari itu tak berubah sedikit pun.

“Tadahlah air hujan dengan tanganmu, Dimas Raden!"

Raden Kuning segera menjulurkan tangannya. Air hujan segera membasahi lengannya. Belum sependidih air, Raden Kuning justru berteriak kesakitan.

"Aduh, luka di tanganku, Kakang. Air hujan ini sepertinya beracun!" Raden Kuning segera menarik tangannya. Luka di tangannya membengkak hingga berukuran dua kali lipat dari normal.

"Dimas Raden, ada apa di dalam tanganmu yang terluka itu?"

(Bersambung)

Vote dong....

Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang