Tenaga Semesta

1.7K 69 0
                                    

Kapal Jung besar milik keraton Djipang kembali berlayar mengarungi sungai Bengawan Solo. Hari sudah terik ketika kapal berlayar. Punggawa Tuan menjadi penunjuk arah, sedangkan Punggawa Kedum mengontrol arah layar. Perlahan tapi pasti, kapal berlayar menuju muara. Raden Kuning dan Bujang Jawa nampak berbincang di ruang atas geladak kapal. Mereka mengatur rencana menuju Palembang melalui pelabuhan Tuban.

“Kita akan sampai Tuban besok malam. Pasukan bayaran Pajang telah bersiaga di Brumbun. Untuk menghindari mereka, kita akan masuk ke anak sungai Bengawan Solo di kawasan Badad berbelok ke kiri menuju Tuban. Dengan begitu selain menghindari musuh juga akan mempersingkat waktu perjalanan.” Raden Kuning seperti meminta persetujuan dari Bujang Jawa atas rencananya.

“Ya, memang itulah satu-satunya rute pelayaran yang aman, Raden. Hanya saja anak sungai dari Badad menuju Tuban sangat kecil, jika tidak hati-hati, kapal bisa kandas di sana.” Bujang Jawa menimpali.

“Mau tidak mau kita menghindari jalur utama. Jika kapal kandas, kita akan berlayar sambil menunggu air laut pasang. Jika di wilayah Tuban, kita akan mudah mendapatkan bantuan. Aku tak berani ambil resiko melalui sungai utama karena pasti banyak pasukan bayaran yang menanti kita hingga muara. Aku dapat info dari Paman Balewot bahwa Pajang tidak saja membuat sayembara untuk kematian Paman Penangsang, tetapi juga sayembara berlaku juga untuk kepala Pamanku, Pangeran Arya Mataram.”

“Ya, Raden. Kita sudah berapa kali direpotkan oleh orang-orang pemburu rente itu. Beruntung kepandaianmu telah meningkat berapa kali lipat sehingga kita sampai saat ini mampu melewatinya. Aku khawatir akan lebih banyak lagi orang berkepandaian tinggi yang turun gunung ikut memburu pelarian Yang Mulia Pangeran Arya Mataram.”

“Akupun sependapat dengan dirimu, Bujang. Kita tidak boleh jumawa karena di atas langit pasti ada langit. Semoga perjalanan kita tidak lagi mendapat gangguan di depan sana.”

Hari berganti malam, ketika matahari pulang ke peraduan. Kapal Jung memasuki wilayah Babad. Punggawa Tuan memerintahkan juru mudi untuk belok ke kiri masuk ke anak sungai Bengawan Solo yang kecil. Beruntung hari telah malam, air laut pasang, debit air meninggi membuat pelayaran kapal besar di sungai yang kecil itu tak terkendala.

“Juru mudi segera percepat laju kapal, aku khawatir jika laut surut kapal kita kandas.” Punggawa Tuan memberi perintah agar semua anak buah kapal ikut membantu mempercepat laju kapal membelah air pasang.

Punggawa Kedum, Bujang Jawa dan Raden Kuning juga turun tangan mengerahkan kepandaiannya untuk mendorong kapal dari geladak. Kapal Jung yang semula berjalan lambat, seolah mendapat hembusan angin kencang sehingga berjalan lebih cepat.

“Jika saja aku sudah bisa menguasai jurus ketujuh dan kedelapan, pasti akan lebih cepat kapal ini melaju. Apa yang dimaksud dengan kata yang ada di ujar-ujar yang disampaikan oleh guru?” Raden Kuning bergumam sendiri. Ia berupaya mengingat setiap kata yang baru saja didengarnya itu. Tak ingin salah tafsir, Raden Kuning kemudian membuka catatannya.

𝘑𝘪𝘬𝘢 𝘴𝘢𝘵𝘶 𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘴𝘢𝘮𝘢 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘴𝘢𝘵𝘶, 𝘮𝘢𝘬𝘢 𝘴𝘢𝘵𝘶 𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘢𝘬𝘶 𝘥𝘢𝘯 𝘴𝘢𝘵𝘶 𝘭𝘢𝘪𝘯𝘯𝘺𝘢 𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘴𝘦𝘮𝘦𝘴𝘵𝘢.

𝘚𝘢𝘵𝘶 𝘢𝘬𝘶 𝘪𝘵𝘶 𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘴𝘦𝘱𝘦𝘳𝘴𝘦𝘬𝘪𝘢𝘯 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘴𝘢𝘵𝘶 𝘭𝘢𝘪𝘯𝘯𝘺𝘢. 𝘖𝘭𝘦𝘩 𝘬𝘢𝘳𝘦𝘯𝘢 𝘪𝘵𝘶 𝘢𝘬𝘶 𝘩𝘢𝘳𝘶𝘴 𝘮𝘦𝘭𝘦𝘵𝘢𝘬𝘬𝘢𝘯 𝘵𝘦𝘯𝘢𝘨𝘢𝘬𝘶 𝘴𝘦𝘣𝘢𝘨𝘢𝘪 𝘣𝘦𝘯𝘵𝘦𝘯𝘨 𝘥𝘪 𝘥𝘢𝘥𝘢.

𝘈𝘬𝘢𝘯 𝘵𝘪𝘣𝘢 𝘴𝘢𝘢𝘵𝘯𝘺𝘢 𝘯𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘴𝘢𝘵𝘶 𝘢𝘬𝘶 𝘪𝘵𝘶 𝘴𝘢𝘮𝘱𝘢𝘪 𝘬𝘦 𝘴𝘦𝘭𝘶𝘳𝘶𝘩 𝘱𝘦𝘮𝘣𝘶𝘭𝘶𝘩 𝘥𝘢𝘳𝘢𝘩 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘱𝘦𝘳𝘵𝘢𝘯𝘥𝘢 𝘵𝘪𝘶𝘱𝘢𝘯 𝘯𝘢𝘧𝘢𝘴.

Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang