Lima orang prajurit jaga yang ditugaskan di depan keraton dalem tetiba berjatuhan. Bayangan itu berhenti berkelebat setelah melihat para penjaga jatuh bergulingan. Dengan halus didorongnya pintu keraton dalem, lalu ia melangkah masuk ke dalam tempat tinggal penguasa Tuban itu. Lelaki itu berseragam prajurit Tuban. Otot kekarnya yang kokoh menambah gagah pria dengan baju tempur keraton Tuban itu. Ya, lelaki itu adalah Raden Kuning yang menyamar menjadi pasukan Senopati Glagah Watu.
Raden Kuning berjalan perlahan melalui pelataran menuju gedhong tempat Raden Haryo Balewot tinggal. Istana keputren ada di sisi sebelah kiri, sedangkan tempat yang ditujunya ada di sebelah kanan. Tak susah menemukan tempat yang ditujunya. Bangunan itu adalah bangunan termegah yang ada di keraton dalem. Raden Kuning menyelinap di balik tiang regol penghubung antara istana kedhaton dengan istana gedhong. Dilihatnya ada lima belas prajurit berjaga di dua sisi istana.
Raden Kuning memungut kerikil yang ada di tanaman bunga di dalam regol dan menyambitkannya ke arah prajurit jaga. Tak ayal, kerikil yang kecil itu berubah menjadi senjata melumpuhkan ketika berada di tangan prajurit pilih tanding itu. Sepuluh orang prajurit terpental dan lima lainnya juga mengalami nasib serupa sebelum mereka sempat menyadari jika ada musuh menyelinap. Lima belas orang prajurit pendukung Pangeran Sentapa itu rebah dalam keadaan tertotok kerikil yang mengenai tubuh mereka.
Pintu ukiran kayu jati istana gedhong itu menderit pelan, ketika Raden Kuning membukanya dari luar. Dengan cepat ia menyelinap ke dalam dan menemukan Raden Haryo Balewot beserta Raden Ayu di tempat peraduan. Ia bergegas menghampiri tempat pribadi Adipati Tuban itu dan membangunkan mereka.
“Assalamualaikum. Mohon maaf Kanjeng Gusti dan Kanjeng Gusti Ayu. Hamba Raden Kuning datang untuk memastikan Yang Mulia berdua dalam keadaan aman.”
“Aih, engkaukah itu, anakku. Lama sekali engkau berada di perantauan. Ayo, Ratu Ayu, kita bangunkan semua kerabat keraton. Kita harus bergegas, aku khawatir jika pria bersorban itu mengetahui kita melarikan diri, Raden Kuning nanti tak kuat menahan gempurannya.”
Dengan bergegas, Adipati Tuban itu melompat dari peraduannya dan segera keluar istananya. Keduanya membangunkan seluruh kerabat dekat keraton yang berada di keputren dan istana gedhong. Mata Raden Kuning menelisik para putri yang keluar dari keputren, tetapi ia tak berhasil menemukan apa yang ia cari.
“Mohon maaf atas kelancangan saya, Kanjeng Ratu Ayu. Hamba tidak melihat Putri Retno Wulan di antara para putri dari keputren itu. Di manakah gerangan beliau, Kanjeng Ratu?” Raden Kuning akhirnya tak mampu menahan penasarannya.
“Ya, memang Putri Wuwu tidak berada di keputren. Ia saat ini dijaga oleh puluhan prajurit Sentapa di tempat yang tak kami ketahui. Hal itu mengingat Sentapa ingin naik keprabon dengan menikahi tunanganmu itu, anakku. Yakin saja, Sentapa tidak akan melukainya mengingat ia membutuhkan Wuwu sebagai alatnya untuk naik tahta Tuban.”
“Njih Kanjeng Ratu. Saya hanya khawatir ia dalam keadaan bahaya. Tetapi jika memang seperti itu keadaannya, legalah hati hamba.” Raden Kuning tak lagi bertanya.
Adipaten Haryo Balewot kemudian memimpin pengungsian. Ia membawa mereka berjalan melalui regol yang menuju plataran belakang keraton. Sepintas, jalan yang akan mereka lalui terhenti di depan sebuah tembok tinggi yang di belakangnya terdapat jurang menganga. Tetapi Raden Balewot memukul sebuah pilar yang ditumbuhi tanaman menjalar. Tetiba dinding pembatas itu terbuka dan menampilkan sebuah jalan rahasia.
“Ayo, kalian semua ikuti aku. Kita akan menggunakan lorong rahasia ini agar dapat keluar dari keraton,” perintah Raden Balewot.
Mereka kemudian masuk ke dalam lorong rahasia yang berkelak-kelok dan curam. Dengan bergegas mereka menuruni lorong rahasia hingga akhirnya tiba di sisi Utara keraton. Lorong rahasia itu menghubungkan pesanggrahan tempat Raden Balewot berburu di hutan sebelah Utara. Pesanggrahan itu memang telah dirancang sebagai tempat untuk pelarian karena di sana telah siap abdi dalem keraton berikut kereta kudanya.
“Mohon izin Yang Mulia. Lebih baik jika Yang Mulia beserta rombongan mengungsi di kapal Jung kami yang sandar di sisi Timur pantai Tuban. Di sana telah menunggu Pangeran Sekar Tanjung. Ayo, ikuti aku.” Raden Kuning tak lagi meminta persetujuan Raden Balewot. Kudanya dipacu menuju tempat pengungsian. Raden Balewot yang berada di kereta kuda tanpa banyak bicara mengikuti arah yang dituju tunangan Putri Wuwu itu.
Sementara itu, di saat Raden Kuning telah berhasil melarikan Adipati Tuban beserta keluarganya, pesta pora di paseban masih berlangsung. Senopati Glagah Watu berhasil memainkan perannya dengan baik. Ia berpura-pura mabuk minuman keras dan tertawa girang sambil menggoda penari seronok yang kini berada di sisi kiri dan kanannya, menemani ia minum. Pesta minuman keras itu semakin seronok dengan kehadiran para wanita yang terus menari dan menyanyi.
Pesta itu perayaan menyambut pernikahan Pangeran Sentapa itu akhirnya meluas dan melibatkan hampir seluruh prajurit penjilat yang kini mengabdi pada tuan barunya. Meskipun seluruh prajurit berpesta pora, tetapi dua puluh lima orang penjaga Pangeran Sentapa yang bersorban itu tetap disiplin dengan tugasnya. Mereka nampak tidak tertarik dengan pesta tersebut. Berkali-kali orang-orang aneh itu menolak ketika dibawakan arak oleh penari.
Malam itu suasana temaram karena purnama telah menyingsing. Tepat tengah malam ratusan prajurit yang dipimpin Soka Lulung berkumpul dengan leluasa di alun-alun kotaraja. Tak lama kemudian datang bala bantuan dan prajurit keraton Palembang yang dipimpin langsung oleh Raden Kuning dan Pangeran Sekar Tanjung. Mereka menunggu aba-aba dari Senopati Glagah Watu yang ketika itu telah berada di dalam keraton.
Sebuah sinar terang nampak menerangi angkasa. Ya, itu adalah panah api yang dilepaskan ke udara. Semua prajurit yang berkumpul di alun-alun bergerak merangsek maju menuju keraton. Seketika suasana berubah hiruk pikuk oleh nyanyian perang yang dinyanyikan oleh mereka. Yang ada dalam benak para prajurit itu adalah menang atau mati. Mata mereka beringas seolah berikrar tak akan memberi ampun jika darah lawan belum menetes ke bumi.
“Serang!” Aba-aba yang langsung dikumandangkan Pangeran Sekar Tanjung itu semakin menambah semangat prajurit.
Para prajurit Sentapa yang tengah berpesta pora tak menyangka jika akan mendapat serangan dadakan. Mereka kocar kacir tak tentu arah. Dengan mudah mereka dapat ditundukkan oleh pasukan setia Adipati Raden Haryo Balewot. Pasukan Glagah Watu yang memukul dari dalam, juga semakin membuat lawan kalang kabut. Tetapi, suasana kemenangan yang telah di depan mata itu berubah seratus delapan puluh derajat ketika muncul dua puluh lima orang bersorban yang dipimpin langsung oleh orang yang disebut sebagai Mpu Bengawan Sanca.
Dengan kemarahan yang meluap ia memerintahkan murid-muridnya untuk membentuk barisan Sanca. Dua puluh lima orang bersorban itu melangkah maju dan menghadang kebringasan pasukan Soka Lulung. Gerakannya aneh, patah-patah. Tubuh mereka kaku seperti kayu. Yang mengejutkan bahwa senjata prajurit Soka Lulung yang mampir ke tubuh mereka seperti memukul dinding kayu yang alot. Mereka kebal senjata.
“Cepat kalian mundur. Glagah Watu, Soka Lulung cepat engkau atur prajurit yang memiliki kepandaian untuk membantu aku memecahkan pertahanan pria-pria aneh ini.” Pangeran Sekar Tanjung segera melompat ke depan dan berhadap-hadapan dengan pria bersorban.
Pertarungan di arena pertempuran itu berubah menjadi ajang adu kesaktian. Para prajurit Soka Lulung yang telah berhasil melucuti senjata musuh menonton pertarungan maut hidup dan mati antara pewaris tahta Tuban dengan dua puluh lima orang bersorban yang mendukung pemberontakan Sentapa. Awalnya pertarungan itu berlangsung sengit, tetapi ketika Raden Kuning ikut terjun ke arena pertarungan, perlahan tapi pasti pasukan bersorban itu mulai keteter. Dua orang pria bersorban terpental karena terkena tendangan Raden Kuning. Kemudian disusul oleh yang lainnya. Di saat itulah, Mpu Bengawan Sanca yang semula hanya menonton dari kejauhan melompat ke gelangang.
“Kinaram, kinaram. Kalian jangan menjual kepandaian di depanku. Berilah tuan besarmu ini penghormatan!” Suara itu terdengar menghipnotis mereka. Soka Lulung langsung merespon perintah itu dengan menundukkan badannya memberi hormat. Selanjutnya, hal yang sama dilakukan Glagah Watu. Pangeran Sekar Tanjung nampak bergetar tubuhnya. Kelihatan sekali jika ia tengah menguasai batinnya agar menolak pengaruh orang asing itu.
“Lawan pengaruhnya, Pangeran. Orang ini berupaya melumpuhkan kita dengan sihirnya!” Raden Kuning berteriak kencang. Akibat pengaruh suaranya, seketika mereka tersadar. Mpu Bengawan Sanca mendorong kedua tangannya ke depan dan seketika berhembus hawa dingin menusuk tulang.
“Kinaram gangga.” Mpu Bengawan Sanca melempar jurusnya.
"Aaradhya Cupat!” Raden Kuning berseru kaget.
(Bersambung)87
KAMU SEDANG MEMBACA
Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)
Ficción históricaDi ujung keruntuhan kerajaan Demak, Raden Arya Penangsang tewas. Adik kinasihnya Pangeran Arya Mataram dititahkan merawat keturunan dengan mencari suaka di bumi leluhur Palembang. Dalam pelariannya, ia ditemani abdi setia, Raden Kuning, Punggawa Tua...