Muara Sungai Ogan

894 54 2
                                    

“Engkaulah yang celaka orang tua yang berada di daratan. Lihatlah tempatmu berpijak telah berubah menjadi lumpur hisap!” Tetiba Raden Gatra berteriak dengan suara melengking. Suaranya kali ini mengandung nuansa magis. Remaja tanggung itu tetiba berubah bak penyihir kelas wahid. Lengking suaranya membuat semua yang ada di perahu lawan terperangah.

“Hahahaha….. celakalah engkau orang tua bersorban kobra. Lihatlah kobra itu hendak menggigit hidungmu yang mancung!” Raden Sabtu segera menambah serangan kepada lawannya yang berada nun jauh di daratan. 

“Segala macam ilmu sihir murahan milik kalian, mana bisa mempengaruhiku. Andai saja aku memiliki waktu untuk membuat kalian jera, tentulah aku dengan senang hati memukuli pantat kalian dengan rotan. Tetapi biarlah kita lanjutkan hal itu lain hari saja. Ayo, anak-anak kita pulang. Cukuplah kiranya kalian memberi pelajaran untuk mereka kali ini!” Suara orang di daratan kembali terdengar. Kali ini kekuatan suaranya lebih besar dari suara dua anak muda yang menjadi lawannya. Mendengar suara orang di daratan, sontak belasan pria bercadar yang dipanggil dengan sebutan anak-anak itu mendayung perahu menjauh dari perahu yang ditumpangi para Depati.

“Hei, kita belum selesai!” Suara Raden Gatra gusar seperti anak kecil yang kehilangan mainan.

“Biarke bae wong-wong aneh itu pegi Raden Gatra. Uji perasaanku, dak lamo lagi kito pasti betegah mereka lagi!” Belingis mencegah muridnya yang hendak mengejar musuh.

“Terimakasih, Yai Belingis. Kalu dak katek kamu, pastilah kami la saro digaweke wong-wong aneh itu,” Raden Sabtu menjura hormat.

“Jodoh kito memang betemu lagi di sini, Tuan Belingis. Kalu kamu dak keberatan, payu kito singgah dulu di Palembang. Aku dengar kamu berencano nak ke Muara Sungsang.” Basa-basi Depati Rengkaling memecah keheningan.

“Ai cacam. La pacak pulo kamu wong berpangkat ini bebasa-basi. Sampaikan bae salam kami untuk Tuan Gede Ing Suro. Saat adu tanding kagek, kami pasti datang. Siapkan bae makanan lemak.” Nyai Derimas terkekeh.

“Ai kecik igo permintaan itu, Nyai. Makanan keraton Palembang pasti dak keberatan kalu sekedar menjamu kamu guru murid yang kelaparan,” tukas Depati Santun.

“Payo, kalu mak itu, kami berangkat ndulu!” Kata perpisahan yang diucapkan Belingis mengakhiri basa-basi di atas perahu. Perahu kecil mereka melesat mengikuti arus sungai yang mengantar ke sungai Musi. Sependidih air, perahu yang ditumpangi orang-orang sakti nan aneh itu lenyap dari pandangan mata.

“Itulah mereka. Orang-orang aneh tetapi ternyata memiliki jiwa patriot. Aku yakin turun gunungnya guru dan murid itu karena jiwa patriotisme mereka yang memanggil. Seandainya saja mereka mau bergabung dengan kita menegakkan panji-panji syiar Islam bersama keraton Palembang, tentulah akan melengkapi kekuatan balatentara kita!” Depati Santun bergumam pelan.

“Tak mungkin kita mengharapkan hujan di langit, air tempayan dicurahkan. Orang-orang dunia persilatan itu tak akan mau terikat dengan segala macam aturan yang berlaku bagi prajurit.” Depati Huni menghela nafas panjang.

Perahu lesung bertiang tunggal itu menuju muara Ogan. Arus sungai Musi menyambut dengan suka cita. Gemericik air yang terbelah haluan memecah keheningan alam. Matahari mulai meninggi di ufuk Timur ketika para murid terpilih padepokan Tinggi Panular menepikan perahu sandar di tempat yang menjorok ke sungai. Meskipun tak layak untuk melepas sauh di sana, tetapi dermaga alam itu cukuplah untuk menahan laju perahu lesung. Para penumpangnya turun ke daratan.

Matahari tepat berada di atas kepala. Bayangan tubuh Raden Sabtu tak nampak akibat berhimpitan dengan posisi surya yang berada tegak lurus di atas tubuhnya. Bergegas putra kinasih turunan darah biru kerajaan Demak itu berwudhu di pinggir sungai. Selanjutnya mereka mencari dataran yang landai dengan berjalan kaki menerobos semak belukar.

Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang