Matahari bersinar cerah, cahayanya memantul dari bening air sungai di dermaga. Binatang rawa menyerupa serangga beterbangan mengelilingi pohon ingas yang menjulang tinggi di tepian sungai. Onak berduri yang tumbuh di sela pelapah enau menjadi tempat hinggap ngengat yang sedari tadi menimbulkan suara dengungan di telinga.
Kesibukan terlihat di pinggir dermaga. Puluhan kapal kecil yang turun dari kapal Jung di Muara ditambat menumpuk di dermaga. Prajurit lalu lalang menunggu antrian naik ke perahu. Punggawa Wijamanggala nampak mengawasi dari kejauhan. Sesekali ia memerintahkan hulubalang untuk mengikuti instruksinya.
Ya, pagi itu pasukan yang datang dari Banten mulai mengerjakan tugasnya. Mereka membuat pos-pos penjagaan di muara Sungai Musi dan sungai-sungai kecil yang mengelilingi Muara Sungsang. Pos pemeriksaan juga didirikan hingga ke pedalaman. Tujuannya adalah membatasi ruang gerak keluar masuk Palembang.
Setiap kapal besar yang hendak masuk dihentikan di pos jaga. Mereka dihalau untuk kembali. Seluruh kapal besar tidak diizinkan mendarat di dermaga Musi. Para nelayan yang berasal dari warga sekitar masih diperbolehkan mencari ikan dengan menggunakan perahu kayu kecil. Perlahan-lahan keraton Palembang terisolir dari dunia luar.
Jalur perdagangan yang didominasi transportasi air itu seketika lumpuh. Punggawa Wijamanggala dengan tangan dingin berhasil menutup jalur agar Palembang tidak mendapat bantuan dari luar. Para pemimpin suku-suku di seputaran Muara Sungsang juga tak bisa menggunakan jalur air. Jika menggunakan jalur darat, diperlukan tenaga dan waktu untuk membuka jalan yang diperkirakan membutuhkan waktu yang lama.
"Kalian pastikan semua jalur baik jalur anak sungai yang dapat menembus sungai Musi agar didirikan pos. Orang yang ingin menuju Palembang harus dibatasi. Hanya nelayan saja yang boleh keluar masuk dengan perahu kecil. Jika ada yang membangkang, gunakan kekerasan!" Wijamanggala tak henti-henti memberi peringatan.
Sementara itu dari atas pohon Bayur di sebelah Utara, terlihat Raden Sinjar mengawasi seluruh kegiatan tersebut. Pemuda berkulit halus itu memperhatikan dengan seksama dengan cara mengintai. Ia seperti mengingat-ingat di mana saja pos penjagaan akan didirikan. Pemuda yang lahir di perkampungan Li itu tidak saja hapal dengan seluk beluk aliran air di Muara Sungsang, tetapi ia juga kenal dengan seluruh suku yang mendiami sepanjang Sungai Sungsang.
Setelah mengawasi dengan seksama, pemuda itu berkelabat melompat ke batang pohon lain. Di sebelah Utara dermaga adalah kawasan hutan lebat yang rapat ditumbuhi pepohonan besar. Kawasan itu jarang disentuh oleh manusia karena masih terdapat banyak binatang buas. Namun hal itu tidak berlaku bagi Raden Sinjar. Sedari kecil hutan Utara adalah tempat ia bermain. Pemuda itu sesekali mengunjungi hutan Utara untuk berburu Menjangan.
Raden Sinjar terus berkelebat menuju pedalaman hutan. Sependidih air, ia telah jauh meninggalkan dermaga. Ternyata di pedalaman hutan Utara terdapat padang rumput yang luas. Raden Sinjar melompat dari batang pohon terakhir dan menjejakkan kakinya ke tanah. Dengan langkah biasa, ia berjalan membelah padang savana yang luas itu. Ia menghentikan langkahnya ketika berada di ujung padang rumput. Di tempat itu terdapat beberapa pohon enau yang berusia puluhan tahun. Raden Sinjar berhenti tepat di depan pohon enau.
"Bajalunjun!" serunya memecah keheningan. Raden Sinjar meneriakkan sandi rahasia pembuka jalan.
"Bacalikau!" terdengar jawaban dari semak-semak belakang pohon enau. Dua pemuda bertelanjang dada bersenjata tombak menghadang langkah Raden Sinjar. Setelah berhadapan dengan pemuda tampan itu, dua pemuda bertombak menundukkan badannya memberi penghormatan.
Raden Sinjar membalas penghormatan mereka dengan bersidekap tangan. Tanpa bicara keduanya kemudian mempersilakan Raden Sinjar untuk masuk ke dalam semak perdu di balik pohon enau besar. Dengan cekatan, Raden Sinjar melangkahkan kaki ke dalam hutan. Sekira lima tombak menyintas belukar, terhampar lembah nan indah di bawah sana. Posisi Raden Sinjar tepat di atas dataran tinggi menuju lembah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)
Ficção HistóricaDi ujung keruntuhan kerajaan Demak, Raden Arya Penangsang tewas. Adik kinasihnya Pangeran Arya Mataram dititahkan merawat keturunan dengan mencari suaka di bumi leluhur Palembang. Dalam pelariannya, ia ditemani abdi setia, Raden Kuning, Punggawa Tua...