“Pejamkan matamu!” Eyang Kyai kemudian mengambil keris Kyai Layon dan menyentuhkannya di kening senopati Tuban itu. Sontak tubuh Soka Lulung merespon kehadiran makhluk asral yang kemudian menguasai kesadarannya.
“Assalamualaikum, Sunan. Diusiamu yang telah sepuh ini, aku prihatin dengan keadaanmu yang masih disibukkan oleh urusan dunia.” Soka Lulung suaranya bergetar. Tanpa mampu ia cegah, tubuhnya telah dirasuki Kyai Layon.
“Sudah takdirku, Kyai Layon. Biarlah aku menjalani takdirku ini.” Eyang Kyai menjawab teguran itu dengan menggelengkan kepalanya.
“Tidak ada suatu bencana yang menimpa bumi ini melainkan telah tertulis dalam kitab Lauh al- Mahfuzh. Lalu apa gerangan yang membuat engkau ingin sekali merubah takdir, Raden Kuning?" Tetiba Kyai Layon menoleh ke arah Raden Kuning.
“Manusia diciptakan untuk berusaha, Kyai,” jawabnya singkat.
“Sesungguhnya yang pertama kali diciptakan oleh Allah SWT itu adalah al-Qalam. Jika diartikan al-Qalam adalah pena. Kemudian pena itu diperintahkan menulis berbagai ketetapan yang menggariskan segala sesuatu, hingga datangnya Hari Kiamat. Barang siapa yang hingga tiba ajalnya tidak mempunyai keyakinan seperti ini, maka ia bukan termasuk pengikut Nabi Muhammad. Bukankah itu yang hendak engkau sampaikan kepada Raden Kuning, Kyai Layon?” Eyang Kyai menyela pembicaraan mereka.
“Ya, memang seperti itu adanya. Berikan hak atas seluruh perintah Allah yang berkaitan denganmu agar engkau akan mendatangkan kebaikan kepada pihak lain yang nantinya akan dapat pula memberimu kebaikan. Jika engkau memerlukan sesuatu, maka janganlah engkau memintanya kepada seorang pun, selain kepada Allah. Janganlah engkau merendah diri karena berharap kepada seorang, akan tetapi rendahkan dirimu hanya kepada Allah. Sebab, hanya Dialah yang dapat mengabulkannya. Oleh karena itu, janganlah engkau menyelipkan perantara yang terselip di antara engkau dengan Allah dalam hati yang melatarbelakangi seluruh tindakanmu meskipun hanya sedikit. Sebaliknya, ajukan semua harapanmu hanya kepada-Nya karena semuanya selain Allah, adalah makhluk yang sama lemahnya dengan dirimu. Sedangkan pemegang kekuasaan langit maupun bumi hanya berada pada sisi Allah. Semua hal baik ataupun buruk tidak akan terjadi bagimu, kecuali telah ditetapkan oleh Allah bagimu karena ketetapan yang telah digariskan atau yang disebut takdir itu telah tertulis dan tersimpan di Lauh al-Mahfuzh. Telah kering tintanya, dan penanya telah diangkat, sehingga tidak dapat diubah oleh siapa pun.” Kyai Layon menyampaikan ujar-ujar kepada Raden Kuning.
“Jika semua sudah tertulis, apakah sebaiknya aku menyerah saja kepada ketetapan takdir yang telah digariskan bagiku, tanpa harus berusaha sekali pun sedikit?” Raden Kuning dilanda kebimbangan.
“Engkau salah menerjemahkannya, cucuku. Siapa pun yang telah ditetapkan sebagai seorang yang akan mendapatkan kebahagiaan, maka qolbunya akan menuntunnya agar beramal menurut amalan orang-orang yang ditetapkan akan mendapatkan kebahagiaan. Dan siapa saja yang ditetapkan sebagai seorang yang akan mendapat kesengsaraan, maka qolbunya akan senantiasa menganjurkan berbuat keburukan sebagaimana dilakukan oleh orang-orang yang akan mendapat kesengsaraan. Oleh karena itu, tanyakanlah kepada qolbumu, berada pada takdir baik atau burukkah engkau. Kuncinya ada pada qolbu kita.” Eyang Kyai menjawab kebimbangan Raden Kuning.
“Lalu, apakah jika seandainya qolbuku ini senantiasa menuntunku untuk selalu berbuat amal kebaikan sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah, apakah amal-amalku itu termasuk dalam pengertian usaha aku sendiri, ataukah juga termasuk sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah?” tanya Raden Kuning.
“Semua amal perbuatan yang telah dan akan engkau lakukan semuanya telah ditetapkan oleh Allah,” jelas Eyang Kyai.
“Oleh karena semua amalan kita sudah ditetapkan, maka jalannya adalah kita jalani amalan perbuatan itu dengan sungguh-sungguh,” tambah Kyai Layon.
“Siapa pun yang berada di jalan Allah serta mengorbankan segala apa yang dimilikinya untuk menggapai derajat ketakwaan, pastilah ia akan mendapat imbalan dari Allah. Qalbunya dipenuhi rasa takwa dan cinta kepada keimanan. Dirinya selalu bermohon bantuan Allah dan semua amalan perbuatannya hanya semata untuk mencari keridhaan-Nya. Ia akan selalu berpasrah kepada seluruh kehendak Allah. Dalam jalannya itu, ia akan diberi kemudahan sebagaimana lancarnya air yang mengalir ke tempat-tempat di mana ia bermuara. Ia selalu merasakan nikmat ketika mengamalkan syariat yang diwajibkan dan disunahkan kepadanya, sampai-sampai ada sebagian orang yang menganggap bahwa ia sudah hilang ingatan karena mereka mendapati orang semacam ini tidak mempunyai perasaan takut dengan kematian sedikit pun. Bahkan, ia tidak memperhatikan kenikmatan-kenikmatan hidupnya sedikit pun, kecuali atas keridhaan Allah.” Eyang Kyai kembali menambahkan.
“Iradat adalah kehendak Allah yang menjadi misteri bagi manusia. Janganlah melakukan hal yang melampaui batas kemampuan manusia. Jika pun ada manusia yang mampu melakukannya, hal itu tak lepas dari iradatnya.” Kyai Layon menutup penjelasannya.
“Terimakasih Eyang Kyai. Terimakasih Kyai Layon. Terbuka sudah mata hatiku, jika takdir baik ataupun buruk yang akan terjadi di Tuban di masa depan adalah iradat Allah yang tak satu pun manusia yang akan dapat mengubahnya. Aku sadar sekarang jika Paduka Agam memberikan pelajaran berharga untukku melalui pandangannya yang luas ke depan. Sekarang, mantaplah hatiku untuk melepaskan amanat Kyai Layon. Takdirnya mungkin ada di sini, tetapi yang jelas hari ini jodoh Kyai Layon denganku berada di persimpangan jalan. Biarlah kami menempuh jalan yang berbeda.” Aura wajah Raden Kuning bersinar cerah. Ia mendapatkan pemahaman yang mampu menjawab semua keresahan hatinya. Bahkan tentang semua hal yang terjadi dalam hidupnya, tentang perjalanannya yang berliku, tentang takdirnya di Palembang yang ternyata tetap mengantarkannya berhubungan dengan takdir lain di Pulau Jawa.
Raden Kuning mahfum kali ini bahwa cinta yang diminta istrinya, Putri Wuwu sebagai dasar mereka mengikat hubungan suami-istri, adalah bagian kecil dari perjalanan hidup yang jika tak diturutinya pun akan tetap terjadi karena hal itu telah ditulis menjadi salah satu perjalanan hidupnya.
“Baiklah jika engkau telah mengerti, aku mohon pamit.” Soka Lulung kemudian membuka matanya. Kali ini Kyai Layon pergi dengan damai. Tak ada perubahan dari sikap Soka Lulung. Ia seolah ikut mendengar seluruh petunjuk yang telah disampaikan oleh Kyai Layon.
“Kyai Layon meninggalkan wasiat aji medhar sukma kepadamu, Ngger. Biarkan aku menyempurnakannya.” Eyang Kyai kemudian menempelkan telapak tangan kanannya di pundak Raden Kuning. Saat itu juga ia merasakan ada hawa hangat yang mengalir dari telapak tangan itu mengalir ke dadanya. Ya, Eyang Kyai membuka mata batin Raden Kuning agar ia dapat mengendalikan aji medhar sukma.
Raden Kuning terkejut karena tetiba dirinya berpindah dimensi. Ia kini berada di tempat lain. Sebuah padang pasir tandus yang penuh dengan debu. Angin kencang bertiup seolah hendak menerbangkan tubuhnya.
“Aih, ada di manakah aku sekarang. Mengapa aku bisa sampai di tempat ini?” Raden Kuning berseru dalam hati.
“Engkau berada di dalam pikiranmu sendiri cucuku. Engkau sendirilah yang tahu saat ini engkau ada di mana. Melangkahlah sesuai dengan apa yang engkau pikirkan. Aku hanya mengantarkanmu ke tempat ini. Semoga engkau menemukan jalan sesuai dengan apa yang ada di kepalamu.” Suara itu mirip suara Eyang Kyai. Ia memberikan petunjuk kepada Raden Kuning.
Tetiba Raden Kuning menggerakkan tubuhnya. Ia memainkan jurus-jurus sangkan paraning dumadi. Tetiba hujan angin berhenti, berganti bunyi petir yang menyambar. Hujan turun tanpa memberitahu dengan rinainya. Alam seperti murka menampilkan wajahnya yang hitam pekat disertai kilat cahaya sambar menyambar memekakkan telinga. Raden Kuning kembali tersentak. Pikirannya mulai terganggu. Ia tetiba tak mampu mengingat jurus-jurus 𝘴𝘢𝘯𝘨𝘬𝘢𝘯 𝘱𝘢𝘳𝘢𝘯𝘪𝘯𝘨 𝘥𝘶𝘮𝘢𝘥𝘪.
“Aih, apa yang terjadi dengan isi kepalaku?”
(Bersambung)
Jangan lupa vote
KAMU SEDANG MEMBACA
Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)
Ficción históricaDi ujung keruntuhan kerajaan Demak, Raden Arya Penangsang tewas. Adik kinasihnya Pangeran Arya Mataram dititahkan merawat keturunan dengan mencari suaka di bumi leluhur Palembang. Dalam pelariannya, ia ditemani abdi setia, Raden Kuning, Punggawa Tua...