Tubuh Kedum bergulingan di tanah. Ia sepertinya tak mampu mengendalikan tubuhnya sendiri. Teriakannya membahana ke segala penjuru. Warga yang berkerumun di sekitar pohon Glatom Sakti yang tumbang memandang dengan iba. Lelaki yang baru membuktikan kesaktiannya dengan menebang pohon yang selama ini dianggap keramat itu, kini bergulingan seperti pesakitan. Beberapa warga yang mencoba menolongnya langsung dicegah oleh tetua Panji.
“Biarkan orang itu, jangan ada yang berusaha menolongnya!”
Mendengar suara berwibawa tetua dusun tersebut, warga yang tadinya berniat menolong Kedum akhirnya mundur satu persatu. Mereka hanya memandangi saja tubuh yang terus bergulingan liar di tanah berumput itu.
Sepenanak nasi, tubuh Kedum yang bergulingan mulai melemah. Suaranya pun tak lagi sekencang tadi. Perlahan tapi pasti gerakan tubuhnya melambat dan akhirnya berhenti. Namun keanehan lain terjadi. Dari sekujur tubuhnya tetiba muncul asap tebal mirip kabut. Asap yang keluar dari tubuhnya itu diiringi dengan hilangnya beruntul-beruntul merah di tubuh lelaki itu. Sependidih air, asap menghilang dan lelaki perkasa itu bangkit berdiri.
“Subhanallah, aura wajahmu bersinar, Kedum. Engkau memang bukan orang sembarangan,” tanpa disadarinya tetua Panji mengucap kekagumannya atas penampakan baru orang yang akan menjadi muridnya itu.
Lelaki yang tadinya dipenuhi kurap, kudis dan penyakit gatal saat ini bangun dari sakitnya sebagai orang yang berbeda. Kulitnya bersih, pandangan matanya teduh dan senyum yang mengembang dari bibirnya sangat menawan.
“Terimakasih, guru. Engkau telah menyelamatkan aku dari kenistaan. Penyakit gatalku telah hilang, juga racun dari Penjaga Dempo juga tak lagi menyesakkan dadaku. Tenaga dalamku sepertinya bertambah setelah guru memborehkan minyak Glatom Sakti ke seluruh tubuhku.” Kedum bersujud memberi hormat kepada gurunya.
“Jangan engkau meninggikan manusia setinggi Tuhan, muridku. Bangunlah cukup memberi hormat dengan kedua tanganmu saja!” tetua Panji melarang muridnya bersujud kepadanya.
Kedua guru dan murid itu lupa jika saat itu Kedum tak mengenakan selembar benang pun pakaian. Akibat larut dalam kebahagiaan, keduanya tak ingat jika di tanah lapang itu banyak mata yang menyaksikan kejadian tersebut. Beruntung salah seorang pemuda membawa kain dan segera memberikannya kepada lelaki yang telah berhasil menebang pohon keramat Glatom Sakti.
“Pakailah kain ini, tuan. Tutupi auratmu,” ujarnya. Dengan tersipu malu, Kedum yang masih duduk bersila di hadapan gurunya segera mengambil kain itu dan melilitkan di tubuhnya.
“Terimakasih, anak muda. Maafkan aku yang lupa diri tak sadar dengan keadaan diriku sendiri,” ujar Kedum sambil tersipu malu.
“Ajaklah muridku ini untuk membersihkan diri. Pinjamkanlah pakaian bersih untuknya. Dan berikan ia makanan yang enak. Bawalah ia ke rumahku setelah pakaiannya layak.” Tetua Panji segera membubarkan keramaian. Ia melangkah pelan menuju rumahnya yang tak jauh dari tempat itu.
Rumah tetua Panji adalah rumah yang paling tua usianya. Berdasarkan cerita tutur warga dusun tersebut, rumah tetua Panji adalah rumah pertama yang dbangun di dusun itu. Rumah itu bertiang kayu tinggi, terbuat dari kayu hutan pilihan. Dusun yang terletak di kaki Gunung Dempo itu memang telah berusia ratusan tahun. Konon dusun itu telah berdiri sejak zaman manusia belum mengenal agama.
Menjelang sore, Kedum yang telah berpakaian rapi diantarkan beberapa pemuda menuju rumah tetua mereka. Tetua Panji mengajak mereka ke masjid yang terletak di dekat rumahnya untuk menunggu waktu magrib tiba.
“Kalian pergilah terlebih dahulu ke surau. Aku akan menyusul setelahnya!”
“Baik tetua,” jawab salah seorang pemuda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)
Ficción históricaDi ujung keruntuhan kerajaan Demak, Raden Arya Penangsang tewas. Adik kinasihnya Pangeran Arya Mataram dititahkan merawat keturunan dengan mencari suaka di bumi leluhur Palembang. Dalam pelariannya, ia ditemani abdi setia, Raden Kuning, Punggawa Tua...