Terluka

1K 40 0
                                    

Dua bayangan berkelebat masuk ke dalam keraton. Mereka adalah Raden Haryo Balewot dan putranya Pangeran Sekar Tanjung. Raden Balewot membisikkan perintah agar mereka mencari Putri Wuwu dan menemukan Raden Ngangsar. Di saat semua perhatian tertuju kepada pertarungan Raden Kuning dan Mpu Sanca di luar keraton, keduanya memanfaatkan keadaan itu untuk mencari dan menyelamatkan Putri Wuwu dan Raden Ngangsar.

“Berdasarkan laporan telik sandi yang disusupkan Senopati Glagah Watu, Putri Wuwu ditahan di lingkungan perumahan abdi dalem, Yang Mulia,” jelas Pangeran Sekar Tanjung.

“Jika benar begitu, ayo kita bergegas menjemputnya.” Raden Balewot memberikan perintah.

Keduanya kembali menggunakan ilmu meringankan tubuh untuk masuk mencari keberadaan Putri Wuwu. Pangeran Sekar Tanjung mencari sepupunya itu dengan menuju ke sebuah regol yang biasanya digunakan untuk tempat berlatih prajurit Tuban. Tak nampak penjagaan di sana. Para prajurit pendukung Pangeran Sentapa tak nampak di sana karena telah dikalahkan. Senopati Glagah Watu dan Soka Lulung yang menjadi pimpinan prajurit khusus keraton Tuban dengan mudah melumpuhkan prajurit pengkhianat. Melihat prajuritnya dengan mudah dikalahkan, Pangeran Sentapa menghilang.

Pangeran Sekar Tanjung bergegas masuk ke dalam ruangan yang biasa digunakan oleh Adipati Tuban untuk melihat prajurit keraton berlatih. Ruangan itu cukup besar dan menurut perkiraannya disanalah sepupunya itu disekap. Sayup-sayup didengarnya ada suara orang bertanding yang berasal dari dalam ruangan. Suara pintu menderit ketika Pangeran Sekar Tanjung membukanya dari luar. Ruangan itu tidak terkunci. Ia terkejut ketika dilihatnya di dalam ruangan Pangeran Sentapa tengah kewalahan menghadapi serangan Putri Wuwu. Tak ingin melihat pertandingan itu berlangsung lama, Pangeran Sekar Tanjung segera melompat menyerang Pangeran Sentapa. Dengan mudah tendangannya mampir di dada lawan dan membuatnya terpental menabrak dinding.

“Tak kusangka engkau yang begitu penurut dan seperti tak berminat dengan seni beladiri ternyata diam-diam menaruh ambisi atas kekuasaan. Betapa sedihnya mendiang ayahmu jika ia tahu bahwa anaknya tak lebih adalah pecundang yang hanya mampu menjadi pengkhianat keraton Tuban.” Raden Balewot dengan sedih memandang keponakan jauhnya itu.

“Maafkan saya, Yang Mulia. Saya terpengaruh bujuk rayu Mpu Bengawan Sanca.” Suara Pangeran Sentapa terdengar parau.

“Jangan dengarkan omongan manisnya, Yang Mulia. Baru saja ia hendak memperkosa aku. Otaknya telah rusak dicuci oleh gurunya Bengawan Sanca itu.” Putri Wuwu memperingatkan pamannya.

“Baiklah, tahan dia. Jebloskan ia ke kerangkeng.” Raden Balewot memberi perintah tegas.

Mendengar ia akan diadili, Pangeran Sentapa tetiba melompat berdiri dan menghunus kerisnya. Alih-alih ia menyerang Pangeran Sekar Tanjung yang ada di hadapannya, Pangeran Sentapa malah menghujamkan keris itu ke tubuhnya sendiri. Ia jatuh terlentang bergelimang darah. Raden Balewot segera menghampirinya dan memeriksa keadaan Pangeran Sentapa.

“Sekali lagi maafkan saya, Yang Mulia. Hanya dengan cara ini saya bisa menjaga kewibawaan Yang Mulia dihadapan prajurit dan keluarga keraton.” Pangeran Sentapa kemudian menghembuskan nafasnya yang terakhir.

“Hei, dimana adikku Pangeran Ngrasah disekap?” Pertanyaan Pangeran Sekar Tanjung tak lagi sempat dijawab olehnya. Raden Balewot menutup kedua mata Pangeran Sentapa yang mendelik. Ketiganya kemudian bergegas menuju tempat dimana Raden Kuning dan Mpu Bengawan Sanca tengah mengadu nyawa.

Kedua orang sakti itu masih duduk bersila dengan kedua tangan saling menempel. Semburan asap beracun dari Mpu Sanca sepintas seperti mengenai wajah Raden Kuning. Tetapi aura tenaga semesta dan tenaga sembilang yang kini menyatu itu ternyata mengeluarkan cahaya kekuning-kuningan. Berkat cahaya itulah, asap beracun yang dilontarkan Mpu Sanca tak berhasil menyentuh kulit wajah Raden Kuning. Warna kuning itu seperti menjadi tameng bagi Raden Kuning untuk menahan serangan asap beracun.

Raden Kuning, Panglima Bayangan (Kisah Pelarian Arya Mataram di Palembang)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang