Senin pagi. Dengan langkah tertatih, aku berjalan memasuki area sekolah. Beberapa kali aku merasa siswa-siswi memperhatikanku, tapi aku tidak memperdulikannya. Biar saja mereka membicarakanku di belakang, toh nanti pahala kebaikan mereka akan masuk ke dalam daftar kebaikanku semua. Bukankah dengan begitu aku lebih cepat masuk ke dalam surga.
Percayalah, kemarin setelah di banting berkali-kali aku tidak menang sama sekali sampai akhirnya Kak Uci memutuskan untuk mengakhiri latihan kami karena toko buku sudah buka sejak satu jam lalu. Pada akhirnya, aku harus menelan keinginanku untuk membaca novel yang selama ini sangat ingin ku beli. Rasanya tangan ini sangat ingin membuka plastik yang melekat dengan sangat rapi di novel itu. Tapi apa daya mata para penjaga yang setia mengawasi para pengunjung, termasuk aku.
"Minggir." Ucap seseorang dengan nada dingin sambil mendorongku ke arah jendela koridor.
Rasanya bulu kudukku seketika berdiri akibat rasa sakit di sekujur tubuhku. Dengan kesal, aku berjalan tertatih menghampirinya.
"Kau ingin mati ha?!" Teriakku di hadapannya.
"Kau menghalangiku." Jawabnya dengan tatapan datarnya.
Dia. Anugerah Dior. Seorang wakil ketua Osis sekaligus orang yang di sukai sahabatku. Seorang laki-laki dingin yang bahkan tidak memiliki rasa prihatin terhadap siswa-siswi sekali pun. Berpegang teguh pada peraturan. Dan sayangnya dia berada di satu tempat latihan yang sama dengan Kak Uci.
Tanpa rasa takut sedikit pun, aku menarik kerah seragamnya. "Andai saja kau bukan seseorang yang-ssss!! Aku sudah membunuhmu dari dulu."
Tanpa menjawab, dengan kasar dia mendorong tubuhku sampai mengenai dinding koridor. Membuatku kembali merasa sakit di sekujur tubuhku.
"Bahkan hanya dengan sekali dorong saja kau sudah kesakitan seperti itu. Lalu bagaimana bisa kau berniat membunuhku?" Lalu dia mendekatkan wajahnya padaku. "Ku ingatkan sekali lagi kalau kau masih sabuk kuning, sedangkan aku sudah sabuk hitam." Bisiknya membuatku semakin kesal.
Belum sempat aku menjawab, dia sudah berjalan lebih dulu meninggalkanku. Tanpa berpikir terlebih dulu, aku langsung melempar sepatuku ke arahnya yang langsung mengenai tepat di kepalanya.
"Jangan karena kau sudah sabuk hitam, kau bisa sombong padaku. Dasar vampire albino." Aku langsung berlari menjauhinya.
Aku terus berlari menuju kelas Ayu. Lalu menggebrak meja dengan sangat keras, membuat penghuni kelas yang sedang melakukan aktivitas masing-masing menoleh padaku.
"Kau tahu?!" Murkaku pada Ayu.
"Kenapa lagi?" Tanya Ayu sambil mengelus kedua tanganku yang terlihat memerah.
"Dari sekian banyak laki-laki di muka bumi. Kenapa? Kenapa kau harus menyukai laki-laki dingin, keras kepala, sok hebat, sok pintar, menyebalkan seperti dia?! Kenapa?!"
Ayu tersenyum, lalu memberiku air mineral yang langsung ku minum saat itu juga. Detik berikutnya, aku merasa kepalaku terasa dingin.
"Bukankah sudah ku jelaskan dari dulu bahwa aku menyukainya bukan karena dia dingin, keras kepala, sok hebat, sok pintar bahkan menyebalkan? Perasaanku sama sepertimu yang menyukai sahabatnya. Aku hanya melihat dia. Hatinya. Entah dia buruk atau baik, aku tidak peduli, karena yang aku lihat hanya dia. Hatinya."
"Bullshit dengan kata-kata hati." Sindirku.
"Aku yakin kau sudah merasakan arti kata jatuh hati."
Aku memutar bola mataku bosan, lalu memutuskan untuk kembali ke kelas dengan keadaan tubuh yang semakin terasa sakit. Bahkan lebih sakit dari sebelumnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Blue Reading
Teen Fiction"Kau tahu mengapa aku menyukai bunga teratai?" "Kenapa?" "Karena dia selalu setia menunggu bulan tanpa merasa lelah sedikit pun." "Lalu bagaimana dengan matahari?" Aku menoleh padanya. Pada seseorang yang sangat amat aku cintai dalam diam ini. "Kau...