Bagian 12 - Mimpi

56 10 0
                                        

Kalau aku mengatakan bahwa aku sangat membencimu, apa kau tidak akan datang lagi?”

Aku membuka mataku. Perpustakaan. Perlahan aku mengangkat kepalaku, melihat sekeliling yang masih terlihat ramai oleh pengunjung untuk mengerjakan tugas atau hanya sekedar membaca. Aku menghela napas panjang tatkala kembali mendapatkan mimpi yang sama untuk kesekian kalinya. Padahal kejadian itu sudah berlalu enam tahun yang lalu.

Ya, sekarang aku sudah bukan seorang siswi SMA lagi. Sekarang aku sudah berubah menjadi wanita berusia 23 tahun yang memiliki pekerjaan. Bukan sebagai wanita kantoran, tapi lebih memilih untuk membuka usaha roti dan bunga di dekat rumah sakit.

Sebelumnya aku tidak pernah memikirkan akan membuka usaha sendiri, tapi entah kenapa pikiran itu muncul begitu saja yang membuatku akhirnya harus sedikit memaksa Ayah agar beliau mengijinkanku untuk membuka usaha sendiri—tentunya dengan menggunakan uang hasil tabunganku selama hampir lima belas tahun.

Aku merenggangkan ototku yang terasa sangat kaku, kemudian kembali menulis di buku harian milikku. Menceritakan apa yang baru saja terjadi dalam mimpiku. Ya, selain menjadi pemilik toko roti dan bunga, aku juga mulai mencelupkan diriku menjadi seorang penulis. Beberapa karyaku sudah beredar di toko buku yang beruntungnya banyak peminat yang ingin membeli dan membacanya.

Awalnya aku hanya main-main saja mengirim karyaku ke salah satu penerbit yang tidak ku sangka kalau mereka menyukainya dan pada akhirnya melakukan kontrak denganku dan pada akhirnya aku memiliki tiga pekerjaan yang ternyata masih bisa ku atasi dengan baik selama ini.

Kemudian tentang buku harian. Jujur, aku masih menulisnya sampai detik ini tanpa sepengetahuan Ayah. Aku berusaha menyembunyikan semua buku berwarna biru ini di sudut kamar agar Ayah tidak menemukan dan membakarnya kembali seperti dulu.

Aku menghela napas setelah selesai menulisnya, kemudian kembali membuka lembar-lembar sebelumnya yang ternyata sebagian besar aku menulis tentang dirinya yang bahkan aku saja tidak tau dimana dia sekarang.

“Alya..” Panggil seseorang yang ternyata adalah Rian. Laki-laki itu mengajakku untuk keluar perpustakaan dengan isyarat tangan. Aku mengangguk, kemudian memasukkan semua barang milikku dan mengikutinya keluar perpustakaan.

Dia adalah Rian, teman pertamku saat aku masuk ke Universitas. Aku masih ingat saat itu dia tersandung di pinggir lapangan sampai membuat dagunya berdarah. Aku yang melihatnya langsung menolongnya dan mengantarnya ke poliklinik Universitas. Beruntung lukanya tidak dalam, dan sejak saat itulah kami dekat sampai sekarang.

“Mau makan siang dulu sebelum kembali ke tokomu?” Tanyanya di tengah jalan sembari melihat ke sekitar.

“Tidak, hari ini aku ingin cepat-cepat melihat kondisi bungaku. Kau tau sendiri kan kalau beberapa hari ini aku tidak datang untuk melihat kondisi toko bunga?”

“Salah sendiri tidak menjadikan satu kedua toko itu. Dari awal aku kan sudah—“

“Sudah bilang kalau lebih baik menjadikan satu saja toko roti dan toko bunga itu atau setidaknya dekatkan mereka agar kau tidak kesulitan melihat pekerjaan karyawanmu.” Aku memotong perkataannya dan mengikuti apa yang selalu dia katakan.

“Oh, kau sudah hafal ternyata. Bagus.”

Aku meliriknya tajam. “Kau tau yang namanya strategi pemasaran? Aku melakukan ini agar aku untung banyak. Lagipula kau lihat sendiri kan kalau kedua toko itu sama-sama memiliki banyak pengunjung karena tidak berada di lokasi yang sama.”

“Ya ya ya terserah. Itu kan hanya pemikiranmu saja. Sudahlah, aku akan pergi makan siang sendiri kalau kau tidak mau.”

“K-kau tidak mengantarku kembali ke toko? Hei, aku sudah menyediakan waktuku untuk menemanimu meminjam buku.”

Blue ReadingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang