"......"
Samar aku mendengar suara seseorang berbicara. Tidak, bukan hanya satu orang, tapi beberapa orang.
"Kita apakan dia?"
Perlahan aku membuka kedua kelopak mataku. Hal pertama yang ku lihat adalah kegelapan. Hanya sebuah lampu berwarna kuning yang mampu membuatku melihat ke segala penjuru ruangan.
"Oh, kau sudah sadar?" Aku tidak dapat melihat orang itu karena dia berdiri di kegelapan, sedikit menjauh dari lampu.
"Siapa kau?" Tanyaku tanpa rasa takut sedikit pun.
Gadis itu tertawa. "Hm-sayang sekali kau belum mengenalku."
Aku menghela napas panjang, berusaha agar tetap tenang. Sesekali aku memperhatikan ruangan gelap ini dan melihat sebuah jendela berukuran sedang yang berada di dinding atas ruangan.
"Haruskah aku mengenalmu Nona?" Tanyaku dengan nada sedikit menghina.
Dia langsung memukul meja membuatku sedikit terkejut. Lalu gadis itu berjalan mendekatiku dengan sebuah tongkat baseball yang ia bawa di tangan kanannya. "Jangan membuatku marah jika kau tidak ingin benda ini menyentuh kulit wajahmu."
Aku menyeringai. "Kalau pun kau memukulku menggunakan tongkat itu dan merubah wajahku, selamanya An tetap akan menjadi kekasihku."
Ku lihat gadis itu meremas tongkat baseball yang ia bawa, seolah saat itu juga ia ingin membunuhku sampai aku mati. Dan itu semakin membuatku tersenyum.
Jujur saja, aku tidak takut dengan ancaman bodoh seperti ini. Kenapa? Karena saat aku kecil, beberapa kali Ayah selalu dengan sengaja meninggalkanku sendiri entah di manapun kami bersama. Lalu seseorang suruhan Ayah akan menangkapku dan membiarkanku berada di tempat gelap nan mencengkam selama beberapa hari. Selanjutnya, seperti seorang pahlawan Ayah akan datang menyelamatkanku dengan berpura-pura memukul suruhan Ayah sampai mereka tergeletak dengan teriakan palsu mereka.
"Kau menyukai An bukan?" Aku kembali menyeringai. "Tapi sayang sekali An justru memilihku, bukan memilih gadis cantik sepertimu. Oh, kasian sekali."
Bugh..
Selama beberapa saat aku merasa kepalaku pusing. Rasanya dunia seperti berputar dalam pandanganku.
"Akan ku buat An tidak menyukaimu lagi." Ucapnya sambil menarik rambutku kasar.
"Lakukan. Bahkan kalaupun aku mati di tempat ini, An tidak akan pernah datang." Aku berusaha terus menatap matanya, berusaha untuk tetap dalam keadaan sadar.
"Omong kosong dengan semua yang kau katakan." Dia menamparku beberapa kali sampai membuatnya terengah. "Aku akan melanjutkannya lagi setelah An datang. Hei, tolong urus dia. Aku keluar sebentar."
Aku menatap seseorang lagi yang sedari tadi hanya duduk diam di tempatnya. Bahkan aku baru sadar jika ada seseorang disana. Rasanya seperti sudah sangat ahli dengan menghilangkan hawa keberadaannya.
"Hai Al..." Seketika aku terkejut dengan sosok yang sedang berdiri di hadapanku saat ini.
"Dicky.." Gumamku masih tidak percaya.
Laki-laki itu tersenyum, lalu menarik salah satu kursi dan duduk menghadapku. Sejenak dia tersenyum sambil terus memainkan sebilah pisau lipat di tangan kirinya.
"Terkejut?" Tanyanya seperti tahu apa yang sedang ku pikirkan.
Untuk kedua kalinya aku menghela napas panjang. "Wah, aku tidak percaya kalau selama ini An berteman dengan seorang penghianat sepertimu."
Dicky tersenyum. "Kau tidak ingin bertanya sesuatu? Ku lihat sejak awal kau terlihat sangat santai seperti tidak sedang di culik."
Aku tertawa mendengarnya. "Setelah aku memikirkannya, sepertinya aku sudah tahu semua jawaban dari semua pertanyaanku sendiri. Jadi kau tidak perlu repot-repot untuk menjelaskannya."
"Memang apa yang kau tahu?"
"Aku haus. Boleh aku minta minum?" Tanyaku berbohong sambil memperhatikan ruangan itu. Berusaha untuk mencari jendela lain yang mungkin saja bisa membuatku keluar dari sini. Lalu kembali menatapnya.
"Ha ha ha." Dicky mendekat padaku, lalu menempelkan pisau itu di pipi kiriku. "Apa dengan begini kau merasa takut?" Tanyanya dengan tatapan tajam.
Aku menggeleng sambil memperlihatkan senyum padanya. Mata itu, mata yang selalu menatapku dengan kasih sayang. Bibir yang selau tersenyum indah membuat lesung pipinya terlihat sangat jelas. Alisnya yang sedikit terangkat selalu membuatku tertawa bahagia entah kenapa.
Dia adalah Dicky. Dicky Aditya. Seseorang yang selalu membuatku tersenyum dengan hanya sapaannya. Seseorang yang selalu membuat emosiku reda setiap kali An menghinaku. Seseorang yang selalu dengan setia meminta maaf atas nama An. Ya, dia seseorang yang selama ini ada di hatiku yang tidak akan pernah ku biarkan pergi begitu saja.
Tanpa ku sadari, dia menamparku dengan sangat keras, membuat sudut bibirku berdarah akibat ulahnya. Rasa sedih seketika menjalar dalam diriku. Dia bukan Dicky yang ku kenal. Malam ini dia sudah berubah menjadi Dicky yang lain. Dicky yang dingin yang tidak menganggapku sebagai seorang temannya. Dan hal itu sedikit membuat hatiku sakit.
"Berhenti menatapku seperti itu bodoh! Aku muak denganmu! Kenapa kau selalu saja menatapku dengan tatapan menjijikkan itu?! Apa kau tahu selama ini aku selalu menahan diriku untuk tidak memukulmu saat itu juga! Aku muak denganmu! Aku muak dengan semua yang ada dalam dirimu!" Teriaknya frustasi.
"Kalau begitu bunuh aku. Gadis itu juga menginginkanku mati bukan? Bunuh aku malam ini. Dengan begitu kau tidak akan pernah lagi melihat tatapan menjijikkan ini." Jawabku berusaha menahan air mata yang sudah melupuk di kedua mataku.
Dia langsung menarik kerah seragamku kasar. "Karena kau pacaran dengan An, sikap Dinda berubah padaku. Dia menjadi gadis yang dingin, tidak bersahabat dan terus mengatakan kalau dia ingin membunuhmu kau tahu?!"
Aku mengangguk. "Kau menyukainya bukan?" Tebakku setelah memperhatikan tatapannya yang sedikit berbeda saat menyangkut gadis yang baru ku tahu bernama Dinda.
"Ya! Dan karena kau semua berubah Al. Semua berubah!" Lalu dia menamparku untuk kedua kalinya.
Tak lama kemudian pintu di buka dari luar, sedikit terdengar suara decitan mencengkam yang membuatku sedikit penasaran. Dicky langsung melepaskan tarikannya pada kerah seragamku, lalu kembali duduk di kegelapan. Membuatku tidak dapat lagi melihat sosoknya.
"Apa yang barusan kau lakukan pada wajah indahnya?" Tanya seorang pria yang umurnya terlihat sedikit lebih tua dari mereka berdua.
Sejenak, aku kembali berpikir. Sepertinya aku pernah mendengar suara yang mirip dengannya. Hanya saja aku tidak terlalu mengingat di mana dan kapan suara itu pernah ku dengar.
"Apa kau lapar?" Tanyanya terlihat masih sopan padaku.
Ah benar, suara ini. Aku pernah mendengarnya di telepon. Hm, ternyata dia orang yang mengancamku waktu itu.
"Nona?" Tanyanya kembali.
Aku tersenyum. "Tidak, aku sudah makan siang tadi." Jawabku ikut menjawab dengan sopan. Berusaha mengikuti permainannya.
Ku lihat alisnya terangkat satu, membuatku kembali tersenyum.
"Tidak biasanya aku melihat seseorang justru ikut tersenyum saat sedang di sekap." Ucapnya, menoleh ke arah Dicky sejenak, lalu kembali menatapku.
"Terima kasih atas pujianmu Tuan. Aku sangat menghargainya."
Pria itu tertawa, sedikit membuatku menarik napas panjang karena jika sudah berurusan dengan orang dewasa, maka pemikiranku juga harus lebih dewasa dari biasanya. Aku hanya tidak ingin termakan omonganku sendiri karena bisa saja dia membalikkan pertanyaan atau pernyataanku dengan sangat mudah.
"Menarik sekali." Pria itu berjalan mendekat. "Di lihat dari reaksimu, sepertinya kau sudah terbiasa dengan hal seperti ini. Bahkan kau tidak terlihat berusaha melepaskan ikatan di kedua tangan juga kakimu di kursi ini."Aku menoleh ke arah kedua tanganku. "Ah, aku baru sadar jika dari tadi aku di ikat. Terima kasih sudah mengingatkanku. Jika di perbolehkan, aku akan berusaha melepaskannya nanti."
Pria itu kembali tertawa selama beberapa detik, lalu menarik rambutku kasar. Sama seperti yang di lakukan Dinda padaku. "Kau gadis yang sangat menarik, sampai membuatku kesal setiap kau menjawab pertanyaanku."riz_rap•^•
25072019
KAMU SEDANG MEMBACA
Blue Reading
أدب المراهقين"Kau tahu mengapa aku menyukai bunga teratai?" "Kenapa?" "Karena dia selalu setia menunggu bulan tanpa merasa lelah sedikit pun." "Lalu bagaimana dengan matahari?" Aku menoleh padanya. Pada seseorang yang sangat amat aku cintai dalam diam ini. "Kau...