Bagian 4 - Rencana?

82 12 2
                                    

Pagi kembali datang dan sialnya aku bangun kesiangan. Dengan tergesa, aku memakai sepatuku tanpa sarapan terlebih dulu. Lalu mulai berlari dengan buku pelajaran berada di kedua tanganku. Kalau tahu akan telat begini, aku tidak akan menonton acara komedi tengah malam itu lagi.

Tidak akan pernah.

Sesampainya di lapangan sekolah, aku melihat Pak Ari sudah berjalan di koridor kelasku. Dengan kaki bergetar, aku menambah kecepatan berlariku. Menaiki tangga kelas dan membuka pintu beberapa detik setelah Pak Ari masuk ke dalam kelas. Ku lihat dia tersenyum senang saat melihatku.

"Aha, silahkan berdiri di depan kelas selama jam pelajaran saya." Ucapnya dengan nada senang.

"Tapi Pak-" Aku masih berusaha mengatur napasku.

"No no no no. Berdiri sekarang atau ku suruh kau lari lapangan lima puluh putaran."

Aku menghela napas panjang, lalu kembali menutup pintu kelas. Berdiri di depan kelas sambil bersandar pada dinding koridor. Beberapa kali ku seka keringatku yang tidak bisa di katakan sedikit itu. Kalau di pikir-pikir sudah lama aku tidak berlari seperti ini. Terakhir kali sekitar tiga bulan lalu saat Kak Uci menyuruhku untuk pemanasan karena sudah lama tidak mengikuti latihan.

"Terlambat?" Aku menoleh dan langsung tersenyum saat melihat Dicky berdiri dua meter dari tempatku berdiri.

"Ya, seperti yang kau lihat." Jawabku masih menampakkan senyum. Bersyukur karena aku sudah bangun kesiangan hari ini.

"Kemarin ku lihat An pulang sendirian. Kau tidak pulang bersamanya?"

Aku menggeleng. "Aku akan melakukannya dengan orang yang ku sukai."

"Hei, kau sudah menjadi kekasihnya bukan? Bagaimana bisa-" Tanya Dicky tidak percaya.

Tanpa sadar aku menatapnya tajam. "Bukankah dari awal sudah ku katakan bahwa aku menyukai orang lain? Aku mengijinkan jika An memang benar-benar menyukaiku, tapi aku tidak akan mengijinkan jika dia memaksaku untuk menjadi kekasihnya."

Dicky mengangguk paham. "Itu artinya status kalian masih tidak jelas?"

Aku mengendikkan bahu. "Aku tidak mau memikirkannya terlalu dalam. Lagi pula tidak terlalu penting untukku. Sudahlah, cepat kembali ke kelas. Kau membuatku semakin kesal saja."

"Eheheh.. Baiklah, aku kembali. Nikmati hukumanmu."

"Terserah." Jawabku sedikit berdebar-debar karenanya.

Tidak terasa dua jam berlalu, ku lihat Pak Ari keluar dari kelas. Sedikit memberiku ceramah lalu menyuruhku untuk masuk ke kelas. Aku sedikit membungkuk, lalu segera menuruti perintah Pak Ari untuk masuk kelas.

"Tumben sekali kau telat." Ucap Fandi sambil meletakkan buku Fisika di atas meja.

Aku hanya menggelengkan kepalaku saja, sedang tidak berminat untuk menjawab pertanyaannya.

"Baiklah, aku akan diam." Ucap Fandi seperti tahu dengan keadaanku.

Pelajaran kembali di mulai, membuatku mau tak mau harus memperhatikan pelajaran yang menurutku sangat membosankan itu. Sesekali aku menoleh ke luar jendela, memperhatikan langit yang terlihat mendung, membuatku berharap bahwa hujan akan turun hari ini. Rasanya tubuhku sangat lelah, karena cuaca panas yang terus melanda kotaku. Ingin rasanya keluar, bermain air hujan dan berakhir dengan sakit.

Aku merasa seseorang menepuk lenganku pelan. Aku menoleh dan kembali melihat keluar jendela saat melihat An duduk di bangku milik Fandi. Tunggu, bagaimana bisa An berada di kelasku.

"Kau-"

"Waktunya istirahat, kau tidak ingin pergi ke kantin?" Tanyanya seperti tahu apa yang sedang ku pikirkan.

"Pergilah sendiri. Hey, aku tidak menyukaimu. Pergilah, urus dirimu sendiri dan aku akan mengurus diriku sendiri. Jangan ganggu aku." Perasaan kesalku kembali datang.

"Sedang kedatangan tamu ya?" Tanyanya santai.

"Meskipun tidak sedang pun aku tetap akan mengatakan hal itu padamu." Jawabku tanpa menoleh padanya.

Kemudian dia diam. Aku pun ikut diam.

"Kau tahu.." Ucapnya kembali bersuara.

"Tidak!" Jawabku ketus.

"Sebenarnya aku menyukai orang lain."

Aku langsung menoleh padanya. Terkejut sekaligus tidak percaya dengan apa yang dia katakan barusan.

"Lalu?" Tanyaku.

"Ada sesuatu yang membuatku harus melakukan ini."

"K-kau-"

An menatapku dalam. "Terserah kau menganggapku musuh atau tidak pernah menganggapku sebagai kekasihmu. Tapi selama hal ini masih terjadi, maaf saja jika aku mengatakan bahwa aku masih akan tetap menjadi kekasihmu, meskipun itu dalam artian paksaan."

Aku tertawa tidak percaya. "Hei, lalu apa maksudmu kau tidak me-" An membekap mulutku, lalu melihat ke sekeliling.

"Tetap lakukan apa yang ku perintah. Setelah semua berakhir, aku akan memberi tahumu semuanya. Kau mengerti?" Bisiknya terdengar menyeramkan.

Dan sialnya, karena ketakutan aku mengangguk begitu saja. Setelahnya, dia kembali tersenyum padaku, mengelus rambutku pelan, lalu pergi begitu saja dari kelasku.

Sebenarnya apa yang sedang dia rencanakan?







riz_rap•^•
23072019

Blue ReadingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang