•Dicky•
Hal terakhir yang aku lihat darinya adalah senyum indah yang selalu aku sukai sejak pertama kali bertemu dengannya. Aku tau dia sangat rapuh, tapi dia selalu bisa menyembunyikan semuanya dibalik senyum indahnya.
Aku bertanya-tanya dalam diriku sembari terus melihatnya. Apakah lambaian tangan itu adalah akhir dari segalanya? Apakah setelah dia menghilang, aku tidak bisa lagi bertemu dengannya? Apakah dia bahagia dengan semua yang dia relakan selama ini?
Selama beberapa lama aku hanya diam ditempat terakhir bertemu dengan Alya, bahkan aku masih bisa merasakan bagaimana kurusnya tubuh gadis itu saat aku memeluknya. Detik berikutnya ku rasakan seseorang menepuk pundakku.
“Ayo kembali.” Ucap Aga tersenyum padaku.
Sejenak aku kembali menoleh di tempat itu, berharap sosok Alya kembali dan berlari ke arahku sembari mengatakan bahwa semua adalah sebuah kebohongan.“Semua yang ditakdirkan untukmu tidak akan pernah terlewatkan, dan semua yang tidak ditakdirkan untukmu tidak akan pernah dilewatkan padamu.”
“Hm.” Jawabku, kemudian kembali ke kamar karena Dokter masih belum mengijinkanku untuk pulang. Benturan keras dari tongkat baseball di kepalaku menyebabkan cedera cukup parah meskipu tidak sampai gegar otak parah.
Masih ingat saat pertama kali aku bangun dari koma, hal pertama yang aku ingat adalah sosok Alya meskipun aku sempat tidak mengingat siapa dirinya. Setiap malam aku terus memikirkan tentangnya, dan saat bangun selalu berakhir dengan sisa air mata di pipiku.
Aku berusaha mengingat siapa sosok yang ada dalam mimpiku setiap malam, sampai akhirnya di hari ke tiga saat jadwalku jalan-jalan di taman rumah sakit aku melihatnya sedang berdiri dari jarak yang cukup jauh.
Tapi setiap kali aku ingin mendekat padanya, dia selalu menghilang dan tidak kembali lagi. Dia hanya berdiri disana setiap lima menit kemudian tidak akan menampakkan dirinya, yang membuatku akhirnya lebih memilih untuk tetap duduk diam karena masih belum bisa banyak bergerak.
Hari ke enam, akhirnya aku mulai sedikit mengingatnya. Aku sudah siap, tapi kenyataan yang ku dapatkan justru menghantam diriku. Disaat aku ingin memulai semuanya dari awal, gadis yang ku suka justru lebih memilih untuk merelakanku kembali.
Aku tersenyum saat mengingat hal itu kembali. Dalam diam aku melihat keluar jendela, hari ini langit begitu cerah, seolah ikut merestui perpisahan diantara kita berdua.
“Yo.” Panggil Aga sembari memberikan sebuah amplop berwarna biru padaku.
“Apa?” Tanyaku.
“Baca saja, kau akan tau siapa pemilik tulisan itu. Aku pulang, besok aku kembali lagi.” Ucap Aga yang pergi begitu saja dengan tas sekolah yang selalu ia bawa kemanapun dia pergi.
Untuk beberapa saat aku hanya bisa diam memperhatikan amplop biru yang warna dan desainnya sama persis dengan milikku. Aku menghela napas panjang setelah mengetahui siapa pemilik dari surat biru ini.
Alya.
Aku membukanya dan mulai membaca isi surat yang ia tuliskan untukku.
Untuk Pangeran Bulan yang Selalu Aku Rindukan.
Aku tidak tau harus memulai darimana, tapi aku hanya ingin mengatakan bahwa aku sangat merindukanmu meskipun setiap hari kita bertemu dalam mimpi. Aku tau ini sedikit berlebihan, tapi percayalah bahwa keajaiban selalu datang membimbing kita berdua yang tengah dirundung duka mendalam.
Aku tuidak tau apa yang akan terjadi ke depannya, tapi aku tetap percaya bahwa aku dilahirkan untuk menemanimu sampai akhir, begitu pula sebaliknya. Jika memang hari ini kita tidak bisa bersama, maka aku percaya bahwa suatu hari nanti Tuhan akan menyatukan kita.
KAMU SEDANG MEMBACA
Blue Reading
Teen Fiction"Kau tahu mengapa aku menyukai bunga teratai?" "Kenapa?" "Karena dia selalu setia menunggu bulan tanpa merasa lelah sedikit pun." "Lalu bagaimana dengan matahari?" Aku menoleh padanya. Pada seseorang yang sangat amat aku cintai dalam diam ini. "Kau...