Bagian 10 - Surat

49 9 0
                                        

"Ayahmu hanya takut jika mereka melakukan hal yang sama padamu lagi." Ucap Ayu duduk di sebelah An.

"Tapi dia temanku..."

"Aku tahu. Dia juga temanku, bahkan sudah ku anggap sahabat yang paling ku percaya." Ucap An ikut sedih.

Ya, setelah melarikan diri, aku memutuskan untuk menginap di rumah Ayu yang sayangnya ternyata An juga sedang berada disana. Rasanya sedikit menyesal aku meneriakinya tadi siang, untung saja ada Ayu jadi An tidak memukulku saat itu juga.

"Lalu apa yang akan kau lakukan sekarang? Waktu ujian semakin dekat dan kau tidak bisa terus berada disini selamanya kan." An menyesap tehnya.

"Semoga saja Ayah sadar, lalu mengijinkanku untuk menemuinya. Lagi pula ini hanya masalah sepele saja, aku hanya bertemu dengannya di balik sekat kaca. Dia bahkan tidak bisa menyentuhku, lalu kenapa Ayah sampai-ah sudahlah, aku lelah. Ayu aku pinjam kamarmu."

Aku langsung meninggalkan mereka berdua di ruang tamu dan berjalan menuju kamar Ayu. Ku rebahkan diriku di atas tempat tidur, kembali memikirkan apa saja yang telah terjadi padaku selama hampir seharian ini. Rasanya begitu melelahkan.

Dari kejauhan, dapat ku lihat kotak penyimpanan milikku yang sudah lama sekali tidak ku sentuh. Ya, dulu aku selalu menulis tentang apa pun yang aku rasakan pada Dicky, mulai dari pertama kali aku bertemu dengannya, menyukainya, sakit hati karenanya. Intinya setiap apa yang terjadi antara aku dengan dia, aku selalu menulisnya di buku harian berwarna biru itu agar kelak saat aku menikah, aku bisa kembali mengingat masa-masa itu.

Aku mulai membaca buku harian milikku yang lebih dari tiga itu secara perlahan. Meresapi setiap kata yang ku tulis di dalam kertas yang mulai terlihat kusam itu. Tersenyum senang saat aku berhasil mengingat apa yang dulu pernah kita lakukan bersama.

"Haruskah aku mengirim surat padanya?" Gumamku setelah membaca buku harian pertamaku. "Mungkin aku akan memulainya sekarang."

Aku turun dari tempat tidur, lalu mencari pena milik Ayu yang ku tahu selalu di simpan di dalam meja belajarnya. Mengambil secarik kertas dengan warna kebetulan berwarna biru juga. Sejenak aku terdiam, sepertinya dulu aku selalu meletakkan begitu saja kertas-kertas berwarna biru ini di kamar Ayu sampai aku lupa.

"Ya sudah, lagipula aku memang suka warna biru." Kemudian, aku mulai menulis sesuatu di atas sana sambil berharap bahwa surat ini akan sampai pada Dicky.

"Aaaan!!" Teriakku antusias, membuat An yang sedang bermain game menoleh.

"Apa?"

"Kau tahu kantor pos dekat sini?" Tanyaku.

"Dekat minimarket depan gang sebelah kiri." Jelasnya dengan nada dingin.

"Baiklah. Ayu aku pergi sebentar. Ingat, kalian berdua jangan melakukan hal macam-macam atau ku tendang kepala An sampai pluto."

"Kau gila?" Ucap An menatapku tajam.

"Kau yang lebih gila dengan pemikiran anehmu itu. Aku pergi." Ucapku, lalu pergi meninggalkan mereka.

Sesampainya di kantor pos, aku langsung memberikan surat itu pada penjaga, lalu pergi setelah menandatangani kepemilikan surat. Saat aku kembali, aku melihat mobil yang mirip dengan mobil Ayah terparkir dengan sangat rapi di depan rumah Ayu. Seketika aku langsung bersembunyi, tidak berharap Ayah berhasil menemukanku.

"Dek?" Aku langsung menoleh ke belakang dan mendapati Kak Uci sedang berdiri di belakangku dengan sebuah tas belanja di tangan kanannya.

"Aku mohon jangan bawa aku pada Ayah. Sekali saja kabulkan permintaanku." Bisikku langsung pada Kak Uci.

Bukannya mengabulkan, Kak Uci justru langsung menarik tanganku menuju rumah Ayu. Disana, aku melihat Ayah dan Ibu yang sedang duduk di sofa bersama Ayu dan An yang terlihat sedikit tegang.

"Ibu.." Panggilku pada Ibu.

Belum sempat Ibu menghampiriku, Ayah langsung berdiri dan menarikku paksa masuk ke dalam mobil. Aku berusaha memberontak, tapi apalah daya tenagaku yang tidka kuat. Selama pejalanan, Ayah hanya diam saja membuatku semakin takut padanya.

Sesampainya di rumah, Ayah kembali menarik tanganku kasar, lalu memasukkanku ke dalam kamar, menguncinya dari luar.

"Ayah, buka! Ayah!!" Teriakku sambil berusaha membuka pintu kamar.

"Selama masa penyembuhanmu, Ayah tidak akan mengijinkanmu pergi kemana-mana." Ucapnya dari luar.

"Tidak! Ayah buka pintunya!! Ayah!!"

Sia-sia. Semua sia-sia. Aku kembali menangis. Entah apa yang aku tangisi saat ini. Tidak biasanya Ayah seperti ini. Aku hanya merasa ini hanyalah masalah sepele saja, tapi kenapa dia melakukan hal ini padaku.

"Aku akan bunuh diri jika Ayah tidak membuka pintu kamarku sekarang!!" Teriakku sambil menangis, tapi tidak ada yang menjawab.

***^***

Sudah hampir seminggu ini aku berada di dalam kamar. Tidak melakukan apa-apa selain belajar untuk ujian masuk Universitas, juga menulis surat untuk Dicky yang selalu aku titipkan pada Kak Uci agar dia mengirimkannya ke kantor polisi. Beberapa kali Ayu mengubungiku, menanyakan tentang keadaanku selama Ayah menahanku di kamar tidur. Tentu saja hasilnya tidak baik, aku merasa semakin stres, kadang aku bahkan tidak tidur seharian karena terlalu memikirkan sesuatu yang bahkan aku tidak tahu apa itu.

Lalu pagi ini aku di kejutkan dengan suara pintu kamar yang di buka, menampakkan sosok pria paru baya yang selama ini selalu menjadi hero-ku. Ya Ayah masuk ke dalam kamar, membuatku kembali mengerjakan soal-soal di buku matematika. Dia tidak mengatakan apa-apa, kecuali hanya duduk diam di pinggir ranjang sambil memperhatikanku mengerjakan soal.

"Jika tidak ada yang ingin Ayah bicarakan, sebaiknya Ayah keluar dari kamar." Ucapku tanpa melihat ke arahnya.

"Kau mengirim surat pada anak itu?" Tanya Ayah dengan nada dingin.

Mendengar hal itu sedikit membuatku terkejut, tapi aku berusaha untuk tidak melakukan hal-hal yang membuat Ayah semakin curiga.

"Surat apa? Ayah tahu kan kalau selama ini aku selalu berada di kamar." Aku berpura-pura tetap mengerjakan matematika agar Ayah tidak tahu jika aku sedang gugup.

"Kak Uci bisa menolongmu bukan?"

"Kalau begitu tanya saja pada Kak Uci, apa aku pernah meminta tolong padanya jika aku mengirim surat untuk Dicky."

Ku dengar Ayah menghela napas panjang, lalu menepuk pundak kananku. "Ayah mengira Ayah sudah menjadi Ayah yang kau percaya. Ternyata Ayah salah." Ucapnya, lalu pergi.

"Karena sikap Ayahlah yang terkadang membuatku masih tidak ingin menceritakan apa-apa pada Ayah." Jawabku sebelum akhirnya Ayah menutup pintu kamar.





riz_rap•^•
28072019

Blue ReadingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang