•Alya•
Setelah kejadian tiga puluh menit lalu, akhirnya dengan mata sembab aku mulai makan malam sendirian di meja makan. Sesekali aku melirik ke arah ruang tamu, disana keluarga Dicky nampak sedang serius membicarakan sesuatu dengan Ayah dan Ibu. Tanpa sadar aku kembali menangis saat mengingat kejadian tadi yang benar-benar membuatku malu.
Kalau tau keluarga Dicky yang datang, aku tidak akan membuang waktuku hanya untuk memikirkan bagaimana caranya melarikan diri. Lagipula kenapa Ibu tidak mengatakannya dari awal, kalau sudah seperti ini orang tua Dicky pasti akan memikirkan tentang kejelekanku.
“Apa yang sedang kau pikirkan?” Tanya Aga yang tiba-tiba duduk di hadapanku.
“Kau berusaha mencuri barang di rumahku? Datang dari sisi mana dirimu?” Tanyaku ketus sembari mengunyah nasi.
“Ck, kenapa kalian berdua selalu saja berpikiran buruk tentangku? Apakah wajah tampanku memang terlihat seperti penjahat?”
“Sedikit.” Jawabku bercanda.
Aga menutar bola matanya jengah, kemudian mengambil ayam goreng di meja tanpa meminta ijin terlebih dulu. “Kau tidak bertanya-tanya mengapa Dicky bisa sampai di rumahmu, sedangkan kau tau sendiri kalau Ayahmu tidak menyukai Dicky.”
“Dicky? Jaga bicaramu, kenapa memanggil Kakakmu dengan namanya saja?”
“Ah, aku lupa kalau kau belum tau. Dia hanya Kakak angkatku, orang tua yang duduk disana juga hanya orang tua angkat. Selebihnya kita tidak memiliki kesamaan.” Jawab Aga santai membuatku terkejut sekaligus sedikit merasa tidak enak.
“Lalu ada urusan apa kalian datang ke rumahku?”
“Tentu saja Dicky ingin melamarmu.”
“Uhuk! Secepat itu?” Seluruh mata di ruang tamu menoleh padaku, kemudian kembali sibuk membicarakan suatu hal lagi.
"Cepat? Hei, apa kau lupa berapa umurmu sekarang? Sahabatmu saja sudah punya anak, sedangkan kau?"
"Kenapa memangnya? Di zaman sekarang masih banyak kok wanita seumuranku yang belum menikah."
"Kau salah satunya."
"Tapi setidaknya malam ini sudah ada calon yang datang kesini untuk memintaku jadi istrinya."
Aga memutar bola matanya kesal. "Untung saja Dicky memilihmu, kalau tidak sudah ku taburi garam dirimu untuk makan malamku."
"Sebenarnya kau sekolah dimana sih? Apa gurumu tidak pernah mengajarimu bagaimana mengucapkan kalimat yang baik ke orang yang lebih tua?"
Belum sempat Aga menjawab, aku mendengar Ibu memanggilku dari ruang tamu, menyuruhku untuk ikut duduk bersama mereka disana.
Aku mengikuti keinginan Ibu dan duduk di antara Ayah dan Ibu. Beberapa kali aku melirik ke arah Dicky yang tidak menampilkan ekspresi apapun, hanya datar dan entahlah aku tidak begitu memahami ekspresi wajah manusia.
“Alya ini cantik sekali ya, sama seperti yang selalu diceritakan Dicky.” Ucap Ibu angkat Dicky dengan lemah lembut membuatku seketika terpana melihatnya meskipun beliau terlihat seumuran dengan Nenekku.
“Terima kasih banyak, Anda juga sama cantiknya dengan saya.” Jawabku yang seketika membuat beliau tertawa.
“Jadi mengenai lamaran, untuk sekarang saya masih belum bisa menerimanya. Bukan menolak, tapi saya ingin melihat bagaimana hubungan Dicky dan Alya terlebih dulu. Jika memang sudah cocok, maka saya akan langsung menikahkan mereka berdua.” Jelas Ayah membuat kedua orang tua Dicky mengangguk paham.
KAMU SEDANG MEMBACA
Blue Reading
Teen Fiction"Kau tahu mengapa aku menyukai bunga teratai?" "Kenapa?" "Karena dia selalu setia menunggu bulan tanpa merasa lelah sedikit pun." "Lalu bagaimana dengan matahari?" Aku menoleh padanya. Pada seseorang yang sangat amat aku cintai dalam diam ini. "Kau...