•Alya•
Aku tidak tau sekarang tanggal berapa dan hari apa, yang aku tau adalah aku hanya berdiam diri di dalam kamar sembari menunggu sesuatu datang dari Dicky. Beberapa waktu lalu Kak Uci melahirkan bayi laki-laki yang lucu dan sehat membuatku sedikit merasa senang meskipun masih ada kesedihan di dalam diriku.
Sejak kejadian di rumah sakit, aku lebih banyak diam dan menghabiskan waktu di dalam kamar. Urusan toko roti dan toko bunga pun masih ku berikan pada Ayu karena aku merasa masih belum mampu untu kembali bertemu dengan dunia luar.
Beberapa kali Ibu selalu datang ke kamar untuk melihat kondisiku, sesekali memberiku makanan ringan kesukaanku dan mengatakan kalau semua akan baik-baik saja. Ayah sendiri lebih banyak diam sama seperti sebelumnya, saat bertemu denganku pun aku lebih memilih untuk menghindar karena setiap kali aku melihat Ayah, kejadian saat beliau memukul Dicky kembali masuk ke dalam ingatanku.
Aku terlalu takut dengan sosok Ayah yang sekarang. Kemarin malam aku mendengar pecakapan antara Ayah dan Kak Uci di ruang kerja Ayah, mereka sedang membahas tentang perjodohan antara diriku dan anak teman Ayah. Aku tidak tau apakah aku salah dengar atau memang hal itu akan benar-benar terjadi padaku.
Kali ini aku tidak bisa berbuat banyak karena aku sudah berjanji dengan Ayah, yang bisa aku lakukan hanya menulis di buku harian sekaligus beberapa surat yang ingin sekali aku kirimkan untuk Dicky.
Membahas tentang Dicky, aku sama sekali tidak mendengar kabarnya. Bahkan Kak Uci pun tidak tau dimana dia tinggal setelah keluar dari rumah sakit. Suatu hari Ibu pernah datang ke kamarku dan mengatakan kalau Dicky baik-baik saja dan badannya sudah lebih baik dari sebelumnya. Aku tidak tau darimana Ibu mengetahuinya, tapi mendengar ucapan Ibu membuatku sedikit merasa lega karena dia baik-baik saja.
“Alya.” Aku menoleh dan melihat sosok Ayu berdiri di ambang pintu dengan bunga di tangan kanannya.
“Kau mencuri bunga di tokoku lagi?” Tanyaku berusaha menampilkan senyum terbaikku padanya.
“Jaga bicaramu, meskipun sekarang aku yang menjalankan usahamu, tapi aku tetap membeli apa yang ku inginkan. Lagipula meskipun aku tidak di gaji sekalipun, aku masih bisa mendapatkan uang dari An.”
“Ish, tenang saja aku tetap akan menggajimu sesuai dengan kinerjamu selama ini. Terima kasih sudah menjaga dua tokoku.”
“Tidak masalah, aku juga senang bisa membantu sahabatku.”
Aku tersenyum membalas ucapannya.
“Bagaimana kabarmu?” Tanya Ayu tiba-tiba membuatku berhenti tersenyum.
“Tentu saja baik. Apa kau tidak bisa melihatnya?”
Ayu memelukku sembari mengelus kepalaku lembut. “Maaf aku tidak bisa banyak membantu, kalau kau butuh apa-apa aku siap untuk membantumu.”
“Kalau begitu, bisakah kau mengirimkan surat-surat ini pada Dicky? Aku tidak tau dimana dia sekarang, tapi bisa tolong kirimkan ini saat kau sudah menemukan keberadaannya?” Pintaku membuat Ayu sedikit terkejut melihat banyak sekali surat yang aku berikan padanya.
“Tenang saja, aku akan berusaha untuk mencari keberadaannya, tapi aku tidak bisa janji benar-benar bisa menemukannya. Aku akan berusaha.”
Aku mengangguk. “Terima kasih banyak.”
“Kalau begitu aku kembali ke tokomu dulu. Semoga hari ini lancar. Aku akan kembali ke sini dua hari lagi.”
“Sampai nanti.”
“Oiii.”
Setelah bayangnya menghilang, aku kembali duduk di dekat jendela pintu. Beberapa saat aku seperti mendengar suara Ibu berteriak di bawah, tapi aku lebih memilih untuk tetap diam karena meskipun aku datang membantunya, Ayah tidak akan mendengarkan perkataanku.
Ku lihat langit tiba-tiba mulai mendung menandakan sebentar lagi akan turun hujan. Melihat angin yang terlihat berhembus mengenai pohon membuatku sedikit membuka jendela untuk merasakan hawa dinginnya yang langsung masuk ke dalam tulang.
“Dicky, sebentar lagi hujan. Semoga kau baik-baik saja, jangan lupa membawa payung atau jas hujan ya.” Gumamku pada angin yang mulai berhembus kencang.
*****
Malamnya hujan benar-benar turun, seketika hawa dingin mengelilingi seisi kamar saat aku sedang menulis sesuatu di dalam buku harianku. Sudah hampir setengah buku habis ku pakai untuk menulis berbagai macam hal yang tidak bisa kuungkapkan secara langsung pada orang lain.
Tok..Tok..
Aku mendengar seseorang mengetuk pintu, dengan cepat aku meletakkan buku harian itu ke dalam laci mini dan menggantinya dengan majalah yang selalu aku siapkan jika sewaktu-waktu kejadian seperti ini datang.
Tak lama kemudian sosok Ayah muncul dari balik pintu kamar membuatku sedikit berdebar dengan cepat karena takut jika Ayah akan membahas pernikahan yang pastinya akan terjadi dalam waktu dekat ini.
Sejenak Ayah hanya duduk diam di pinggir kasur membuatku semakin takut dengan apa yang Ayah pikirkan saat ini. Suasana canggung menyelimuti kami berdua, tapi Ayah tetap diam sembari terus memperhatikan diriku yang pura-pura sibuk membaca majalah.
“Tentang perjodohan dengan anak teman Ayah.” Ucapnya setelah sekian lama diam.
Aku menoleh ke Ayah, berusaha untuk tetap tenang mendengarkan penjelasan berikutnya.
“Ayah akan memberikan jawaban besok malam. Kau harus menerima setiap keputusan yang Ayah katakan padamu, apapun keputusan Ayah besok malam.”
Jantungku semakin berpacu dengan sangat cepat setelah Ayah mengatakan hal itu.
“Itu saja yang ingin Ayah katakan padamu. Lebih baik cepat tidur karena sudah malam.”
“Ayah.” Panggilku membuat Ayah menoleh.
"Andaikan dulu Dicky tidak melakukan hal itu, apakah sekarang Ayah bisa mempercayai Dicky?”
Sejenak Ayah diam, sampai akhirnya aku mendengar beliau menghela napas panjang. “Tidak akan ada yang berubah, kata andai hanya akan membuatmu terpuruk pada masa kini dan tidak bisa melihat masa depan.”
"Tapi aku sudah dewasa Ayah, aku sudah tau mana yang baik dan tidak untukku." Mataku mulai berkaca-kaca saat mengatakannya.
"Kau tetap menjadi putri kecil untuk Ayah."
"Sejak hari itu, tidak sekalipun Ayah bertanya padaku...apakah aku senang menjalani semua yang Ayah inginkan, apakah aku bahagia dengan setiap keputusan yang Ayah berikan? Tidak sekalipun aku mendapat pertanyaan itu dari Ayah."
Kulihat wajah Ayah menegang, berusaha menahan sesuatu yang siap untuk keluar. Detik berikutnya, Ayah mendengus kesal tapi tetap menatap lurus ke dalam mataku.
"Kalau dulu Ayah membiarkanmu dengan semua impianmu, kau tidak akan pernah se sukses sekarang. Ayah yakin kalau kau akan lebih menyesal dengan semua keputusanmu waktu itu. Ayah hanya ingin putri Ayah menjalani kehidupan yang baik."
Aku menunduk. "Maaf tidak pernah bisa menjadi anak yang membanggakan untuk Ayah."
Ayah menghela napas panjang kemudian melangkah pergi, sedangkan aku hanya bisa menatap punggung dingin Ayah yang seketika hilang dibalik pintu kamar. Seketika air mata kembali jatuh ke pipi, tanpa mengatakan apa-apa aku kembali membuka buku harianku dan menulis segala hal yang ku rasakan saat ini.
Tapi makin lama air mataku justru tidak dapat ku tahan, dadaku terasa sesak karena harus menahan suara agar tidak ada yang mendengarnya. Beruntung malam ini hujan turun dengan sangat deras membuatku tidak perlu untuk terlalu memaksakan diri agar tidak menangis.
“Aku harap tulisanku sampai padamu.”
riz_rap•^•
20072020
KAMU SEDANG MEMBACA
Blue Reading
Teen Fiction"Kau tahu mengapa aku menyukai bunga teratai?" "Kenapa?" "Karena dia selalu setia menunggu bulan tanpa merasa lelah sedikit pun." "Lalu bagaimana dengan matahari?" Aku menoleh padanya. Pada seseorang yang sangat amat aku cintai dalam diam ini. "Kau...